SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIQH
- SEJARAH
PERKEMBANGAN USHUL FIQH
Pertumbuhan
ushul fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum islam sejak zaman Rasulullah
SAW. sampai pada masa tersusunnya ushul fiqh sebagai salah satu bidang ilmu
pada abad ke-2 Hijriyah. Di zaman Rasulullah SAW. Sumber hukum islam hanya ada
dua, yaitu al-Quran dan Sunnah. Apabila muncul suatu kasus, Rasulullah SAW.
menuggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum tersebut. Apabila wahyu tidak
turun, maka beliau menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang
kemudian dikenal dengan hadist atau sunah.
Dalam
menetapkan hukum dari berbagai kasus di zaman Rasulullah SAW. yang tidak ada
ketentuannya dalam al-Quran, para ulama ushul fiqh bahwa ada isyarat bahwa
Rasulullah SAW. menetapkan melalui ijtihad. Hal ini dapat diketahui
melalui Rasulullah SAW.
إنما أنا بشر إذا أمرتكم بشيء من دينكم فخذوا به وإذا أمرتكم بشيء من رأي
فإنما أنا بشر.
(رواه مسلم عن رافع بن خديج)
Artinya :
”sesungguhnya aku adalah manusia (biasa),
apabila aku di perintahkan kepadamu sesuatu yang menyangkut agamamu, maka
ambillah. Dan apabila aku diperintahkan kepadamu sesuatu yang berasal dari
pendapatku, maka sesungguhnya aku adalah manusia (biasa)”
(HR. Muslim dari Rafi’ ibn
khudaij)
Hasil ijtihad Rasulullah
SAW ini secara otomatis menjadi
sunah sebagai sumber hukum dan dalil bagi umat Islam.
Dalam beberapa kasus Rasulullah
SAW juga menggaunakan qiyas ketika
menjawab pertanyaan para sahabat. Misalnya, beliau menggunakan qiyas ketika
menjawab dari pertanyaan umar ibn al-Khathtab tentang batal tidaknya puasa
seseorang yang mencium istrinya Rasulullah SAW ketika itu bersabda :
أرأيت لو تمضمضت وأنت صائم ؟ قلت : لا بأس به, قال فصمه.
(رواه البخاري ومسلم وأبي داود)
Artinya :
Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan
puasa, apakah puasamu batal? Umar menjawab, ‘tidak apa-apa’ Rasulullah SAW kemudian
bersabda “maka teruskan puasamu”
(HR.
Al-Bukhari, Muslim dan Abi Daud)
Rasulullah SAW dalam
hadist ini, menurut para ulama ushul fiqh, mengqiyaskan hukum mencium istri
dalam keadaan berpuasa dengan hukum berkumur-kumur bagi orang yang berpuasa.
Jika berkumur-kumur tidak membatalkan puasa, maka mencium istri pun tidak
membatalkan puasa.
Cara-cara
Rasulullah SAW
dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi bibit munculnya ilmu ushul fiqh.
Karenanya, para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa keberadaan ushul fiqh
bersamaan dengan hadirnya fiqih, yaitu sejak zaman Rasulullah
SAW bibit ini semakin jelas di
zaman para sahabat, karena wahyu dan Sunah Rasul tidak ada lagi sementara
persoalaan yang mereka hadapi semakin berkembang. Para tokoh mujtahid
termasyhur pada zaman sahabat, di antaranya Umar Al-Khathtab, Ali ibn Abi
Thalib dan Abdullah bin Mas’ud. Dalam berijtihad, Umar Al-Khathtab seringakali
mempertimbangkan kemaslahatan umat, dibandingkan sekedar menerapkan nash secara
zahir, sementara hukum tidak tercapai.
Ali
ibn Abi Thalib juga melakukan ijtihad dengan menggunakan qiyas yaitu
mengqiyaskan hukum orang yang meminum khamar dengan hukuman orang yang
melakukan qadzaf (menuduh orang
lain berbuat zina). Alasan Ali ibn Abi Thalib adalah bahwa seseorang yang mabuk
karena meminum khamar akan mengigau. Apabila ia mengigau, maka ucapannya tidak
bias dikontrol, dan akan menuduh orang lain berbuat zina. Hukuman bagi pelaku
qadzaf adalah 80 kali dera. Oleh sebab itu, hukuman orang meminum khamar sama dengan
hukuman menuduh orang lain berbuat zina. Perkembangan permasalahan di zaman
sahabat ini memerlukan upaya ijtihad yang semakin luas.
Di zaman tabiin,
permasalahan hukum yang muncul pun semakin kompleks. Para tabiin melakukan
ijtihad di berbagai daerah Islam. Di madinah, muncul berbagai fatwa berkaitan
dengan berbagai persoalan baru, sebagaimana yang dikemukakan Sa’id ibn Abu
Musayyab. Di Irak muncul Al-Qamah ibnWaqqas, Al-Laits, dan Ibrahim Al-Nakha’i.
di Bashrah muncul pula mujtahid dikalangan tabiin, seperti Hasan Al-Bashri.
Titik tolak para ulama tersebut
dalam menerapkan hukum bisam berbeda; yang satu melihat dari sisi maslahat,
sementara yang lain menetapkan hukumnya melalui qiyas. Ulama ushul fiqh
lebih dikenal dengan penggunaan ra’yu. Dalam setiap kasus yang dihadapi
mereka dihadapi berusaha mencari berbagai illat-nya; sehingga dengan ‘illat ini
mereka dapat menyamakan hukum kasus yang dihadapi dengan hukum yang ada
nashnya. Sikap ulama irak ini bukan berarti meninggalkan Sunnah Rasulullah Saw.
tetapi sikap ini mereka ambil karena sangat sedikit Sunnah Rasulullah Saw. yang
mereka temukan. Pada perkembangan selanjutnya, Madrasah al-Iraq dan Madrasah
Kuffah lebih dikenal dengan Madrasah al-Ra’yu, sedangkan Madrasah
al-Madinah dikenal dengan sebutan Madrasah al-Hadits.
Setelah itu muncul para imam
mujtahid, khususnya imam madzhab yang emapt, yaitu:
1.
Nu’man ibn
al-Tsabit yang lebih dikenal dengan nama Imam Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M)
2.
Malik ibn
Anas, yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Malik (93-179 H/712-795 M)
3.
Muhammad ibn
Idris al-Syafi’i, yang lebih populer dengan sebutan Imam Syafi’i (150-204
H/767-820 M)
4.
Imam Ahmad
ibn Hanbal (164-241 H/780-855 M)
Imam
al-Syafi’i dengan metode-metode ijtihadnya dan sekaligus pembuat pertama sekali
membukukan ilmu ushul fiqh yang dibarengi dengan dalil-dalilnya. Kitab ushul
fiqh yang disusun Imam al-Syafi’i tersebut bernama al-Risalah. Kitab ini
disusun berdasarkan khazanah fiqh yang ditinggal para sahabat, tabiin dan
imam-imam Mujtahid sebelumnya. Imam al-Syafi’i berupaya mempelajari dengan
seksama perdebatan yang terjadi diantara ahl al-hadits yang bermarkas di
Madinah dengan ahl al-ra’yu di Irak. Dari kedua aliran ini Imam
al-Syafi’i berusaha mengkompromikannya. Dalam kitabnya, al-Risalah, Imam
al-Syafi’i berusaha memperlihatkan pendapat yang shahih dengan pendapat yang
tidak shahih, setelah melakukan berbagai analisis dari pandangan kedua aliran,
Irak dan Madinah. Berdasarkan analisisnya ini dia membuat teori ushul fiqh;
yang diharapkan dapat dijadikan patokan umum dalam mengistinbatkan hukum, mulai
dari generasinya sampai pada generasi selanjutnya.
- ALIRAN-ALIRAN USHUL FIQH
Dalam
sejarah perkembangan ushul fiqh dikenal dua aliran ushul fiqh yang berbeda.
Perbedaan ini muncul akibat perbendaan teori ushul fiqh masing-masing yang
digunakan dalam menggali hukum islam. Aliran pertama disebut dengan aliran
Syafi’iyyah dan Jumhur Mutakallimin, aliran ini membangun ushul fiqh mereka
secara teoritis, tanpa terpengaruh oleh masalah-masalah furu’. Dalam membangun
teori, aliran ini menerapkan kaidah-kaidah dengan alasan yang kuat, baik yang
dari naqli maupun dari ‘aqli, tanpa dipengaruhi oleh
masalah-masalah furu’ dari berbagai madzhab, sehingga teori tersebut
adakalanya sesuai dengan furu’ dan adakalanya tidak. Setiap permasalahan
yang diterima akal dan didukung oleh dalil naqli, dapat dijadikan
kaidah, baik kaidah itu sejalan dengan furu’ madzhab atau tidak, sejalan
dengan kaidah yang telah ditetapkan madzhab atau tidak.
Penamaan
aliran dengan “Mutakallimin” karena para eksponetnya mengapresiasi dan
mengaplikasikan metodelogi ulama ahli kalam yang bercorak rasional-filosofis;
mereka banyak meminjam konsep-konsep logika-filsafat untuk kepentingan analisis
masalah hukum serta mengkajinya dengan pendekatan teoritik dan kebahasaan.
Sementara
itu, aliran fuqaha’ (Hanafiyah) lebih berorientasi kepada penilitian
fakta-fakta hukum furu’. Menurut mereka, ushul fiqh itu harus didekasikan untuk
pengambangan furu’ dan penjamin validitas ijtihad terhadapnya. Mereka memformulasikan
kaidah-kaidah hukum, dengan bersumber pada furu’, yang dikemukakan oleh para
pemikir utama kelompok mereka.
Ditengah-tengah
plarisasi aliran ushul fiqh tersebut, muncul pula masa belakangan, aliran
moderat-kompromistis, yakni aliran yang berpaham perlunya menawarkan sintesis
yang mampu mengakomodasi pokok-pokok aliran dua aliran pendahulunya. Dalam
pandangan eksponen aliran ini, baik aliran mutakallimin maupun fuqaha’,
sama-sama memiliki kelebihannya sekaligus kelemahannya masing-masing sehingga upaya
yang terbaik adalah memadukan kelebihan-kelebihan yang ada dan menyingkarkan
kelemahan-kelemahan, yang dapat mewujud dalam formula yang bernilai plus.
Perlu
diketahui bahwa baik aliran Mutakallimin maupun Fuqaha’, sama-sama memiliki
tokoh ulama yang melahirkan karya-karya yang spektakuler. Dari aliran
Mutakallimin, muncullah nama-nama berikut karyanya, antara lain :
1.
Abu Ishaq
Ibrahim al-Syirazi (w. 476 H), dengan karyanya al-Lumma’.
2.
Abu al-Ma’ali
Abdul Malik al-Juwaini, populer dengan nama Imam al-Haramain, (w. 478 H),
dengan karyanya al-Burhan.
3.
Abu al-Husain
Muhammad al-Bishri (w. 436 H), dengan karyanya al-Mu’tamad.
Sementara
itu, dari aliran Fuqaha’, muncullah nama-nama ushuly berilut karyanya,
antara lain :
1.
Abu al-Hasan
Ubaidillah al-Karakhi (w. 340 H), dengan karyanya Risalat al-Karakhi fi al-Usul.
2.
Abu Zayd
Abdillah al-Dabusi (w. 430 H), dengan karyanya Taqwim al-Adillah.
3.
Abu al-Hasan
Ali al-Bazdawi (w. 482 H), dengan karyanya Kanz al-Wusul ila Ma’rifat
al-Usul.
Sedangkan
dari aliran moderat-kompromistis, muncul pula nama-nama usuly berikut
karyanya antara lain:
1.
Tajuddin
al-Subki (w. 771 H), dengan karyanya Jam’ al-Jawami’.
2.
Kamaluddin
Muhammad al-Hanafi (w. 861 H), populer dengan panggilan al-Kamal bin
al-Huminam, dengan karyanya al-Tahrir.
3.
Muhibuddin
al-Bihari al-Hnafi (w. 1119 H), dengan karyanya Musallam al-Tsubut.
Demikian
sebagian tokoh pemikir ushul fiqh berikut karyanya, yang lahir mengiringi
dinamika sejarah ushul fiqh, sebagai salah satu tonggak penting ilmu syari’ah.
- AL-QURAN DAN QIRAAT
Al-quran
adalah firman Allah Swt yang diturunkan oleh-Nya melalui perantara malaikat
Jibril As ke dalam hati Rasulullah Saw. Dengan dialek Arab dan makna yang
pasti, sebagai bukti pembenaran dan mu’jizat bahwa beliau adalah utusan Allah
Swt.
Al-Quran
tersusun mulai dari surat Fatihah dan di akhiri dengan Surat An-Naas yang
sampai kepada kita secara teratur dan berangsur-angsur, dengan pengertian bahwa
perawi dan pembawa sanad atau garis periwayatannya tidak ada yang terputus
secara tulisan maupun lisan, dari genarasi ke genarasi, terpelihara dari adanya
pergantian, penambahan, pengurangan atau perubahan didalamnya dengan metode
periwayatan secara Mutawatir, sebagai syarat yang diharuskan dalam
periwayatan al-Quran sampai saat ini.
Dalam
hal ini pun, merambah pada qira’ah yang tidak memenuhi syarat mutawatir
dari periwayatannya, tidaklah dapat dikatakan sebagai al-Quran. Sementara
tentang qira’ah sab’ah, diakui oleh para ulama ushul fiqh sebagai
riwayat yang mutawatir. Kemudian secara terperinci Ibn al-Jazari
memberikan kriteria dari qira’ah shahihah :
1.
Sesuai dengan
kaidah bahasa arab, walau hanya dari satu sisi saja.
2.
Sesuai dengan
satu teks mushaf Utsmani, walau hanya sekedar mendekati saja.
3.
Shahih
dipandang dari sanad periwayatannya.
Bila suatu gaya bacaan memenuhi syarat-syarat di atas, maka tidaklah
layak untuk ditolak dan diingkari kebenarannya.
Qira’ah tersebut adalah satu diantara tujuh huruf yang dengannya
al-Quran diturunkan. Maka bagi kita pun wajib menerimanya.
Sementara itu, Imam Abu Muhammad Makki dalam kitabnya yang berjudul
al-Kasyf, menuturkan bahwa dalam periwayatan al-Quran diklarifikasikan menjadi
tiga bagian :
1.
Qira’ah yang dapat diterima dan dapat dibaca, yaitu qira’ah yang
memenuhi tiga kriteria diatas
2.
Qira’ah yang dapat diterima, namun tidak boleh dibaca, yaitu qira’ah
yang shahih periwayatannya, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, akan
tetapi menyalahi teks mushaf Utsmani.
3.
Qira’ah yang tidak bisa diterima dan tidak boleh dibaca, yaitu setiap qira’ah
yang dirawayatkan oleh orang yang tidak tsiqah, atau diriwayatkan oleh
orang yang tsiqah tapi menyalahi aturan kaidah bahasa Arab. Qira’ah ini
tidak bisa diterima walaupun sesuai dengan mushaf Utsmani.
Berdasarkan
syarat-syarat yang dikemukan para ulama diatas, maka qira’ah al-syadzdzah
yang penuturannya dilakukan secara ahad, sekalipun rangkaian penuturnya shahih,
diperselisihkan para ulama ushul fiqh. Misalnya, bacaan ‘Abdullah ibn Mas’ud
dalam ayat mengenai kaffarat sumpah:
`yJsù
óO©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$r& 4 مُتَتَابِعَاتٍ
89. ... maka barang
siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga
hari (berturut-turut)… (Q.S. al-Maidah, 5: 89)
Kalimat mutatabi’at merupakan tambahan
dari ibn Mas’ud, dan bacaan seperti ini tidak mutawatir. Oleh sebab itu,
menurut jumhur ulama, kalimat itu tidak termasuk al-Quran.
Dari segi hukum apakah qira’ah
al-syadzdzah seperti itu dapat dijadikan hujjah? Dalam hal
ini terdapat perbedaan pendapat ulama. Ulama Hanafiyyah dan Hanabilah
mengatakan bahwa qira’ah al-syadzdzah bisa dijadikan hujjah yang bersifat zhani, apabila diketahui
bahwa bacaan itu pernah didengar dari Rasulullah Saw. karena hal tersebut
termasuk Sunnah. Menurut Malikiyyah dan Syafi’iyyah qira’ah
al-syadzdzah tidak dapat dijadikan hujjah, karena bacaan itu
tidak termasuk al-Quran dan tidak mutawatir. Menurut mereka, qira’ah al-syadzdzah itu juga tidak bisa
masukkan sebagai Sunnah, karena tidak ada satu riwayat pun yang menyatakan hal
itu.
- HUKUM PENGAMALAN HADITS DHA’IF
Hadits Dha’if adalah hadits yang
kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadits maqbul.
Syarat-syarat hadits maqbul itu ada
enam, yaitu :
1.
Rawinya adil
2.
Rawinya Dhabit,
meskipun tidak sempurna.
3.
Sanadnya
bersambung.
4.
Tidak
terdapat kerancuan.
5.
Tidak
terdapat ‘illat yang merusaknya.
6.
Pada saat
dibutuhkan, hadits yang bersangkutan menguntungkan.
Ketika suatu hadits dha’if dimungkinkan bahwa rawinya benar-benar hapal
terhadapnya dan menyampaikannya dengan
cara yang benar, maka hal ini telah mengundang perselisihan yang serius di
kalangan ulama sehubungan dengan pengamalannya. Perdebatan panjang pun terjadi.
Berikut ini kami kemukakan kesimpulan pendapat para ulama dalam masalah ini.
Pendapat pertama, hadits dha’if dapat diamalkan secara mutlak, yakni
baik yang berkenaan dengan masalah halal dan haram maupun yang berkenaan dengan
masalah kewajiban, dengan syarat tidak ada
hadits lain yang menerangkannya. Pendapat ini disampaikan oleh beberapa
imam yang agung, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, dan yang lainnya.
Berikut ini pendapat imam Ahmad; ia berkata ”sesungguhnya hadits dha’if
lebih saya senangi dari pada pendapat ulama, karena kita tidak boleh berpaling
kepada qiyas kecuali setelah tidak ada nash”.
Pendapat kedua, dipandang baik mengamalkan hadits dha’if dalam fadha’il
al-a’mal, yang berkaitan dengan hal-hal yang dianjurkan maupun hal-hal yang
dilarang. Demikian kebanyakan mazhab ulama dari kalangan muhadditsin, fuqaha’
dan yang lainny. Imam al-Nawawi Syekh Ali al-Qari, dan Ibnu Hajar al-Haitami
menjelaskan bahwa itu telah disepakati oleh para ulama.
Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan syarat-syarat mengamalkan hadits
dha’if itu ada tiga :
1.
Telah
disepakati untuk diamalkan, yaitu hadits dha’if yang tidak terlalu dha’if
sehinngga tidak bisa diamalkan hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang
pendusta atau dituduh dusta atau orang yang banyak salah.
2.
Hadits dha’if
yang bersangkutan berada dibawah satu dalil yang umum sehingga tidak dapat
diamalkan hadits dha’if yang sama sekali tidak memiliki dalil pokok.
3.
Ketka hadits
dha’if yang bersangkutan diamalkan tidak disertai keyakinan atas kepastian
keberadaannya, untuk menghindari penyandaran kepada Nabi Saw. Sesuatu yang
tidak beliau katakan.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami
berbendapat bahwa para ulama sepakat mengamalkan hadits dha’if sehubungan
dengan fadhail al-a’mal, karena seandainya hadits yang bersangkutan itu
hakikatnya sahih maka sudah seharusnya ia diamalkan dan seandainya ia tidak
sahih maka pengamalannya terhadapnya itu tidak mengakibatkan kerusakan berupa
menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal dan menyia-yiakan hak orang
lain.
Pendapat ketiga hadits dha’if sama
sekali tidak dapat diamalkan, baik yang berkaitan dengan fadhail al-a’mal
maupun yang berkaitan dengan halal dan haram. Pendapat ini dinisbatkan kepada
Qadhi Abu Bakar Ibn al-‘Arabi. Demikian pula pendapat al-Syihab al-Khafaji dan
al-Jalal al-Dawami. Pendapat ini dipilih oleh sebagian penulis dewasa ini
dengan alasan bahwa fadhail al-a’mal itu seperti fardhu dan haram,
karena semuanya syara’ dan karena pada hadits-hadits sahih dan
hadits-hadis hasan terdapat jalan lain selain hadits dha’if.
Komentar