kata-kata mutiara
1.
Surat Al-Mumtahanah : 7-9
Ó|¤tã ª!$# br& Ÿ@yèøgs† öä3oY÷t tû÷ütur tûïÏ%©!$# NçF÷ƒyŠ$tã Nåk÷]ÏiB Zo¨Šuq¨B قلى ª!$#ur փωs% قلى ª!$#ur Ö‘qàÿxî ×LìÏm§‘ ÇÐÈ žw âä38yg÷Ytƒ ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$# öNs9 öNä.qè=ÏG»s)ム’Îû ÈûïÏd‰9$# óOs9ur ä.qã_Ìøƒä† `ÏiB öNä.Ì»tƒÏŠ br& óOèdr•Žy9s? (#þqäÜÅ¡ø)è?ur öNÍköŽs9Î) قلى ¨bÎ) ©!$# =Ïtä† tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÑÈ $yJ¯RÎ) ãNä39pk÷]tƒ ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$# öNä.qè=tG»s% ’Îû ÈûïÏd‰9$# Oà2qã_t÷zr&ur `ÏiB öNä.Ì»tƒÏŠ (#rãyg»sßur #’n?ã öNä3Å_#t÷zÎ) br& öNèdöq©9uqs? 4 `tBur öNçl°;uqtFtƒ šÍ´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$# ÇÒÈ
“{7}Mudah-mudahan
Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di
antara mereka, Allah Maha Kuasa dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. {8}Allah
tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu.Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.{9}Sesungguhnya
Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang
memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang
lain) untuk mengusirmu dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka
mereka Itulah orang-orang yang zalim.”
Ayat tersebut turun karena adanya
sebuah peristiwa sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Ahmad dan lain-lain
dari Abdullah ibn Zubair “pada suatu hari Qutailah binti Abdil Uzza (non
muslim) datang kepada anaknya Asma’ binti Abi Bakar dengan membawa beberapa
hadiah. Asma’ menolak hadiah itu, bahkan melarang dia untuk masuk rumah sebelum
Asma bertanya kepada Aisyah, bagaimana pendapat Rasul berkenaan dengan itu
turunlah QS al-Mumtahanah 60:7-9. Nabi menyuruh Asma’ menerima hadiah dari
ibunya, dan menyambutnya sebagaimana mestinya.
Tafsir
secara global
Secara umum ayat ini menerangkan begitu pentingnya
toleransi. Seperti dikisahkan oleh Ibnu Ishak dalam “Sirahnya” dan juga Ibnul
Qoyyim dalam “Zaadul ma’ad” ketika Nabi saw. kedatangan utusan Nasrani dari
Najran berjumlah 60 orang.
Diantaranya adalah 14 orang yang terkemuka termasuk Abu
Haritsah Al-Qomah.sebagai guru. Maksud kedatangan mereka itu adalah ingin
mengenal Nabi saw. dari dekat. Benarkah Muhammad itu seorang utusan Tuhan,
bagaimana dan apa sesungguhnya ajaran islam itu. Mereka juga ingin
membandingkan antara Islam dan Nasrani. Mereka ingin bicara dengan Rasullullah
Shallallahu’alaihi wa sallam tentang berbagai macam masalah agama. Mereka
sampai di Madinah saat kaum muslimin telah selesai shalat Ashar. Mereka pun
sampai di masjid dan akan menjalankan sembahyang pula menurut cara mereka. Para
sahabatpun heboh. Mengetahui hal tersebut, maka Rasullullah Shallallahu’alaihi
wa sallam berkata “Biarkanlah mereka!” maka mereka pun menjalankan sembahyang
dengan cara mereka dalam masjid Madinah itu. Dikisah-kan bahwa para utusan itu
memakai jubah dan kependetaan yang serba mentereng, pakaian kebesaran dengan
selempang warna-warni.
Peristiwa di atas menunjukan toleransi Rasullullah
Shallallahu’alahi wasallam kepada pemeluk agama lain. Walaupun dalam dialog
antara Rasullullah Shallallahu’alahi wa sallam dengan utusan Najran itu tidak
ada “kesepakatan” kerena mereka tetap menganggap bahwa Isa adalah “anak Tuhan”
dan Rassullullah saw. berpegang teguh bahwa Isa adalah utusan Allah Subhanahu
wa Ta’allah dan sebagai Nabiyullah, Isa adalah manusia biasa. Para utusan itu
tetap dijamu oleh Rasullullah saw. dalam beberapa hari.
Kesimpulan dari tafsir di atas
adalah bahwa Ayat ini berkaitan dengan bagaimana setiap muslim bermuamalah
dengan orang-orang non muslim yang mereka tidak mengganggu kita. Dalam Islam diperbolehkan untuk berbuat adil dan berbuat baik kepada mereka
(orang-orang musyrikin) selama mereka tidak berbuat jahat kepada kaum muslimin.
Tentunya berbuat baik di sini adalah berkaitan dengan masalah keduniaan,
adapun masalah ibadah
dan aqidah maka dikembalikan kepada prinsip awal yaitu larangan kita saling
membantu dalam hal-hal prinsip.
Selain itu dalam ayat ini juga
sangat jelas dan mudah dimengerti tanpa harus dijelaskan secara terperinci. Sehingga dengan
demikian timbulnya beberapa pemikiran tentang hubungan antara muslim dengan
non-muslim dapat diputuskan dengan merujuk kepada ayat ini. Bahwasanya tidak
pantas seorang muslim menolak suatu ayat Al Qur’an dengan sesuatu yang berasal
dari pikiran dan perasaannya. Seperti ketika timbulnya masalah membuka hubungan
dagang dengan Israel yang sempat mengguncang hati kita sebagai muslim.
Sayangnya ide ini didengungkan oleh seorang yang berlebel kiai. Tetapi, kiai
tidak mutlak benar. Ketika terjadi selisih paham dalam hal ini, seharusnyalah
kita semua secara sadar dan ikhlas kembali merujuk kepada Al Qur’an dan Sunnah.
2.
Q.S. Al-Kafirun Ayat 1-5
Surat ini adalah surat yang memerintahkan orang beriman
untuk membebaskan diri dari perbuatan orang-orang musyrik dan kafir.
ö@è%$pkš‰r'¯»tƒšcrãÏÿ»x6ø9$#ÇÊÈ
(katakanlah, hai orang-orang kafir), itu mencakup seluruh orang-orang
kafir Quraisy. Ada yang menyebutkan: karena kebodohan mereka untuk mengajak
Rasulullah SAW untuk beribadah kepada berhala mereka selama setahun, sedangkan
mereka kepada Tuhan Muhammad saw selama setahun pula, maka Allah SWT menurunkan
surat ini. Dalam surat ini, Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk membebaskan
diri dari agama mereka secara menyeluruh.
Iw߉ç6ôãr&$tBtbr߉ç7÷ès?ÇËÈ
(Aku
tidak akan menyembah apa yang kalian sembah), yaitu berupa patung dan berhala.
IwuróOçFRr&tbr߉Î7»tã!$tB߉ç7ôãr&ÇÌÈ
(Dan
kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah).Maksudnya, yaitu Allah Yang Maha Esa, yang tidak memiliki sekutu.
IwurO$tRr&Ó‰Î%tæ$¨B÷L–n‰t6tãÇÍÈ
(Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu
sembah). Maksudnya,
Nabi SAW tidak akan mengikuti sembahan mereka (orang kafir), melainkan akan
tetap menyembah Allah dengan cara yang Allah cintai dan ridhai.
IwuróOçFRr&tbr߉Î7»tã!$tB߉ç6ôãr&ÇÎÈ
(Dan kamu tidak pernah (pula)
menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah).Maksudnya, orang kafir tidak melaksanakan perintah Allah dan
apapun yang telah Allah syari’atkan, yaitu dalam menyembah Allah.
Ayat ini
termasuk surat Makiyyah yaitu surat yang turun pada periode Makkah dan turun di
Makkah. Sebagaimana surat-surat Makiyyah lainnya surat ini berbicara tentang
prinsip dan keyakinan seorang Muslim. Sebab turunnya surat ini berkaitan dengan
tawaran dari orang-orang musyrik yang menginginkan agar antara orang-oraang
Islam dan mereka saling memberikan penghormatan berupa pergantian menyembah
tuhan masing-masing. Sehari menyembah Alloh ta'ala dan sehari lagi menyembah
patung-patung yang menjadi tuhan-tuhan mereka. Ketika tawaran itu sampai pada
nabi maka turunlah ayat ini.
Tafsir
secara global
Secara umum (global), surat ini memiliki dua kandungan
utama. Pertama, ikrar kemurnian tauhid, khususnya tauhid uluhiyah (tauhid
ibadah). Kedua, ikrar penolakan terhadap semua bentuk dan praktek
peribadatan kepada selain Allah, yang dilakukan oleh orang-orang kafir. Dan
karena kedua kandungan makna ini begitu mendasar, sehingga ditegaskan dengan
berbagai bentuk penegasan yang tergambar secara jelas di bawah ini :
Pertama, Allah memerintahkan Nabi saw. untuk memanggil
orang-orang kafir dengan Khitab (panggilan) ‘yaa ayyuhal kafirun’
(wahai orang-orang kafir), padahal Al-Qur’an tidak biasa memanggil mereka
dengan cara yang semacam ini. Yang lebih umum digunakan dalam Al-Qur’an adalah khitab
semacam ‘yaa ayyuhan naas’(wahai sekalian manusia) dsb.
Kedua, pada ayat ke-2 dan ke-4 Allah memerintahkan
Rasullullah saw. untuk menyatakan secara tegas, jelas dan terbuka kepada
mereka, dan tentu sekaligus kepada setiap orang kafir sepanjang sejarah, bahwa
beliau (begitu pula umatnya) sama sekali tidak akan pernah (baca: tidak
dibenarkan sema sekali) menyembah apa yang disembah oleh orang-orang kafir.
Ketiga, pada ayat ke-3 dan ke-5 Allah memerintahkan
Rasullullah saw.untuk menegaskan juga dengan jelas dan terbuka bahwa,
orang-orang kafir pada hakikatnya tidak akan pernah benar-benar menyembah-Nya.
Dimana hal ini bisa pula kita pahami sebagai larangan atas orang-orang kafir
untuk ikut-ikutan melakukan praktek-praktek peribadatan kepada Allah sementara
mereka masih berada dalam kekafirannya.Mereka baru boleh melakukan berbagai
praktek peribadatan tersebut jika mereka sudah masuk ke dalam agama Islam.
Keempat, Allah lebih menegaskan hal kedua dan ketiga diatas
dengan melakukan pengulangan ayat, dimanana kandungan ayat ke-2 diulang dalam
ayat ke-4 dengan sedikit perubahan redaksi nash,sedang ayat ke-3 diulang
dalam ayat ke-5 dengan redaksi nash yang sama persis.Adanya pengulangan
ini menunjukan adanya larangan yang bersifat total dan menyeluruh,yang mencakup
seluruh bentuk dan macam peribadatan.
Kelima, Allah memungkasi dan
menyempurnakan semua hal diatas dengan penegasan terakhir dalam firman-Nya : ‘Lakum
dinukum wa liya diin’(bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku). Dimana
kalimat penutup yang singkat ini memberikan sebuah penegasan sikap atas tidak
bolehnya pencampuran antar agama Islam dan agama lainnya.Jika Islam ya Islam
tanpa boleh dicampur dengan unsure-unsur agama lainnya dan demikian pula
sebaiknya.Ayat ini juga memupus harapan orang-orang kafir yang menginginkan
kita untuk mengikuti dan terlibat dalam peribadatan-peribadatan mereka.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Surat
al-Kafirun ayat 1-6 mengandung ajaran tentang
cara bersikap menghadapi perbedaan keyakinan beragama. Dengan adanya
perbedaan, setiap orang harus mempunyai sikap tasamuh (toleransi) terhadap
orang lain. Toleransi sangat dibutuhkan untuk menjaga hubungan baik antar
sesama demi terciptanya persahabatan, persaudaraan, dan persatuan masyarakat.
Hal ini telah ditunjukkan oleh Rasulullah saw. saat menghadapi kaum musyrikin
Quraisy. Sebagaimana dipahami, Rasulullah selalu mendakwahkan kebenaran ajaran
yang dibawanya, yaitu Islam.Namun, jika ada orang atau pihak yang menolak atau
mengecam ajaran beliau, yang dilakukan pertama kali adalah mendoakan
orang-orang yang menolaknya. Di samping itu setiap
muslim
juga diwajibkan untuk bersikap tegas dengan
orang-orang kafir, hal ini berlaku pada hal-hal prinsip yaitu masalah-masalah
aqidah dan masalah keagamaan lainnya. Adapun jika berkaitan dengan masalah
keduniaan dan muamalah maka tidaklah mengapa jika berbuat baik kepada mereka.
3.
Q.S. Ali ‘Imran : 64
ö@è%@÷dr'¯»tÉ=»tGÅ3ø9$#(#öqs9$yès?4n<Î)7pyJÎ=2¥ä!#uqy$uZoY÷t/ö/ä3uZ÷t/urwr&yç7÷ètRwÎ)©!$#wurx8Îô³èS¾ÏmÎ/$\«øx©wurxÏGt$uZàÒ÷èt/$³Ò÷èt/$\/$t/ör&`ÏiBÈbrß«!$#4bÎ*sù(#öq©9uqs?(#qä9qà)sù(#rßygô©$#$¯Rr'Î/cqßJÎ=ó¡ãBÇÏÍÈ
64. Katakanlah: "Hai ahli
Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada
perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan
tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita
menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka
berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa Kami adalah
orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (Q.S. Ali ‘Imran : 64)
Ayat
ini diturunkan karena pada suatu saat ada rombongan kaum Wafda Najran (salah
satu kaum Nashrani) yang tiba di madinah, mereka bertemu dengan dengan kaum
Yahudi Madinah dan berdebat tentang masalah Nabi Ibrahim Saw. menurut kaum
Nashrani Nabi Ibrahim adalah orang Nashrani, beragama nashrani dan orang yang
paling utama dalam kaum Nashrani. Sedangkan
fersi orang Yahudi bahwa Nabi Ibrahim adalah orang Yahudi, beragama Yahudi dan
orang yang paling utama dalam kaum Yahudi. Kemudian Rasulullah berabda “nabi
Ibrahim bukan dari orang Nashrani, bukan dari orang Yahudi juga tidak beragama
keduanya akan tetapi Nabi Ibrahim adalah oaring yang beragama Islam dan saya
mengikuti agamanya maka ikutilah agamanya yaitu agama Islam” kemudian kaum
Yahudi berkata “engkau tidak mengharapkan kecuali kami menjadikan sebagai tuhan
sebagaimana Nashrani menjadikan nabi Isa sebagai tuhan”. Sedangkan kamun
Nashrani berkata “engkau tidak menginginkan melainkan kami berkata apa yang
telah kaum Yahudi katakan tentang Nabi Uzair”, kemudian turunlah Ayat diatas[1].
Dalam kitab tafsir
Ibnu Katsir ayat ini berarti umum.Artinya untuk orang yahudi, nashrani dan kaum
yang seagama dengan mereka. Arti kata كلمة سواء
menurut ibnu katsir adalah kalimat yang baik atau adil yang dalam ayat diatas
kalimat tersebut ditafsiri dengan kalimat bahwa kita tidak boleh menyembah
kecuali kepada Allah dan tidak boleh menyekutukannya dengan makhluk lain, hal
ini merupakan kesatuan fisi dan misi diutusnya semua para Rasul kedunia ini
yaitu mengesakan tuhan sebagaimana firman allah,
$tBur$uZù=yör&`ÏBÎ=ö6s%`ÏB@AqߧwÎ)ûÓÇrqçRÏmøs9Î)¼çm¯Rr&Iwtm»s9Î)HwÎ)O$tRr&Èbrßç7ôã$$sùÇËÎÈ
25. dan Kami tidak
mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya:
"Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah
olehmu sekalian akan aku". (Q.S. Al-Anbiya’ : 25)
Kemudian arti yang kedua yaitu kita tidak boleh menjadikan sesama
manusia sebagai tuhan[2].
أَلا نَعْبُدَ إِلا اللَّهَ وَلا نُشْرِكَ
بِهِ شَيْئًا kalimat ini dalam
keterangan kitab Tafsir Khozin diperuntukkan bagi kaum Yahudi. Karena kata
‘Ubudiyah pada ayat diatas adalah menyembah selain Allah yang berarti berhala
berupa patung-patung yang terbuat dari tanah liat atau yang terbuat dari kurma.
وَلا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا
مِنْ دُونِ اللَّهِ
sedangkan kalimat ini diperuntukkan bagi kaum Nashrani. Hal ini disebabkan
disebabkan kaum Nashrani menyembah sesama manusia yaitu al-Masih nabi Isa dan mereka menyekutukan dengan mengatakan
bahwa ada tuhan Bapak, tuhan Anak dan Ruh Kudus. Selain itu mereka menjadikan
pendeta-pendeta mereka sebagai Tuhan. Karena mereka mengikuti seluruh apa yang
diperintahkannya dan bersujud kepadanya[3].
Dari
beberapa keterangan diatas dapat kita simpulkan bahwa mengajak non muslim untuk
masuk Islam harus dengan lemah lembut dan kata-kata yang adil atau baik yaitu
tidak boleh menyembah kecuali kepada Allah dan tidak boleh menyekutukannya.
Selain itu juga tidak boleh menjadikan sesama manusia sebagai dewa atau tuhan
atau menjadi sesuatu yang disembah. Sebagaimana firman allah dalam Al-Quran
surat Al-Annahl ayat 36 :ô
s)s9ur$uZ÷Wyèt/ÎûÈe@à27p¨Bé&»wqߧÂcr&(#rßç6ôã$#©!$#(#qç7Ï^tGô_$#ur|Nqäó»©Ü9$#(ÇÌÏÈ
36. dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah
Thaghutitu".
4.
Q.S. Al-Ankabut : 46
*wur(#þqä9Ï»pgéB@÷dr&É=»tGÅ6ø9$#wÎ)ÓÉL©9$$Î/}Ïdß`|¡ômr&wÎ)tûïÏ%©!$#(#qßJn=sßóOßg÷YÏB((#þqä9qè%ur$¨ZtB#uäüÏ%©!$$Î/tAÌRé&$uZøs9Î)tAÌRé&uröNà6ös9Î)$oYßg»s9Î)uröNä3ßg»s9Î)urÓÏnºurß`øtwUur¼çms9tbqßJÎ=ó¡ãBÇÍÏÈ
46. dan
janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling
baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka dan Katakanlah:
"Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada Kami dan
yang diturunkan kepadamu; Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu; dan Kami hanya
kepada-Nya berserah diri".
Secara umum ayat ini diturunkan untuk
menjelaskan tentang orang kafir yang mempunyai tanggungan membayar pajak. Namun
ayat masih diperdebatkan, menurut Imam Mujahid ayat diatas masih termasuk ayat
muhakkamah sehingga masih diperbolehkan berdebat dengan Ahl Al-Kitab yang dalam
hal ini adalah kaum Yahudi meskipun dalam istilah Al-Quran memasukkan kaum
Nashrani, dengan diskusi yang baik yaitu mengajak mereka beribadah kepada
Allah, mengingatkan akan tanda-tanda kebesaran Allah dengan harapan mereka
beriman kepada Allah, tidak mengajak dengan cara yang kasar. Kecuali bagi kaum
Ahl Al-Kitab yang masih melakukan kedzaliman, dalam hal ini ada ulama yang
berpendapat adalah mereka yang masih dalam keadaan kufur seperti kaum Bani
Nadhir, Bani Quraidhah dan yang lainnya. Ulama lain mengatakan bahwa mereka
adalah mereka yang belum memberikan kewajibannya yaitu membayar pajak kepada
orang muslim. Mereka wajib diperangi agar masuk Islam atau kalau tidak mau
masuk Islam harus membayar pajak kepada orang Muslim.
Menurut Imam Qatadah dan yang lainnya
berpendapat bahwa ayat diatas hukumnya di Nasakh dengan Ayat peperangan Surat
Al-Taubah ayat 29
(#qè=ÏG»s%úïÏ%©!$#wcqãZÏB÷sã«!$$Î/wurÏQöquø9$$Î/ÌÅzFy$#wurtbqãBÌhptä$tBtP§ymª!$#¼ã&è!qßuurwurcqãYÏttûïÏÈd,ysø9$#z`ÏBúïÏ%©!$#(#qè?ré&|=»tFÅ6ø9$#4Ó®Lym(#qäÜ÷èãspt÷Éfø9$#`tã7töNèdurcrãÉó»|¹ÇËÒÈ
29. perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari
Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan
RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab
kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam
Keadaan tunduk.(Q.S Al-Taubah : 29)
Tetapi pendapat ini dibantah oleh Imam
Al-Nuhas dan yang lain, beliau berpendapat bahwa mereka yang mengatakan bahwa
ayat diatas dinasakh menggunakan referensi ayat Makkiyah, padahal dalam pada
waktu itu tidak peperangan, penarikan pajak dan yang lainnya. Pendapat ini
didukung oleh Imam Ibn Al-Arabi[4].
Dalam kitab Aysart Al-Tafasir dijelaskan
bahwa diskusi yang baik adalah dengan cara mengajak mereka beriman kepada Allah
dan Rasulnya serta masuk Islam dan mengingatkan merekan akan tanda-tanda
kebesaran ciptaan Allah[5].
Kesimpulan dari ayat diatas bahwa jika
berdebat atau berdiskusi dengan Ahl Al-Kitab harus dengan diskusi yang baik,
dengan akhlak baik, lemah lembut dan kata-kata yang baik.Tujuan dari diskusi
dengan mereka adalah menjelaskan kebenaran dan menunjukkan sesuatu yang benar
bukan diskusi yang bertujuan memerangi atau mengalahkan dan sombong.Dan sebaiknya
dalam diskusi membahas tentang keimanan, imam terhadap Al-Quran dan Iman
terhadap Allah dan Rasul.Dalam ayat ini juga menyimpan makna mengajak kebenaran
dan menolak kebathilan[6].
[1]‘Ala’uddin
‘Ali bin Muhammad, Tafsir Khozin, (Lebanon : Dar Al-fikr, 1979) vol 1
hal 361.
[2]Isma’il
bin Umar bin Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, ( Dar Thayyibah, 2009) vol II,
hal 55.
[3]‘Ala’uddin
‘Ali bin Muhammad, Tafsir Khozin, vol 1 hal 361.
[4]Muhammad
bin Ahmad bin Abi Bakr, Tafsir Qurtubi, ( Al-Riyadh, Dar Alam Al-Kutub,
2003) vol 13 hal 350.
[5]Abu
Bakr Al-Jazaairy, Aysart Al-Tafasir, vol III hal 211.
[6]Abdurraman
bin Nashir Al-Sa’diy, Tafsir Al-Sa’diy, ( Muassisah Al-Risalah, 2000),
632.
Komentar