kata-kata mutiara

1.      Surat Al-Mumtahanah : 7-9
Ó|¤tã ª!$# br& Ÿ@yèøgs öä3oY÷t tû÷ütur tûïÏ%©!$# NçF÷ƒyŠ$tã Nåk÷]ÏiB Zo¨Šuq¨B قلى ª!$#ur ֍ƒÏs% قلى ª!$#ur Öqàÿxî ×LìÏm§ ÇÐÈ žw âä38yg÷Ytƒ ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$# öNs9 öNä.qè=ÏG»s)ムÎû ÈûïÏd9$# óOs9ur ä.qã_̍øƒä `ÏiB öNä.̍»tƒÏŠ br& óOèdrŽy9s? (#þqäÜÅ¡ø)è?ur öNÍköŽs9Î) قلى ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÑÈ $yJ¯RÎ) ãNä39pk÷]tƒ ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$# öNä.qè=tG»s% Îû ÈûïÏd9$# Oà2qã_t÷zr&ur `ÏiB öNä.̍»tƒÏŠ (#rãyg»sßur #n?ã öNä3Å_#t÷zÎ) br& öNèdöq©9uqs? 4 `tBur öNçl°;uqtFtƒ šÍ´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$# ÇÒÈ  
 “{7}Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka, Allah Maha Kuasa dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. {8}Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.{9}Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.”
Ayat tersebut turun karena adanya sebuah peristiwa sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Ahmad dan lain-lain dari Abdullah ibn Zubair “pada suatu hari Qutailah binti Abdil Uzza (non muslim) datang kepada anaknya Asma’ binti Abi Bakar dengan membawa beberapa hadiah. Asma’ menolak hadiah itu, bahkan melarang dia untuk masuk rumah sebelum Asma bertanya kepada Aisyah, bagaimana pendapat Rasul berkenaan dengan itu turunlah QS al-Mumtahanah 60:7-9. Nabi menyuruh Asma’ menerima hadiah dari ibunya, dan menyambutnya sebagaimana mestinya.

Tafsir secara global
Secara umum ayat ini menerangkan begitu pentingnya toleransi. Seperti dikisahkan oleh Ibnu Ishak dalam “Sirahnya” dan juga Ibnul Qoyyim dalam “Zaadul ma’ad” ketika Nabi saw. kedatangan utusan Nasrani dari Najran berjumlah 60 orang.
Diantaranya adalah 14 orang yang terkemuka termasuk Abu Haritsah Al-Qomah.sebagai guru. Maksud kedatangan mereka itu adalah ingin mengenal Nabi saw. dari dekat. Benarkah Muhammad itu seorang utusan Tuhan, bagaimana dan apa sesungguhnya ajaran islam itu. Mereka juga ingin membandingkan antara Islam dan Nasrani. Mereka ingin bicara dengan Rasullullah Shallallahu’alaihi wa sallam tentang berbagai macam masalah agama. Mereka sampai di Madinah saat kaum muslimin telah selesai shalat Ashar. Mereka pun sampai di masjid dan akan menjalankan sembahyang pula menurut cara mereka. Para sahabatpun heboh. Mengetahui hal tersebut, maka Rasullullah Shallallahu’alaihi wa sallam berkata “Biarkanlah mereka!” maka mereka pun menjalankan sembahyang dengan cara mereka dalam masjid Madinah itu. Dikisah-kan bahwa para utusan itu memakai jubah dan kependetaan yang serba mentereng, pakaian kebesaran dengan selempang warna-warni.
Peristiwa di atas menunjukan toleransi Rasullullah Shallallahu’alahi wasallam kepada pemeluk agama lain. Walaupun dalam dialog antara Rasullullah Shallallahu’alahi wa sallam dengan utusan Najran itu tidak ada “kesepakatan” kerena mereka tetap menganggap bahwa Isa adalah “anak Tuhan” dan Rassullullah saw. berpegang teguh bahwa Isa adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’allah dan sebagai Nabiyullah, Isa adalah manusia biasa. Para utusan itu tetap dijamu oleh Rasullullah saw. dalam beberapa hari.
Kesimpulan dari tafsir di atas adalah bahwa Ayat ini berkaitan dengan bagaimana setiap muslim bermuamalah dengan orang-orang non muslim yang mereka tidak mengganggu kita. Dalam Islam diperbolehkan untuk  berbuat adil dan berbuat baik kepada mereka (orang-orang musyrikin) selama mereka tidak berbuat jahat kepada kaum muslimin. Tentunya berbuat baik di sini adalah berkaitan dengan masalah keduniaan, adapun masalah ibadah dan aqidah maka dikembalikan kepada prinsip awal yaitu larangan kita saling membantu dalam hal-hal prinsip.
Selain itu dalam ayat ini juga sangat jelas dan mudah dimengerti tanpa harus dijelaskan secara terperinci. Sehingga dengan demikian timbulnya beberapa pemikiran tentang hubungan antara muslim dengan non-muslim dapat diputuskan dengan merujuk kepada ayat ini. Bahwasanya tidak pantas seorang muslim menolak suatu ayat Al Qur’an dengan sesuatu yang berasal dari pikiran dan perasaannya. Seperti ketika timbulnya masalah membuka hubungan dagang dengan Israel yang sempat mengguncang hati kita sebagai muslim. Sayangnya ide ini didengungkan oleh seorang yang berlebel kiai. Tetapi, kiai tidak mutlak benar. Ketika terjadi selisih paham dalam hal ini, seharusnyalah kita semua secara sadar dan ikhlas kembali merujuk kepada Al Qur’an dan Sunnah.

2.      Q.S. Al-Kafirun Ayat 1-5
Surat ini adalah surat yang memerintahkan orang beriman untuk membebaskan diri dari perbuatan orang-orang musyrik dan kafir.
ö@è%$pkšr'¯»tƒšcrãÏÿ»x6ø9$#ÇÊÈ
(katakanlah, hai orang-orang kafir), itu mencakup seluruh orang-orang kafir Quraisy. Ada yang menyebutkan: karena kebodohan mereka untuk mengajak Rasulullah SAW untuk beribadah kepada berhala mereka selama setahun, sedangkan mereka kepada Tuhan Muhammad saw selama setahun pula, maka Allah SWT menurunkan surat ini. Dalam surat ini, Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk membebaskan diri dari agama mereka secara menyeluruh.
Iwßç6ôãr&$tBtbrßç7÷ès?ÇËÈ
(Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah), yaitu berupa patung dan berhala.
IwuróOçFRr&tbrßÎ7»tã!$tBßç7ôãr&ÇÌÈ
(Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah).Maksudnya, yaitu Allah Yang Maha Esa, yang tidak memiliki sekutu.
IwurO$tRr&ÓÎ%tæ$¨B÷Lnt6tãÇÍÈ
(Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah). Maksudnya, Nabi SAW tidak akan mengikuti sembahan mereka (orang kafir), melainkan akan tetap menyembah Allah dengan cara yang Allah cintai dan ridhai.
IwuróOçFRr&tbrßÎ7»tã!$tBßç6ôãr&ÇÎÈ
(Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah).Maksudnya, orang kafir tidak melaksanakan perintah Allah dan apapun yang telah Allah syari’atkan, yaitu dalam menyembah Allah.
Ayat ini termasuk surat Makiyyah yaitu surat yang turun pada periode Makkah dan turun di Makkah. Sebagaimana surat-surat Makiyyah lainnya surat ini berbicara tentang prinsip dan keyakinan seorang Muslim. Sebab turunnya surat ini berkaitan dengan tawaran dari orang-orang musyrik yang menginginkan agar antara orang-oraang Islam dan mereka saling memberikan penghormatan berupa pergantian menyembah tuhan masing-masing. Sehari menyembah Alloh ta'ala dan sehari lagi menyembah patung-patung yang menjadi tuhan-tuhan mereka. Ketika tawaran itu sampai pada nabi maka turunlah ayat ini.
Tafsir secara global
Secara umum (global), surat ini memiliki dua kandungan utama. Pertama, ikrar kemurnian tauhid, khususnya tauhid uluhiyah (tauhid ibadah). Kedua, ikrar penolakan terhadap semua bentuk dan praktek peribadatan kepada selain Allah, yang dilakukan oleh orang-orang kafir. Dan karena kedua kandungan makna ini begitu mendasar, sehingga ditegaskan dengan berbagai bentuk penegasan yang tergambar secara jelas di bawah ini :
Pertama, Allah memerintahkan Nabi saw. untuk memanggil orang-orang kafir dengan Khitab (panggilan) ‘yaa ayyuhal kafirun’ (wahai orang-orang kafir), padahal Al-Qur’an tidak biasa memanggil mereka dengan cara yang semacam ini. Yang lebih umum digunakan dalam Al-Qur’an adalah khitab semacam ‘yaa ayyuhan naas’(wahai sekalian manusia) dsb.
Kedua, pada ayat ke-2 dan ke-4 Allah memerintahkan Rasullullah saw. untuk menyatakan secara tegas, jelas dan terbuka kepada mereka, dan tentu sekaligus kepada setiap orang kafir sepanjang sejarah, bahwa beliau (begitu pula umatnya) sama sekali tidak akan pernah (baca: tidak dibenarkan sema sekali) menyembah apa yang disembah oleh orang-orang kafir.
Ketiga, pada ayat ke-3 dan ke-5 Allah memerintahkan Rasullullah saw.untuk menegaskan juga dengan jelas dan terbuka bahwa, orang-orang kafir pada hakikatnya tidak akan pernah benar-benar menyembah-Nya. Dimana hal ini bisa pula kita pahami sebagai larangan atas orang-orang kafir untuk ikut-ikutan melakukan praktek-praktek peribadatan kepada Allah sementara mereka masih berada dalam kekafirannya.Mereka baru boleh melakukan berbagai praktek peribadatan tersebut jika mereka sudah masuk ke dalam agama Islam.
Keempat, Allah lebih menegaskan hal kedua dan ketiga diatas dengan melakukan pengulangan ayat, dimanana kandungan ayat ke-2 diulang dalam ayat ke-4 dengan sedikit perubahan redaksi nash,sedang ayat ke-3 diulang dalam ayat ke-5 dengan redaksi nash yang sama persis.Adanya pengulangan ini menunjukan adanya larangan yang bersifat total dan menyeluruh,yang mencakup seluruh bentuk dan macam peribadatan.
Kelima, Allah memungkasi dan menyempurnakan semua hal diatas dengan penegasan terakhir dalam firman-Nya : ‘Lakum dinukum wa liya diin’(bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku). Dimana kalimat penutup yang singkat ini memberikan sebuah penegasan sikap atas tidak bolehnya pencampuran antar agama Islam dan agama lainnya.Jika Islam ya Islam tanpa boleh dicampur dengan unsure-unsur agama lainnya dan demikian pula sebaiknya.Ayat ini juga memupus harapan orang-orang kafir yang menginginkan kita untuk mengikuti dan terlibat dalam peribadatan-peribadatan mereka.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Surat al-Kafirun ayat 1-6 mengandung ajaran tentang cara bersikap menghadapi perbedaan keyakinan beragama. Dengan adanya perbedaan, setiap orang harus mempunyai sikap tasamuh (toleransi) terhadap orang lain. Toleransi sangat dibutuhkan untuk menjaga hubungan baik antar sesama demi terciptanya persahabatan, persaudaraan, dan persatuan masyarakat. Hal ini telah ditunjukkan oleh Rasulullah saw. saat menghadapi kaum musyrikin Quraisy. Sebagaimana dipahami, Rasulullah selalu mendakwahkan kebenaran ajaran yang dibawanya, yaitu Islam.Namun, jika ada orang atau pihak yang menolak atau mengecam ajaran beliau, yang dilakukan pertama kali adalah mendoakan orang-orang yang menolaknya. Di samping itu setiap muslim juga diwajibkan untuk bersikap tegas dengan orang-orang kafir, hal ini berlaku pada hal-hal prinsip yaitu masalah-masalah aqidah dan masalah keagamaan lainnya. Adapun jika berkaitan dengan masalah keduniaan dan muamalah maka tidaklah mengapa jika berbuat baik kepada mereka.

3.        Q.S. Ali ‘Imran : 64
ö@è%Ÿ@÷dr'¯»tƒÉ=»tGÅ3ø9$#(#öqs9$yès?4n<Î)7pyJÎ=Ÿ2¥ä!#uqy$uZoY÷t/ö/ä3uZ÷t/uržwr&yç7÷ètRžwÎ)©!$#Ÿwurx8ÎŽô³èS¾ÏmÎ/$\«øx©ŸwurxÏ­Gtƒ$uZàÒ÷èt/$³Ò÷èt/$\/$t/ör&`ÏiBÈbrߊ«!$#4bÎ*sù(#öq©9uqs?(#qä9qà)sù(#rßygô©$#$¯Rr'Î/šcqßJÎ=ó¡ãBÇÏÍÈ
64. Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (Q.S. Ali ‘Imran : 64)
            Ayat ini diturunkan karena pada suatu saat ada rombongan kaum Wafda Najran (salah satu kaum Nashrani) yang tiba di madinah, mereka bertemu dengan dengan kaum Yahudi Madinah dan berdebat tentang masalah Nabi Ibrahim Saw. menurut kaum Nashrani Nabi Ibrahim adalah orang Nashrani, beragama nashrani dan orang yang paling utama dalam kaum Nashrani. Sedangkan fersi orang Yahudi bahwa Nabi Ibrahim adalah orang Yahudi, beragama Yahudi dan orang yang paling utama dalam kaum Yahudi. Kemudian Rasulullah berabda “nabi Ibrahim bukan dari orang Nashrani, bukan dari orang Yahudi juga tidak beragama keduanya akan tetapi Nabi Ibrahim adalah oaring yang beragama Islam dan saya mengikuti agamanya maka ikutilah agamanya yaitu agama Islam” kemudian kaum Yahudi berkata “engkau tidak mengharapkan kecuali kami menjadikan sebagai tuhan sebagaimana Nashrani menjadikan nabi Isa sebagai tuhan”. Sedangkan kamun Nashrani berkata “engkau tidak menginginkan melainkan kami berkata apa yang telah kaum Yahudi katakan tentang Nabi Uzair”, kemudian turunlah Ayat diatas[1].
            Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir ayat ini berarti umum.Artinya untuk orang yahudi, nashrani dan kaum yang seagama dengan mereka. Arti kata كلمة سواء menurut ibnu katsir adalah kalimat yang baik atau adil yang dalam ayat diatas kalimat tersebut ditafsiri dengan kalimat bahwa kita tidak boleh menyembah kecuali kepada Allah dan tidak boleh menyekutukannya dengan makhluk lain, hal ini merupakan kesatuan fisi dan misi diutusnya semua para Rasul kedunia ini yaitu mengesakan tuhan sebagaimana firman allah,
$tBur$uZù=yör&`ÏBšÎ=ö6s%`ÏB@AqߧžwÎ)ûÓÇrqçRÏmøs9Î)¼çm¯Rr&Iwtm»s9Î)HwÎ)O$tRr&Èbrßç7ôã$$sùÇËÎÈ
25. dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku". (Q.S. Al-Anbiya’ : 25)
Kemudian arti yang kedua yaitu kita tidak boleh menjadikan sesama manusia sebagai tuhan[2].
            أَلا نَعْبُدَ إِلا اللَّهَ وَلا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا kalimat ini dalam keterangan kitab Tafsir Khozin diperuntukkan bagi kaum Yahudi. Karena kata ‘Ubudiyah pada ayat diatas adalah menyembah selain Allah yang berarti berhala berupa patung-patung yang terbuat dari tanah liat atau yang terbuat dari kurma.
            وَلا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ sedangkan kalimat ini diperuntukkan bagi kaum Nashrani. Hal ini disebabkan disebabkan kaum Nashrani menyembah sesama manusia yaitu al-Masih nabi Isa  dan mereka menyekutukan dengan mengatakan bahwa ada tuhan Bapak, tuhan Anak dan Ruh Kudus. Selain itu mereka menjadikan pendeta-pendeta mereka sebagai Tuhan. Karena mereka mengikuti seluruh apa yang diperintahkannya dan bersujud kepadanya[3].
            Dari beberapa keterangan diatas dapat kita simpulkan bahwa mengajak non muslim untuk masuk Islam harus dengan lemah lembut dan kata-kata yang adil atau baik yaitu tidak boleh menyembah kecuali kepada Allah dan tidak boleh menyekutukannya. Selain itu juga tidak boleh menjadikan sesama manusia sebagai dewa atau tuhan atau menjadi sesuatu yang disembah. Sebagaimana firman allah dalam Al-Quran surat Al-Annahl ayat 36 :ô
s)s9ur$uZ÷Wyèt/ÎûÈe@à27p¨Bé&»wqߧÂcr&(#rßç6ôã$#©!$#(#qç7Ï^tGô_$#ur|Nqäó»©Ü9$#(ÇÌÏÈ
36. dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghutitu".
4.    Q.S. Al-Ankabut : 46
*Ÿwur(#þqä9Ï»pgéBŸ@÷dr&É=»tGÅ6ø9$#žwÎ)ÓÉL©9$$Î/}Ïdß`|¡ômr&žwÎ)tûïÏ%©!$#(#qßJn=sßóOßg÷YÏB((#þqä9qè%ur$¨ZtB#uäüÏ%©!$$Î/tAÌRé&$uZøŠs9Î)tAÌRé&uröNà6ös9Î)$oYßg»s9Î)uröNä3ßg»s9Î)urÓÏnºurß`øtwUur¼çms9tbqßJÎ=ó¡ãBÇÍÏÈ
46. dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka dan Katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu; dan Kami hanya kepada-Nya berserah diri".
Secara umum ayat ini diturunkan untuk menjelaskan tentang orang kafir yang mempunyai tanggungan membayar pajak. Namun ayat masih diperdebatkan, menurut Imam Mujahid ayat diatas masih termasuk ayat muhakkamah sehingga masih diperbolehkan berdebat dengan Ahl Al-Kitab yang dalam hal ini adalah kaum Yahudi meskipun dalam istilah Al-Quran memasukkan kaum Nashrani, dengan diskusi yang baik yaitu mengajak mereka beribadah kepada Allah, mengingatkan akan tanda-tanda kebesaran Allah dengan harapan mereka beriman kepada Allah, tidak mengajak dengan cara yang kasar. Kecuali bagi kaum Ahl Al-Kitab yang masih melakukan kedzaliman, dalam hal ini ada ulama yang berpendapat adalah mereka yang masih dalam keadaan kufur seperti kaum Bani Nadhir, Bani Quraidhah dan yang lainnya. Ulama lain mengatakan bahwa mereka adalah mereka yang belum memberikan kewajibannya yaitu membayar pajak kepada orang muslim. Mereka wajib diperangi agar masuk Islam atau kalau tidak mau masuk Islam harus membayar pajak kepada orang Muslim.
Menurut Imam Qatadah dan yang lainnya berpendapat bahwa ayat diatas hukumnya di Nasakh dengan Ayat peperangan Surat Al-Taubah ayat 29
(#qè=ÏG»s%šúïÏ%©!$#ŸwšcqãZÏB÷sル!$$Î/ŸwurÏQöquø9$$Î/̍ÅzFy$#ŸwurtbqãBÌhptä$tBtP§ymª!$#¼ã&è!qßuurŸwuršcqãYƒÏtƒtûïÏŠÈd,ysø9$#z`ÏBšúïÏ%©!$#(#qè?ré&|=»tFÅ6ø9$#4Ó®Lym(#qäÜ÷èãƒsptƒ÷Éfø9$#`tã7tƒöNèduršcrãÉó»|¹ÇËÒÈ
29. perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah),  (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.(Q.S Al-Taubah : 29)
Tetapi pendapat ini dibantah oleh Imam Al-Nuhas dan yang lain, beliau berpendapat bahwa mereka yang mengatakan bahwa ayat diatas dinasakh menggunakan referensi ayat Makkiyah, padahal dalam pada waktu itu tidak peperangan, penarikan pajak dan yang lainnya. Pendapat ini didukung oleh Imam Ibn Al-Arabi[4].
Dalam kitab Aysart Al-Tafasir dijelaskan bahwa diskusi yang baik adalah dengan cara mengajak mereka beriman kepada Allah dan Rasulnya serta masuk Islam dan mengingatkan merekan akan tanda-tanda kebesaran ciptaan Allah[5].
Kesimpulan dari ayat diatas bahwa jika berdebat atau berdiskusi dengan Ahl Al-Kitab harus dengan diskusi yang baik, dengan akhlak baik, lemah lembut dan kata-kata yang baik.Tujuan dari diskusi dengan mereka adalah menjelaskan kebenaran dan menunjukkan sesuatu yang benar bukan diskusi yang bertujuan memerangi atau mengalahkan dan sombong.Dan sebaiknya dalam diskusi membahas tentang keimanan, imam terhadap Al-Quran dan Iman terhadap Allah dan Rasul.Dalam ayat ini juga menyimpan makna mengajak kebenaran dan menolak kebathilan[6].


     


[1]‘Ala’uddin ‘Ali bin Muhammad, Tafsir Khozin, (Lebanon : Dar Al-fikr, 1979) vol 1 hal 361.
[2]Isma’il bin Umar bin Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, ( Dar Thayyibah, 2009) vol II, hal 55.
[3]‘Ala’uddin ‘Ali bin Muhammad, Tafsir Khozin, vol 1 hal 361.
[4]Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr, Tafsir Qurtubi, ( Al-Riyadh, Dar Alam Al-Kutub, 2003) vol 13 hal 350.
[5]Abu Bakr Al-Jazaairy, Aysart Al-Tafasir, vol III hal 211.
[6]Abdurraman bin Nashir Al-Sa’diy, Tafsir Al-Sa’diy, ( Muassisah Al-Risalah, 2000), 632. 

Komentar

Postingan Populer