DINASTI BANI UMAYYAH

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang bersifat zoon politicon. Oleh sebab itu manusia tidak bisa dipisahkan pergaulannya dengan manusia yang lain. Dalam hubungannya satu manusia dengan manusia yang lain, manusia berpotensi menimbulkan suatu konflik baik besar maupun kecil. Baik yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan ataupun tidak. Maka berdasarkan kenyataan tersebut manusia membutuhkan sesuatu yang bisa dijadikan alat untuk menyelesaikan konflik tersebut.
Sejak masa yang silam, peradilan telah dikenal dalam masyarakatnya. Sebut saja Yunani, Romawi, Persia, Mesir Kuno dimana lembaga peradilannya sudah tertata dan terorganisir dengan memiliki undang-undang dan peraturan-peraturan yang mereka praktekkan. Atau di timur dekat kita mengenal adanya kodek Hammurabi yang telah meletakkan dasar-dasar keadilan. Hal ini tidak bisa dipungkiri bahwa peradilan sangat diperlukan dikehidupan manusia dalam upaya penyelesaian konfliknya dengan manusia yang lain.
B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana sejarah singkat berdirinya Dinasti Bani Umayyah?
2.      Apa saja kemajuan-kemajuan pada masa Bani Umayyah?
3.      Bagaimana system peradilan masa Bani Umayyah?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Singkat Berdirinya Dinasti Bani Umayyah
Nama daulah Umayyah berasal dari nama Umaiyah bin Abdi Syam bin Abdi Manaf adalah salah seorang dari pemimpin-pemimpin kabilah Quraisy di zaman jahiliah.[1]
Bani Umayyah menginginkan jabatan khalifah, tetapi mereka belum memiliki kesempatan pada masa Abu Bakar dan Umar. Setelah khalifah umar, kandidat khalifah yang baru dari enam sahabat, diantaranya adalah Utsman muncul menjadi harapan besar bagi Bani Umayyah. Mereka lantas mendukung pencalonan Utsman hingga akhirnya Utsman terpilih. Sejak itulah mereka membangun dasar untuk menegakkan pemerintahan Bani Umayah.
Khalifah Umayyah ada 14 orang dan memerintah selama 91 tahun. Politik yang dijalankan tanpa musyawarah dimulai pada Dinasti Umayyah. Keinginan Bani Umayyah untuk berkuasa sangat besar sampai  mereka menghidupkan kembali fanatisme arab dan mengembangkan adat badawah (desa).[2]
Dinasti Umayyah didirikan oleh Muawiyyah ibn Abi Sofyan, ia adalah orang pertama yang mendirikan system kerajaan dalam pemerintahan islam. Ia membangun Dinasti Umayyah setelah kemenangannya dari Ali. Muawiyyah lahir di makkah dari pasangan Abu Sufyan bin Harb dari Bani Umayyah dan Hindun binti Utbah yang juga keturunan Bani Umayyah. Sang ibu semula menikah dengan Faka bin Mughira keturunan Bani Quraisy. Tetapi, pernikahannya tidak langgeng, sehingga perempuan itu menikah kembali dengan Abu Sufyan.
Di masa Rasulullah masih hidup, Muawiyyah dikabarkan pernah menjadi salah seorang pencatat wahyu. Sepeninggal Rasulullah, ia dipercaya oleh khalifah Umar bin Khattab sebagai gubernur Syam. Posisi itu terus dipegangnya sampai masa kekhalifahan Sayyidina Ali bin Abi Thallib.
Muawiyyah tercatat sebagai salah seorang pahlawan perang muslim. Sebagai gubernur Syam, ia menjadi ujung tombak untuk menghadapi serangan Romawi dan mengepung Konstantinopel. Serangan Romawi berhasil dipatahkan dan bahkan Muawiyyah dapat meluaskan wilayah hingga ke laut hitam, Armenia, Azerbaijan, dan Asia kecil. Pada tahun 653, Muawiyyah membangun benteng-benteng diperbatasan konstantinopel guna menahan serbuan tentara Romawi. Dalam serangan-serangan itu Muawiyyah juga berhasil membangun armada pertama angkatan laut pasukan islam yang sangat tangguh.  
Muawiyyah mempunyai hubungan yang sangat erat dengan khalifah Usman bin Affan. Maka tidak mengherankan bila ia tampil sebagai orang pertama yang menuntut bela atas kematian sang khalifah yang tidak terlepas dari isu persekongkolan kelompok-kelompok yang tidak suka pada kebijakan sang khalifah. Muawiyyah juga termasuk pemimpin daerah yang paling keras menuntut kepada Sayyidina Ali untuk mengusut dan menghukum orang yang membunuh Khalifah Usman bin Affan. Pembunuhan Khalifah Usman terjadi pada tahun 655 M, setelah sebelas tahun lamanya Khalifah Usman memegang tampuk kepemimpinan umat islam.[3]
 Kekuasaan Muawiyyah diperoleh setelah dia melengserkan Khalifah Ali bin Abi Thollib. Hal ini bermula ketika ia menampik terang-terangan kekhalifahan Ali dengan alasan bahwa pembunuhan Usman belum diusut. Sedang Ali sendiri mempunyai pendapat yang berbeda mengenai pembunuhan Usman. Khalifah Ali menghendaki penyatuan umat terlebih dahulu sebelum pengusutan pembunuhan Usman.[4]
B.     Kemajuan Dinasti Umayyah[5]
1.      Wilayah Kekuasaan
Dengan keberhasilan ekspansi kebeberapa daerah baik wilayah timur atau barat, wilayah kekuasaan islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas, meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syiria, Palestina, Jazirah Arab. Selanjutnya sebagian Asia kecil, Persia, Afghanistan, Turkmenia, Uzbek, Kirgis dan Asia Tengah.
2.      Kemajuan Bidang Administrasi dan Peradilan
Muawiyyah mendirikan dinas pos dan tempa-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan, dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (Qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri.
Abdul Malik mengubah mata uang Byzantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata dan tulisan Arab. Khalifah Abdul Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi pada masa pemerintahan Islam. Keberhasilan khalifah Abdul Malik diikuti oleh putranya Walid bin Abdul Malik (705-715 M) dengan mendirikan panti-panti untuk orang cacat, membangun jalan-jalan yang menghubungkan satu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang indah.
3.      Kemajuan Bidang Ilmu dan Kebudayaan
Seni sastra berkembang dengan pesatnya, sehingga mampu menembus kedalam jiwa manusia dan berkedudukan tinggi di dalam masyarakat, sehingga syair yang muncul senantiasa menonjolkan sastranya, disamping isinya yang sangat bermutu, para penyair tersebut diantaranya ialah Junair (653-733 M) dan Al-Farazdah (641-732 M). Dalam seni suara, yang sangat berkembang adalah seni baca Al-qur’an dan qasidah.
Sementara itu perkembangan seni ukir yang paling menonjol adalah penggunaan Khat Arab sebagai motif ukiran atau pahat, dikenal dengan istilah kaligrafi. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya dinding masjid dan tembok-tembok istana. Sedangkan seni bangunan banyak berkembang dikota-kota besar seperti bangunan gedung yang tinggi atau masjid-masjid. Salah satu ukiran yang tertinggal sampai saat ini adalah ukiran dinding istana mungil Amrah yang terletak 50 Mil sebelah timur kota Amman (Yordania).
4.      Kemajuan Bidang Tekhnologi
Penemuan pembuatan kertas tahun 650 M percobaan kertas pertama di Samarkand dan Lonia dengan menggunakan ampas sutra. Tahun 705 M, Yusuf Amran di makkah membuatnya dari kapas yang disebut Damaskus Paper, dan di Andalusia dibuat serat-serat linen yang disebut Yativa Paper. Adanya kompas, walaupun bangsa Cina lebih dahulu menemukannya, akan tetapi penggunaannya terbatas untuk keperluan upacara keagamaan dan keramaian seperti mercon. Tetapi Bani Umayyah yang merintis sifat kegunaannya menjadi peralatan militer.



C.    Peradilan Di Masa Bani Umayyah
Pada masa Umayyah, ulama dan ahli hukum Islam berpencar ke berbagai pelosok negeri Islam. Mereka tidak lagi berkonsentrasi di ibu kota Negara, Damaskus. Hal ini disebabkan semakin meluasnya daerah penaklukan.
Kondisi tersebut berpengaruh terhadap kebijakan khalifah dalam pengangkatan hakim. Pada masa itu belum ada tingkatan lembaga peradilan atau belum ada qadhil qudhat. Maka, masing-masing hakim bediri sendiri. Satu sama lain tidak  mempunyai hak untuk mengatur, mengawasi dan memberikan perintah kepada lainnya. Namun secara hierarkis mereka berada di bawah kekuasaan khalifah dan wakil-wakilnya.[6]
Pada masa itu qadhi-qadhi dibatasi wewenangnya, yaitu hanya memutus perkara dalam urusan-urusan khusus. Sedang yang berhak menjalankan keputusan adalah khalifah sendiri atau wakilnya dengan instruksi dari khalifah.
Dalam periode ini belum dikenal pencatatan keputusan pengadilan. Teknis pengajuan perkara mula-mula diajukan kepada qadhi untuk diteliti, kemudian kedua pihak yang bersengketa dihadapkan dan dihadirkan disidang, lalu qadhi menyampaikan keputusannya.
Pada  masa Muawiyyah, ada seorang qadhi mesir bernama Sulaim bin Attar, yang berpendapat tentang pentingnya pencatatan keputusan.  Sulaim bin Attar adalah hakim yamg pertama kali membuat catatan dan membukukan keputusan pengadilan.[7]

Tuntutan kasus yang terkadang tidak ditemukan penjelasan dari Al-Quran dan hadist, pada umumnya orang yang diangkat hakim pada masa itu adalah ia yang berkualifikasi sebagai mujtahid. Dalam memutuskan kasus yang dihadapi, mereka tidak terkait dengan madzhab atau pendapat tertentu. Mereka langsung menggali hukum dari Al-Quran dan hadits. Jika masalah belum menemukan penjelasan dari nash, mereka berijtihad dengan akal mereka. Jika mengalami kesulitan dalam menetapkan hukum suatu kasus, mereka meminta bantuan kepada ahli fiqh yang berada di lingkungan mereka. Ada juga yang meminta pertimbangan dari khalifah atau gubernur.
Tersebarnya para mufti dan ulama juga membawa implikasi beragamnya fatwa dan keputusan qadhi di dua tempat sehingga menimbulkan dua keputusan. Pada masa itu ada dua kubu dalam praktik hukum Islam. Satu kubu lebih mementingkan kepada nash, sedang kubu yang lain cenderung ke arah penggunaan ra’yi.
Karena metode yang mereka pakai berbeda, tentu saja ada beberapa hal yang berkaitan dengan qadha yang diperselisihkan. Misalnya , ulama Hijaz mengatakan bahwa qadha bisa dilakukan dengan satu saksi dan boleh memakai sumpah dalam masalah perdata atau harta. Dasar hukum yang mereka pakai adalah riwayat Abu Salmah bin Abdurrahman dan Sulaiman bin Yassar ketika ditanya “apakah nabi memutuskan perkara dengan sumpah seorang saksi?” mereka berdua menjawab, “ya”. Hal ini diperkuat dengan perkataan Imam Syafi’i, dari Malik dari Ja’far dari ayahnya bahwa nabi memutuskan perkara dengan sumpah dan dengan satu orang saksi.[8]



Dari uraian di atas terlihat bahwa lembaga peradilan pada masa Umayyah adalah lembaga yang mandiri, independen, dan tidak menjadi instrument politik penguasa. Mayoritas hakim pada masa itu adalah mujtahid sehingga terbentuk peradilan yang lebih sempurna dibanding pada masa khulafa ar-rasyidin.[9]
Peradilan di masa Bani Umayyah mempunyai dua ciri khas yaitu:
1.      Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri, dalam hal-hal yang tidak ada didalam nash dan ijma’. Pada waktu itu madzhab-madzhab yang empat ini belum ada dan belum menjadi pengikat bagi putusan-putusan hakim. Para hakim pada masa itu berpedoman kepada Al-qur’an dan As-sunnah saja.
2.      Lembaga peradilan pada masa itu belum dipengaruhi oleh politik. Hakim-hakim pada masa itu mempunyai hak otonom yang sempurna, tidak dipengaruhi oleh keinginan-keinginan penguasa. Putusan-putusan mereka tidak saja berlaku atas rakyat biasa, bahkan berlaku atas penguasa-penguasa itu sendiri. Dari sudut yang lain, khalifah selalu mengawasi gerak-gerik hakim dan memecat hakim-hakim yang menyeleweng dari garis-garis yang sudah ditentukan.
Hakim-hakim di masa Bani Umayyah, terdiri atas orang-orang pilihan yang berbudi luhur, mempunyai wibawa yang sempurna, takut akan Allah dan tetap memelihara keadilan.


Umar ibn Abdul Aziz mengatakan: “apabila terdapat pada seseorang hakim lima perkara, maka itulah hakim yang sempurna,” yaitu:
1)      Mengetahui hukum-hukum yang telah diputuskan oleh hakim-hakim yang telah lalu (yurisprudensi).
2)      Bersih dari tamak.
3)      Dapat menahan amarah.
4)      Meneladani pemimpin-pemimpin agama yang terkenal.
5)      Selalu merundingkan dengan para ahli.

 













BAB III
KESIMPULAN
Nama daulah Umayyah berasal dari nama Umaiyah bin Abdi Syam bin Abdi Manaf adalah salah seorang dari pemimpin-pemimpin kabilah Quraisy di zaman jahiliah. Khalifah Umayyah ada 14 orang dan memerintah selama 91 tahun. Politik yang dijalankan tanpa musyawarah dimulai pada Dinasti Umayyah. Keinginan Bani Umayyah untuk berkuasa sangat besar sampai  mereka menghidupkan kembali fanatisme arab dan mengembangkan adat badawah (desa).
Dinasti Umayyah didirikan oleh Muawiyyah ibn Abi Sofyan, ia adalah orang pertama yang mendirikan system kerajaan dalam pemerintahan islam. Ia membangun Dinasti Umayyah setelah kemenangannya dari Ali. Muawiyyah lahir di makkah dari pasangan Abu Sufyan bin Harb dari Bani Umayyah dan Hindun binti Utbah yang juga keturunan Bani Umayyah. Sang ibu semula menikah dengan Faka bin Mughira keturunan Bani Quraisy. Tetapi, pernikahannya tidak langgeng, sehingga perempuan itu menikah kembali dengan Abu Sufyan.
Pada masa Umayyah, ulama dan ahli hukum Islam berpencar ke berbagai pelosok negeri Islam. Mereka tidak lagi berkonsentrasi di ibu kota Negara, Damaskus. Hal ini disebabkan semakin meluasnya daerah penaklukan. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap kebijakan khalifah dalam pengangkatan hakim. Pada masa itu belum ada tingkatan lembaga peradilan atau belum ada qadhil qudhat. Maka, masing-masing hakim bediri sendiri. Satu sama lain tidak  mempunyai hak untuk mengatur, mengawasi dan memberikan perintah kepada lainnya. Namun secara hierarkis mereka berada di bawah kekuasaan khalifah dan wakil-wakilnya.
Dalam periode ini belum dikenal pencatatan keputusan pengadilan. Teknis pengajuan perkara mula-mula diajukan kepada qadhi untuk diteliti, kemudian kedua pihak yang bersengketa dihadapkan dan dihadirkan disidang, lalu qadhi menyampaikan keputusannya.
Pada  masa Muawiyyah, ada seorang qadhi mesir bernama Sulaim bin Attar, yang berpendapat tentang pentingnya pencatatan keputusan.  Sulaim bin Attar adalah hakim yamg pertama kali membuat catatan dan membukukan keputusan pengadilan.














DAFTAR PUSTAKA
Basiq Djalil, Peradilan Islam. Jakarta:  Amzah. 2012.
Salam Madzkur, Muhammad. Peradilan Dalam Islam. Surabaya: Binata Ilmu. 1982.
Shiddieqy Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam. Yogyakarta: Al-ma’arif. 1964.



[1] Basiq Djalil, Peradilan Islam. Jakarta:  Amzah. 2012, hal. 151.
[2] Ibid, 151-152.
[3] Shiddieqy Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam. Yogyakarta: Al-ma’arif. 1964.
[4] Salam Madzkur, Muhammad. Peradilan Dalam Islam. Surabaya: Binata Ilmu. 1982.122.
[5] Shiddieqy Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam. Yogyakarta: Al-ma’arif. 1964.
[6] Basiq Djalil, Peradilan Islam. Jakarta:  Amzah. 2012, hal. 152-153.
[7] Ibid, 153-154.
[8] Ibid, 154
[9] Ibid, 155.

Komentar

Postingan Populer