KONSEP MANUSIA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Penegasan
Istilah
Untuk menghindari pembahasan yang meluas serta
menghindari kesalahpahaman pembaca dalam memahami istilah yang dipakai dalam
skripsi ini, maka perlu dibuat penjelasan terhadap istilah-istilah tersebut,
yaitu :
a.
Konsep
Konsep yaitu gambaran mental
suatu objek, proses, atau apapun yang berada diluar bahasan dan yang digunakan
oleh akal budi untuk memahami masalah-masalah lainnya, atau dengan kata lain,
ide atau pendapat yang diabsatrakkan melalui peristiwa nyata.[1]
Dalam wilayah filsafat ilmu,
konsep dalam bahasa Inggris adalah concept (bhs latin concepere,
conceptum,) yaitu kesan mental, sebuah pikiran, pernyataan gagasan dari
sebarang tingkat kenyataan atau abstraksi yang digunakan dalam berpikir
abstrak.[2]
b.
Implikasi
Implikasi yaitu keterlibatan,
maksud atau pengertian yang tidak disebutkan secara langsung[3] dalam hal ini implikasi konsep manusia
menurut Hasan Langgulung terhadap pendidikan Islam.
Dalam kamus filsafat terkadang
disebut implikasi defisional deduksibilitas yaitu pernyataan dari
pernyataan lainnya. Contoh :”Adam menikah”, secara logis maka berarti ia
memiliki istri.[4]
c.
Pendidikan
Pendidikan ialah bantuan yang diberikan dengan sengaja
kepada anak dalam pertumbuhan jasmani
maupun rohaninya untuk mencapai tingkat dewasa.[5]
Noeng
Muhadjir mamaknai pendidikan sebagai upaya terprogram, mengantisipasi perubahan
sosial oleh pendidik-mempribadi membantu subyek-didik dan satuan sosial
berkembang ke tingkat yang labih baik dengan jalan yang normatif juga baik.[6]
d.
Pendidikan Islam
Menurut Athiyah Al-Abrosyi, pendidikan Islam adalah
mempersiapkan individu agar ia dapat hidup dengan kehidupan yang sempurna.[7]
Sedangkan Drs. Abu Tauhied,
pendidikan Islam yaitu upaya mempersiapkan anak atau individu dan
menumbuhkannya baik dari sisi jasmani, akal fikiran dan rohaninya dengan
pertumbuhan yang terus menerus agar ia
dapat hidup dan berpenghidupan sempurna dan ia dapat menjadi anggota masyarakat
yang berguna bagi dirinya dan umatnya.[8]
Pengertian judul
secara keseluruhan adalah Konsep Manusia
Menurut Hasan Langgulung dan implikasinya Terhadap pendidikan Islam,
maksudnya adalah konsep manusia dalam pemikiran Hasan Langgulung dan
implikasinya terhadap pendidikan, maksudnya adalah kajian Hasan Langgulung
mengenai manusia dalam tinjauan filsafat pendidikan dan pengaruhnya dalam
bidang pendidikan Islam, dalam hal teori atau konsep maupun praktik pendidikan
.
B.
Latar
Belakang Masalah
Masalah pendidikan adalah
masalah hidup dan kehidupan manusia. Dalam kehidupannya, manusia akan selalu
memerlukan pendidikan agar ia mampu mempertahankan hidup atau dapat mencapai
kehidupannya agar lebih baik.
Dalam sejarah manusia,
pendidikan sebenarnya sudah dimulai sejak adanya makhluk yang bernama manusia,
hal ini berarti bahwa pendidikan itu berkembang dan berproses bersama-sama
dengan proses perkembangan dan kehidupan manusia.[9]
Usaha untuk menciptakan suatu
sistem pendidikan yang dapat memindahkan nilai-nilai kebudayaan yang
dikehendaki tersebut belum sepenuhnya dapat mencapai hasil yang maksimal serta
memuaskan. Dengan kata lain, sistem pendidikan yang benar-benar mapan dapat
diterima secara universal, bentuk nilai-nilai falsafi, serta serasi dengan
fitrah manusia dan tatanan masyarakat masih belum ditemui.[10]
Hal itu terlihat dari
kenyataan hasil yang telah dicapai oleh
pendidikan model Barat yang lebih menonjolkan aspek rasional manusia.
Pendidikan yang awalnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan
kemashlahatan manusia, telah menghasilkan kemajuan dibidang ilmu pengetahuan.
Namun pendidikan model ini belum sepenuhnya mampu menyentuh kebutuhan hakiki
dari manusia secara sempurna yaitu kebutuhan nilai-nilai kemanusiaan, baik dari
aspek jasmani dan rohani.
Beberapa kemajuan dibidang
teknologi dan ilmu pengetahuan yang telah mampu memberikan kehidupan lebih mudah
dan nyaman tersebut, justru telah menimbulkan permasalahan baru, keraguan,
keresahan dan rasa tidak aman, semakin dirasakan manusia. Bahkan kemajuan
tersebut telah berubah manjadi bencana yang sewaktu-waktu dapat mengancam
kelangsungan hidup manusia.[11]
Kelemahan-kelemahan seperti
yang telah disebutkan diatas, bukan tidak disadari oleh pakar pendidikan barat.
Tetapi usaha untuk mengatasi kelemahan itu belum ditemukan kelanjutannya. Hal
ini telah mendorong para filosof untuk mencari kebenaran yang lain yang dapat
dijadikan dasar bagi sistem pendidikan
yang pada akhirnya para ilmuan mau tidak mau kembali menoleh kepada hakikat
manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Para filosof dan ilmuwan
dituntut untuk mencari jawaban dari beberapa pertanyaan prinsipil, pertanyaan
itu, menurut Jacques Maritain, -- sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin--,
mengarah kepada pemikiran filsafat pendidikan, yaitu siapa manusia, dimana dan
kemana manusia akan pergi,apa yang menjadi tujuan hidup manusa, semua hal ini dikaji dalam
bentuk penciptaannya.[12]
Salah satu tema sentral yang
dibahan filsafat pendidikan adalah pembahasan tentang masalah manusia. Hai ini
disebabkan karena keterlibatan manusia dalam proses pendidikan sangatlah jelas.
Dimana dalam pendidikan, manusia berperan sebagai subjek sekaligus objek
pendidikan[13] Sementara itu, dalam dunia pendidikan,
pemahaman tentang manusia sangatlah penting, As-Syaibani menyatakan bahwa
penentuan sikap dan tanggapan tentang manusia sangat penting dan vital, tanpa
sikap dan tanggapan yang jelas, pendidikan akan meraba-raba.[14] Apabila pemahaman tentang manusia tidak
jelas, maka berakibat tidak baik pada proses pendidikan itu sendiri.
Persoalan yang kemudian muncul
adalah cara pandang atau konsep manusia yang digunakan menentukan konsep-konsep
lanjutan pada suatu disiplin ilmu atau aliran tertentu. Begitu juga apabila
menelaah pendidikan, maka setiap aliran, teori atau sistem pendidikan berakar
pada sebuah pandangan falsafah manusia yang digunakan.
Sebagai contoh apa yang
terjadi dalam tradisi pendidikan di Barat yang berdasarkan pada filsafat
positivistik sehingga pendidikan menjadi bebas nilai.manusia dalam pendidikan dipandang sebagai objek yang
tidak jauh berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Perbedaannya hanya dalam
fungsi berfikir, kemudian dikatakanlah bahwa manusia adalah binatang yang
berfikir. Kemudian pemikiran ini melahirkan pandangan dan sikap hidup
materialisme. Puncak kepuasan manusia terletak pada pemuasan materi.
Materialisme dan sekuler berjalan seiring dan berkelindan satu sama lain.[15]
Kesalahan pemahaman yang telah
dilakukan ilmuwan dalam memandang manusia berakibat pada manusia itu sendiri.
Karena pada kenyataannya tidak semua kehidupan manusia dapat dirasionalkan.
Banyak bagian dari kehidupan manusia yang tidak dapat dirasionalkan yang hadir
dalam kehidupan manusia seperti cinta, seni, kematian dan sebagainya.
Pandangan yang bersifat
antroposentris ini jauh berbeda dengan pandangan Islam dalam melihat manusia
dari segi hakikat jati diri substansi manusia. Manusia adalah makhluk yang
mempunyai berbagai keistimewaan yang berbeda dengan makhluk lain. Manusia
memiliki tiga dimensi dimensi yaitu dimensi jasmani, rohani dan roh.[16] Roh (bukan unsur rohani) menurut Hasan
Langgulung, adalah unsur fitrah ketauhidan pada diri manusia.Tuhan memberi
manusia potensi yang sejalan dengan sifat-sifat-Nya dalam kadar terbatas.[17] Aspek ruhani inilah yang tidak tersentuh
oleh pendidikan yang berlangsung di Barat.
Dasar yang melandasi pemikiran
pendidikan Islam adalah konsep filsafat pendidikan yang menyatakan bahwa segala
yang ada terwujud melalui proses
penciptaan (creation ex nihilo) bukan terwujud dengan sendirinya. Konsep
yang bersifat Antroporeligiocentris inilah yang mendasai konsep-konsep
dasar pendidikan Islam lainnya, seperti tentang hakikat manusia, tujuan
pendidikan yang kemudian akan mengarahkan kepada pelaksanaan pendidikan Islam.[18]
Memahami kondisi demikian,
maka diperlukan konsep baru tentang manusia yang mempunyai landasan kuat dan
jelas, sehingga manusia dipandang dan ditempatkan secara benar dalam arti
sesungguhnya. Untuk itu penulis,
memfokuskan pada pemikiran Hasan Langgulung. Sehingga apabila dikaitkan dengan
persoalan krisis kemanusiaan sekarang ini diharapkan didapatkan sebuah solusi
alternatif dalam memecahkan permasalahan pendidikan Islam.
Hasan Langgulung memiliki
latar belakang yang luas dalam bidang pendidikan dan psikologi. Beliau banyak
menghasilkan karya dalam bidang ini. Dari karyanya antara lain Manusia dan Pendidikan, suatu analisa
pendidikan dan psikoolgi, Falsafah pendidikan Islam (Terjemah), Beberapa
Pemikiran tentang pendidikan Islam, dan lain-lain. Dari beberapa karya
diatas terlihat bahwa Hasan Langgulung merupakan seorang yang kompeten dan profesional dalam
bidang ini.
Menurut Hasan Langgulung pendidikan Islam dapat
ditinjau dari dua segi, yaitu dari sudut padang masyarakat dan dari sudut
pandang individu. Masyarakat memandang pendidikan sebagai pewarisan kebudayaan
atau nilai-nilai budaya baik yang bersifat intelektual, keterampilan, keahlian
dari generasi sebelumnya kepada generasi sekarang agar masyarakat tersebut
terpelihara kelangsungannya hidupnya atau tetap memelihara kepribadiannya.
Adapun dari segi individu pendidikan berarti upaya pengembangan potensi-potensi
yang dimiliki individu yang masih terpendam agar teraktualisasikan secara
kongkret, sehingga hasilnya bisa dinikmati individu dan masyarakat.[19]
Dari pengertian diatas dapat
dipahami bahwa pendidikan itu mempunyai fungsi ganda.. Pada sisi pendidikan
berfungsi untuk memindahkan nilai-nilai menuju pemilikan nilai (internalisasi)
untuk memlihara kelangsungan hidup (survive) suatu masyarakat dan
peradaban.pada sisi yang lain pendidikan berfungsi untuk mengaktualisasikan
fitrah manusia agar dapat hidup secara optimal, baik sebagai individu maupun
anggota masyarakat, serta mampu memikul tanggung jawab atas segala perbuatannya
sehingga memperoleh kebahagiaan dan
kehidupan yang sempurna.
Dalam hal lain Hasan
Langgulung mendifinisikan pendidikan Islam sebagai suatu proses spiritual,
akhlaq, dan sosial yang berusaha membimbing manusia dan memberinya nilai-nilai
prinsip dan teladan ideal dalam kehidupan yang bertujuan mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat.[20]
Menurut Hasan Langgulung ada
lima sumber nilai yang diakui dalam Islam,yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
sebagai sumber yang asal. Kemudian qiyas, artinya membandingkan masalah yang
disebut oleh Al-Qur’an atau Sunnah dengan masalah yang dihadapi umat Islam tetapi nash yang tegas dalam
Al-Qur’an tidak ada. Kemudian kemashlahatan umum yang tidak bertentangan dengan
nash. Sedangkan sumber kelima adalah ijma’ ulama dan ahli fikir Islam yang
sesuai dengan sumber dasar Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi.[21]
Falsafah pendidikan Islam
berasal dari falsafah hidup Islam mencakup kebenaran (truth) yang
bersifat spekulatif dan praktikal yang menolong untuk menafsirkan tentang
manusia, sifat-sifat ilahiyah-Nya, nasib kesudahannya, dan keseluruhan hakikat (reality).ia
didasarkan pada prinsip-prinsip tertinggi dan tidak berubah pada kesalahan bagi
tingkah laku individu dan masyarakat.[22]
C.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana konsep
manusia menurut Hasan Langgulung ?
2. Apa implikasi konsep
tersebut terhadap pendidikan Islam ?
D.
Alasan
Pemilihan Judul
Dalam skripsi ini penulis
mengangkat pemikiran seorang tokoh pendidikan kelahiran Rappang, Sulawesi
Selatan, Indonesia yang tinggal dan mengajar di Universitas Kebangsaan
Malaysia, adapun yang menjadi daya tarik penulis untuk mengangkat tema ini
adalah :
1. Hasan Langgulung
adalah selain seorang tokoh pendidikan
Islam yang mempunyai banyak pengalaman
dalam bidang pendidikan Islam, Langgulung juga seorang tokoh pemikir pendidikan
Islam kontemporer yang memiliki corak dan nuansa distingtif dengan pemikiran-pemikiran Pendidikan Islam pada era
sebelumnya, hal ini disebabkan latar belakang dan cara berfikir Langgulung yang
berusaha memadukan konsep pendidikan dari berbagai disiplin ilmu baik
psikologi, filsafat pendidikan dan sosilogi .
2. Selain itu, pemikiran
Hasan Langgulung terkadang menimbulkan perdebatan dikalangan ahli pendidikan
Islam, seperti konsep kebebasan manusia dalam pendidikan, konsep fitrah
manusia, dan beberapa pemikiran Langgulung lainnya.
3. Apabila dikaitkan
dengan konteks pendidikan Islam kontemporer yang masih dalam “pencarian” jati
dirinya. Konsep pemikiran Hasan Langgulung dapat menjadi sebuah wacana keilmuan
yang perlu dikritisi dan bahkan dikaji kembali dalam aplikasinya pada realitas
pendidikan Islam dan pendidikan di Indonesia pada umumnya
E.
Tujuan dan
Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian ini atau kajian terhadap
pemikiran Hasan Langgulung dilakukan
dengan tujuan :
1.
Untuk memahami konsep manusia menurut Hasan
Langgulung.
2.
Untuk mengetahui implikasi konsep tersebut
terhadap pendidikan Islam ?
Dan terakhir kajian ini diharapkan dapat
menjadi sumbangan pemikiran bagi khazanah keilmuan Islam, khususnya bagi mereka
yang concern terhadap
persoalan-persoalan yang sangat fundamental dalam dunia pendidikan Islam.
F.
Telaah
Pustaka
Kajian-kajian tentang manusia
sudah sangat tua dan sangat banyak dilakukan oleh para pakar dan pemikir, setua
kehidupan manusia itu sendiri, baik sejak zaman filosof Yunani, zaman Islam,
hingga pada sekarang ini.
Kajian tentang manusia
sebelumnya antara lain telah dilakukan
oleh Dr. Muhammad Yasir Nasution, dalam bukunya “Manusia menurut Al-Ghazali”, M. Yasir Nasution mengemukakan konsep
Al-Ghazali tentang manusia, manusia adalah makhluk yang terdiri dari badan
(fisik atau jasmani), jiwa dan al-ruh. Essensi ketiganya adalah jiwa. Jiwa dan
badan mempunyai hubungan yang aksidental, pada saat hubungan keduanya terputus.
Kedua unsur itu disatukan dalam al-nafs (jiwa). Jiwa bersifat immateri dan
dinamis. [23]
Kajian tentang manusia
sebelumnya telah dilakukan oleh Dr. H. Musa Asy’arie. Menurut Musa Asy’arie
manusia disebutkan dalam al-Qur’an dalam berbagai bentuk suku kata seperti insan, dan basyar. Kedua kata itu
mempunyai hubungan yang erat dengan kedudukan manusia sebagai khalifah dan ‘abd. Insan sebagai realisasi dari khalifah dan basyar
merealisasikan sifat ‘abd.[24]
Muhammad Syamsuddin, juga
telah melakukan kajian tentang manusia dalam pandangan KH. A.Azhar Basyir,
bahwa eksistensi manusia adalah berasal dari ruh Allah yang mempunyai substansi
material (dari tanah) dan substansi ruhaniah (ruh ciptaan Allah).
Individualitas diukur secara emperis dalam keterlibatannya dengan sesama manusia
dan lingkungannya. Keberadaannya ditentukan oleh relasi sosial disekitarnya.
Dalam relasi sosial, individu dibatasi oleh norma-norma yang sudah ada, dan
mereka terinternsalisasi oleh sistem nilai yang melingkupinya sejak kecil
sampai dewasa.[25]
Adapun kajian tentang
pemikiran Hasan Langgulung dalam sepengetahuan penulis telah dilakukan oleh
Drs. Mahfud Junaedi, yaitu Mahasiswa Prorgam Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta tahun 1997 dengan thesisnya berjudul “ Pemikiran Pendidikan
Kontemporer (Studi atas Pemikiran Hasan Langgulung)”
Dalam tesis itu kajian Hasan
Langgulung tidak saja sebagai produk pemikiran namun juga sebagai proses.
Selanjutnya tulisan ini menggali pemikiran Hasan Langgulung pada titik
penekanan kajian filsafat pendidikan Hasan Langgulung, baik dalam hal cara
berfikir (epistemologi), ontologis serta
dan implikasi wacana pemikiran Hasan Langgulung pada pendidikan dimasa
yang akan datang. [26]
Yang menjadi perbedaan dalam
kajian skripsi ini adalah, penulis akan menggali pemikiran Hasan Langgulung
pada permasalahan yang lebih spesifik lagi yaitu pembahasan konsep manusia dan
beberapa implikasinya terhadap pendidikan Islam.
Kemudian kajian lainnya
terhadap Hasan Langgulung juga telah dilakukan oleh Subaidi, Mahasiswa Fakultas
Agama Islam Universitas Cokroaminoto Yogyakarta dalam skirpsinya yang berjudul Konsep
Pendidikan Islam menurut Hasan Langgulung (Tinjauan Filosofis). Dalam
skripsi tersebut dikemukakan tentang hakikat pendidikan Islam. Konsep
pendidikan Islam meliputi pengertian dan dasar-dasar pendidikan Islam, serta
tujuan dan prinsi-prinsip pendidikan Islam. Sedangkan permasalahan tentang
manusia hampir-hampir tidak dibahas sama sekali, yaitu terbatas pada
nilai-nilai kemanusiaan dan kesatuan umat manusia.[27]
Dan terkahir ada tulisan dari
Drs. Achmad Sudja’ie tentang pemikiran Hasan Langgulung tentang pendidikan
Islam, yang isinya hampir sama yaitu pengertian pendidikan Islam, dasar-dasar
pendidikan Islam, nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan Islam serta
tujuan pendidikan Islam.[28]
Adapun yang menjadi perbedaan
dalan skripsi ini adalah kajian manusia dilakukan secara lebih mendalam dan komprehensif yakni pada
hakikat manusia, proses penciptaan manusia,konsep fitrah dan seluruh
permasalahan yang berkaitan dengan persoalan manusia serta implikasinya
terhadap pendidikan Islam.
G.
Kerangka
Teoritik
Untuk memudahkan dalam
melakukan analisis kependidikan Hasan Langgulung tentang manusia dan melihat
posisi pemikirannya diantara teori-teori pendidikan Islam yang ada, maka dalam
landasan teoritik ini perlu dijelaskan telaah tentang manusia yang pernah
muncul dalam teori pendidikan.
Konsep manusia sangat penting artinya di dalam suatu sistem pemikiran dan
di dalam kerangka berfikir seorang tokoh intelektual atau pemikir. Konsep
tentang manusia menjadi penting karena
ia termasuk bagian dari pandangan hidup seseorang.[29]
a.
Hakikat Penciptaan
Manusia
c.
Fitrah Manusia.
Kata “fitrah” berasal dari kata kerja (fi’il) fathara yang berarti “menjadikan”. Secara etimologis fitrah
berarti : kejadian, sifat semula jadi, potensi dasar, kesucian. Didalam kamus
munjid ditemukan bahwa fitrah mempunyai arti yaitu sifat yang menyifati segala
yang ada pada saat selesai di ciptakan.[43]. firman Allah dalam al-Qur’an :
“Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas FITRAH
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan
paa fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus;Tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahuinya. (Q.S.
Al-Rum:30)
Sabda Rasulullah SAW :
“Tiap-tiap anak dilahirkan di atas fitrah. Maka ibu
bapaknyalah yang mendidiknya menjadi orang yang beragama Yahudi,Nasrani dan
Majusi.
(H.R. Bukhari).
Para
ulama telah memberikan berbagai interpretasi tentang fitrah seperti yang
tersebut dalam al-Qur’an dan al-Hadist diatas. Muzayyin menyimpulkan bahwa
fitrah adalah suatu kemampuan dasar berkembang menusia yang dianugerahkan Allah
kepadanya. Didalmnya terkandung berbagai komponen psikologis yang satu sama lain
saling berkaitan dan saling menyempunakan bagi hidup manusia.[44]
Salah
satu fitrah di antara sekian banyak
jenis fitrah adalah fitrah beragama.
Dengan fitrah beragama itu manusia menerima Allah sebagai Tuhannya; atau
dengan kata lain manusia dari asal kejadianya mempunyai kecenderungan beragama,
sebab agma itu sebagian dari fitrahnya.
H.
Metode
Penelitian
Segala kegiatan yang
berhubungan dengan kegiatan ilmiah,baik mengenai uraianb atau penyimpulan agar
dapat dipertanggungjawabkan, maka diperlukan suatu metode.
Adapun metode yang digunakan
dalam penulisan ini meliputi :
1. Metode Pengumpulan
Data
Untuk
pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan dengan Library Reserach,
yaitu pengumpulan bahan dari buku-buku, artikel, encyclopedi yang dipandang ada
relevansinya sebagai bahan penulisan. Sehubungan dengan data diatas, maka
metode yang digunakan adalah dokumentasi, datanya disebut data literatur.[45]
Sebenarnya sumber primernya
adalah wawancara secara langsung dengan Hasan Langgulung, namun karena kendala
teknis yang tidak bisa diatasi, yaitu dikarenakan Hasan Langgulung tinggal di
Malaysia maka diganti dengan kajian terhadap buku-buku serta tulisan yang
ditulis oleh Langgulung sebagai sumber primer. Buku-buku tersebut yaitu :
- Manusia dan Pendidikan , Al Husna Zikra, Jakarta, tahun 1995.
- Asas-Asas Pendidikan Islam, Al-Husna, Jakarta, 2000
- Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan
Islam PT. Al-Ma’rif,
Bandung, 1996
- Peradaban dan pendidikan Islam, Al Husna
Zikra, Jakarta, 1985
- Kreativitas dan pendidikan Islam, Pustaka
Al-Husna, Jakarta, 1991
Kemudian sumber sekunder adalah buku-buku lainnya
yang menunjang kajian ini, antara lain :
- Filsafat Pendidikan Islam, karya M. Arifin, M.Ed, Bumi Aksara,
Jakarta
- Falsafah Pendidikan Islam, Prof. Dr. Al-Toumy al-Syaibany, Bulan
Bintang, Jakarta, 1975
- Pemikiran
Pendidikan Islam,
karya Drs. Muhaimin, MA dan Drs. Abdul Mujib, Trigenda Karya, Bandung,
1993
- Teologi Pendidikan, karya Dr. Jalaluddin, Rajawali
Perss, Jakarta, 2000
2.
Metode Pengolahan Data
a)
Deskripsi
Deskripsi adalah menafsirkan
dan menuturkan data-data yang ada, misalnya situasi yang dialami satu hubungan
kegiatan, dan sikap yang nampak;
yaitu dengan seteliti mungkin
seluruh perkembangan, dengan peralihan-peralihan dan pengarh-pengaruh satu sama
lain antara arti-arti, diuraikan secara lengkap dan teratur.[46]
b)
Analisis Data
Dalam menganalisis data
penelitian ini menggunakan pendekatan Filosofis
dan kritis, yaitu hasil dari perenungan yang mendalam terhadap permasalahan
yang dibahas. Dalam hal ini, Harry Scholfield mengemukakan bahwa
analisis filosofis pada hakikatnya terdiri dari analisa linguistik dan analisa konsep.
Yang pertama adalah untuk mengetahui arti
yang sesungguhnya dari sesuatu, sedangkan analisa yang kedua adalah
untuk menganalisa kata-kata yang dapat
dikatakan kunci atau pokok yang mewakili suatu gagasan atau konsep.[47]
c)
Teknik Analisis
Sedangkan teknik analisis yang
digunakan adalah teknik komparatif.[48] Metode ini digunakan untuk membandingkan
pemikiran Hasan Langgulung tentang manusia dan implikasinya dalam pendidikan
dengan pemikiran para ahli pendidikan pada permasalahan yang sama.
d)
Induksi dan Deduksi
Sementara itu, metode analisis
induktif digunakan dalam rangka merumuskan kesimpulan atas pemikiran Hasan
Langgulung yang berkaitan dengan manusia, sehingga diperoleh gambaran yang
jelas pemikirannya tentang manusia.
Untuk mengambil kesimpulan,
dipergunakan tata fikir reflektif, yaitu berfikir yang prosesnya mondar-mandir
antara yang empirik dengan yang abstrak.[49]
I.
Sistematika
Pembahasan
Untuk
memudahkan dalam eksplorasi berfikir penulisan ini dibagi menjadi beberapa bab
yang satu sama lain saling berkelindan erat dari segi pembahasan.
Bab
I : Pendahuluan, meliputi A)
penegasan istilah, B) latar belakang masalah, C) rumusan masalah, D) alasan
pmemilihan judul, E) tujuan dan kegunaan penelitian, F) telaah pustaka, G) kerangka teoritik, H)
metode penelitian, dan I) sistematika pembahasan.
Bab II : Riwayat hidup singkat Hasan
Langgulung meliputi: A) kelahiran, dan keluarga, B)
Riwayat pendidikan Islam dan aktivitas Hasan Langgulung, C) Karya-karya Hasan
Langgulung
Bab
III : Konsep manusia menurut Hasan Langgulung meliputi: A)
Manusia sebagai khalifatullah di bumi, meliputi : a) Fitrah Manusia, b)
Pemenuhan kebutuhan jasmani dan ruhani, c) kebebasan kemauan, dan d) akal pikiran.
B) Kejadian Manusia dan Tujuan
Hidupnya, C) Sifat-sifat Asal Manusia, D) Konsep Amanah, E) Perjanjian Antara
Tuhan dan Manusia (Mithaq)
Bab
IV : Implikasi Konsep Manusia Menurut Hasan Langgulung Terhadap pendidikan
Islam, meliputi : A) Manusia sebagai khalifah Allah di bumi dan pengaruhnya
pada pendidikan Islam, meliputi : a) Fitrah manusia dan implikasinya terhadap
pendidikan Islam, b) kebutuhan jasmani dan rohani dan implikasinya terhadap
pendidikan Islam, c)Kebebasan manusia dan implikasinya terhadap metode
pendidikan Islam, d) potensi akal dan implikasinya terhadap pendidikan Islam.
B)
penciptaan manusia dan implikasinya terhadap pendidikan Islam, C) Konsep Amanah
dan implikasinya terhadap pendidikan Islam, D) Kebebasan Manusia dan
implikasinya terhadap pendidikan Islam
Bab V Penutup, yaitu Kesimpulan.
BAB III
PEMIKIRAN HASAN LANGGULUNG TENTANG MANUSIA
1.
Manusia
sebagai Khalifah Allah di atas bumi
- Pada
fitrahnya manusia adalah baik semenjak dari awal. Ia tidak mewarisi dosa
Adam As. meninggalkan syurga.
- Al-Qur’an
mengakui kebutuhan-kebutuhan biologikal yang menuntut pemuasan. Badan
hanyalah satu unsur ke mana ditambahkan sesuatu dengan yang lain yaitu
Roh. Interaksi antara badan dan roh menghasilkan khalifah.
- Kebebasan
kemauan, yaitu
kebebasan untuk memilih tingkah lakunya sendiri. Khalifah itu menerima dengan kemauan
sendiri amanah yang tidakd dapat dipikul oleh makhluk-makhluk lain.
- Aqal, yang membolehkan manusia membuat
pilihan yang betul dan salah.
a)
Fitrah Manusia
Salah
satu ciri-ciri fitrah menurut Langgulung
ialah bahwa mengakui Allah sebagai Tuhan, dengan kata lain manusia itu
adalah mempunyai kecenderungan agama, sebab agama itu sebahagian dari
fitrahnya. Islam adalah naluri dari asal manusia, manusia sebenarnya lahir
bukan dengan Islam, tetapi ia memiliki
potensi untuk menjadi Islam. Jadi sebabnya orang yang tidak percaya kepada
Tuhan bukanlah sifat dari asalnya, tetapi ada kaitannya dengan alam sekitarnya.
Pandangan yang optimistik terhadap manusia ini
betul-betul bertentangan dengan pandangan pessimistik berbagai ahli psikologi
dan biologi yang menekankan adanya unsur jahat yang berasal dari bakat manusia.
Adalah jelas bahwa Agressi itu merupakan pendorong yang kuat pada
binatang-binatang buas. Bila manusia dianggap berasal dari hewan maka ia harus
memiliki dorongan agressi. Lorenz (1970) -- seorang ahli etologi Austria –
membuktikan bahwa berkelahi merupakan suatu naluri yang wujud pada hewan dan
manusia, dan dorongan ini ditujukan kepada makhluk sejenis. Jadi binatang buas
menurut Lorenz sangat berbeda dengan khalifah Allah sebab masing-masing
memiliki kuasa-kuasa (faculty) asal. Konsep fitrah berbeda dengan
konsep Kristen tentang dosa asal.
Menurut
Langgulung konsep fitrah dalam Al-Qur’an juga bertentangan dan suatu teori lain
yang menganggap sifat-sifat asal manusia itu netral. Mazhab behaviorisme dalam
psikologi beranggapan manusia bukan baik dan bukan juga jahat semenjak lahir.
Dia adalah tabula rasa, putih seperti kertas. Lingkunganlah yang
memegang peranan membentuk pribadinya. Skinner berpendapat manusia hanya
mewarisi berbagai gerak refleks. Agama dan berbagai aspek tingkah laku dapat
diterangkan menurut faktor-faktor lingkungan.
Walaupun
Islam, lanjut Langgulung, mengakui pengaruh lingkungan atas perkembangan
fitrah, seperti kata sebuah Haditsh yang bermakna “Setiap anak-anak
dilahirkan dengan fitrah. Hanya ibu bapaknyalah yang menyebabkan ia menjadi
Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. Tetapi hal ini tidak bermakna bahwa manusia
itu menjadi hamba kepada lingkungan, seperti pendapat ahli-ahli behaviorisme.
Lingkungan memang memegang peranan penting dalam pembentukan tingkahlaku seseorang,
tetapi Al-Qur’an tidak menganggapnya satu-satunya faktor, isteri Fir’aun di
Mesir dahulu kala adalah seorang yang beriman kepada Allah walaupun
lingkungannya penuh dengan korupsi dan penyelewengan.[53]
Sedangkan
menurut Muzayyin [54] fitrah beragama mempunyai
komponen-komponen potensial sebagai berikut :
b) Kemampuan dasar untuk
beragama Islam (al-din al-qayyim), dimana faktor iman merupakan intinya
beragama manusia. Muhammad Abduh, Ibu Qayyim, Abu A’ala Al-Maududi, Sayyid Qutb
berpendapat sama bahwa fitrah mengandung kemampuan asli untuk beragama Islam,
karena Islam adalah agama fitrah peranan heriditas (keturunan) dari bapak-ibu
yang menentukan keberagamaana anaknya.
c) Nawahib (bakat) dan “Qabiliyyat”(tendensi
atau kecendrungan) yang mengacu kepada keimanan kepada Allah. Dengan demikian,
maka fitrah mengandung komponen psikologis yang berupa keimanan tersebut.
Karena iman bagi seorang mukmin merupakan daya penggerak utama dalam dirinya
yang memberi semangat untuk selalu mencari kebenaran hakiki dari Alllah.
d) Dalam fitrah tidak
terdapat komponen psikologis apapun, karena fitrah diartikan segabai kondisi
jiwa yang suci bersih yang reseptif terbuka kepada pengaruh eksternal, termasuk
pendidikan. Kemampuan untuk mengadakan reaksi atau responsi (jawaban) terhadap pengaruh
luar tidak terdapat di dalam fitrah.
b)
Pemuasan
Kebutuhan Jasmani dan Ruhani
Namun selain
fitrah ini pada manusia juga wujud kebutuhan-kebutuhan biologis, seperti
kebutuhan kepada air, makanan dan sexual. Ini adalah sebagian dari tubuh
manusia yang terbuat dari tanah. Dalam al-Qur’an disebutkan :
“Yang membuat sesuatu yang Dia ciptakan
sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah” (Q.S. As sajadah : 7)
Kebutuhan-kebutuhan
ini serupa dengan kebutuhan-kebutuhan yang juga ada pada hewan. Dalam berbagai
ayat dan hadits ada bukti-bukti yang menunjukan Islam bukan hanya tidak mengakui penahanan
kebutuhan-kebutuhan asal, tetapi juga menentang tindakan-tindakan yang akan
membawa kepada pengobahan bentuk luar manusia. Seperti larangan menggunakan
ukiran badan (washm) dan memanjangkan rambut dengan rambut palsu (wasl).
Dorongan-dorongan asal mestilah dipuaskan. Al-Qur’an memerintahkan manusia
makan dan minum. Sebab ditekankan pemuasan dorongan-dorongan asal itu adalah
karena akan dimainkan oleh khalifah. Peranan yang dipegang oleh khalifah tidak
mudah. Sebenarnya dia tidak memainkan peranannya jika ia selalu terancam dan
berhadapan dengan bahaya. Makan dan minum adalah penting bagi wujudnya sebagai
individu sedang dorongan seksnya sangat penting bagi kelanjutan hidup manusia.
Menurut
Hasan Langgulung jasmani tempat melekatkanya kebutuhan-kebutuhan bukanlah itu
saja. Badan hanyalah salah satu unsur ke mana ditambahkan lagi sesuatu yang
berlainan. Interaksi roh dengan badan menghasilkan khalifah. Roh inilah unsur
kedua yang penting yang membedakan khalifah itu. Kata roh digunakan
dalam Al-Qur’an, atau seorang malaikat, atau terutama Jibril atau Isa, atau
makhluk spiritual yang bersatu dengan badan.[55]
Al-Qur’an
dengan tegas menyatakan bahwa kehidupan manusia bergantung pada wujudnya roh di
dalam badannya. Hilangnya roh dari badan bermakna mati. Tentang bagaimana
bentuk roh itu, dicegah oleh Al-Qur’an mempersoalkannya yaitu:
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah : “Roh itu termasuk
urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”(Q.S. Al-Isra : 85)
Tetapi bagaimana
roh itu bersatu dengan badan yang kemudian membentuk manusia yang menjadi
khalifah itu.
Firman Allah
dalam Al-Qur’an :
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan
kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.(Q.S. AL-Hijr: 29)
Menurut Musa Asy’ari pengertian roh
sangat sulit didefinisikan karena ruh bersifat spiritual dan berkaitan dengan
hal yang immaterial. Berbeda dengan jasad yang bisa diraba, diukur dan
ditimbang.[56]
Tingkah laku manusia adalah akibat
dari interaksi roh dan badan. Walaupun manusia mempunyai roh dan badan, tetapi
ia dipandang sebagai suatu pribadi yang terpadu. Tingkahlaku tak dapat
dikatakan berkenaan dengan roh saja atau badan saja. Bersembahyang dan naik
haji yang biasa dianggap bersifat kerohanian tidak dapat dilaksanakan tanpa
kerjasama dengan badan dengan cara tertentu
sebaliknya kepuasan kebutuhan-kebutuhan biologis tak mungkin berlaku
tanpa turut sertanya roh. Khalifah yang memiliki fitrah yang baik
tidak dilaknati bila ia memuaskan kebutuhan-kebuthannya, malah ia harus berbuat
demikian agar ia dapat mencapai kedudukannya sebagai khalifah. Pemuasan kebutuhan-kebutuhan
dengan cara ini, tidak bertentangan dengan fitrahnya, kedua-duanya boleh
berjalan bersamaan.[57]
c)
Kebebasan
kemauan
Aspek ketiga pada
sifat-sifat manusia, sesudah fitrah dan roh itu, ialah kebebasan kemauan, yaitu
kebebasan untuk memilih tingkah lakunya sendiri.
Berbicara tentang
kebebasan manusia, maka persoalan yang muncul antara lain adalah :
a.
Apa yang
dimaksud dengan kebebasan ? Apakah batas-batas yang boleh dicapai oleh kebebsan
manusia ?
b.
Sejah mana
kebutuhan individu dan masyarakat kepada
kebebasan ini ?
c.
Apakah
syarat-syarat yang harus dipenuhi agar supaya kebebasan itu dapat diterima ?
Dan prinsip-prinsip apakah yang patut menjadi dasarnya ?
Menurut Prof. Dr. Omar El-Toumy El-Syaibany, Kebebasan dalam pengertian umum berarti :
”Kemerdekaan dan kebebsan dari segala belenggu
kebendaan dan kerohanian yang tidak sah yang terkdang dipaksakan kepada
manusia, tanpa alasan yang benar, pada kehidupan sehari-hari, yang menyebabkan
ia tidak sanggup menikmati hak-haknya yang wajar : dari segi sipil, agama,
pemikiran, politik, sosial dan ekonomi”.[58]
Menurut definisi
diatas maka jelaslah bahwa kebebasan
disini adalah memberikan keleluasaan yang wajar kepada manusia dalam
berbuat, berkativitas dalam kehidupannya sehari-hari. Kemerekaan diatas masih
tetap bersifat nisbi (relative). Sebab manusia itu senantiasa tunduk pada
batas-batas waktu dan tempat dimana ia hidup. Juga karena itu adalah manusia
yang memiliki kekuatan jasmani dan akal yang terbatas pula. Disinilah tidak
berlaku kebebasan mutlak pada manusia.
Kebebasan merupakan
bagian yang tidak terpisah dari hak-hak tabi’i (natural) yang sepatutnnya
dinikmati oleh manusia untuk mencapai kesempurnaan manusia, kehormatan,
kebahagiaan dan kesejahteraannya. Diantara hak-hak tabi’i yang paling utama adalah
hak untuk hidup, hak untuk bebas, hak untuk mewakili, hak untuk
memperoleh ketentraman, hak untuk mendapatkan persamaan dan keadilan dan
lain-lain.
Kebebasan manusia
bukanlah kebebasan mutlak dari segala belenggu, dimana ia sanggup berbuat dengan sekehendaknya dalam
masa dan tempat yang dikehendakinya. Sebab kebebasan ini tidak berlaku kecuali
dengan melibatkan kebebasan orang lain dan kepentingan masyarakat.
Kebebasan yang baik adalah kebebsan
yang bertanggung jawab, tidak membahayakan orang lain dan berjalan sesuai
dengan nilai-nlai,sistem-sistem, dan peraturan masyarakat yang adildengan akal
dan logika.
Islam mewajibakan
orang Islam berusaha keras untuk memperoleh kebebsan, berusaha untuk melepaskan
diri dari belenggu perhambaan dan menyelematkan diri dari penganiyaan. Firman
Allah dalam Al-Qur’an :
“Telah diizinkan (berperang) bagi
orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan
sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (Q.S.
Al-Haj: 39-40)
Menurut Hasan
Langgulung kemerdekaan yang dimiliki oleh manusia tidaklah mutlak. Malah adanya
ia sebagai khalifah Allah sudah cukup untuk menafikan wujudnya kebebasan
mutlak. Manusia yang memiliki kebebasan kemauan tidak dapat menentukan untuk
dirinya sendiri kuasa-kuasa asal apapun yang dimilikinya. Setiap manusia
memiliki ajal yang terbatas, tak dapat ia memanjangkan atau memendekannya.
Tetapi sebaliknya, sebab ia adalah khalifah Allah maka ia mengangkat dirinya
dari segala macam penghambaan kecuali kepada Allah.[59]
Dalam hal kebebasan
Bintu Syathi membagi kedalam beberapa macam, antar lain kebebasan dalam arti
umum sebagai lawan kata perbudakan, kebebasan akidah, lalu kebebasan berfikir
serta pendapat, dan akhirnya kebebsan berkehendak. Kebebasan berkehendak adalah
unsur yang paling sullit dalam masalah kebebsan. Karena kebebasan ini adalah
amanat kemanusiaan yang dibawa manusia dan dialah yang ditunjuk sebagai
khalifah di bumi. [60]
Kebebasan kehendak, lanjut Binstu
Syathi adalah didasari oleh pemahaman kontekstual
dan linguistik yang ketat yaitu kata (iradat), kehendak Allah berbeda
dengan kehendak makhluk. Kehendak manusia memerlukan usaha dan pilihan bebas.
Adapun keterpaksaan, adalah dalam hal kepastian nasib akhir dan itupun sejalan
dengan yang kita kehendaki dan pilih. Keputusan Allah yang adil dalam hal
kepastian nasib kita itu mengikuti pilihan kita sendiri, sebelum menjadi
keputusan yang tak terelakkan. Tanpa kebebasan seperti ini, sia-sialah
pengutusan para rasul, dan hilanglah kemampuan manusia untuk menjalankan
keharusan amanah-nya dalam kehidupan ini.[61]
Kemudian sejauhmana kebutuhan manusia
kepada kebebasan harus dilihat dari berbedanya derajat kesadaran manusia itu
sendiri terhadap kebutuhannya terhadap
kebebasan itu. Sebagai perbandingan orang yang hidup dalam masyarakat yang
membesan warganya secara umum tentu lebih menyenangkan apabila dibandingkan
dengan masyarakat yang hidup dalam kungkungan. Perasaan terkungkung (depressed)
tentunya akan dirasakan apabila ia melihat mayarakat yang lain lebih bahagian
dengan kebebasan yang dimilikinya.
Pentingnya kebebasan bagi manusia
adalah jalan yang benar untuk memperoleh kebahagiaan. Dengan adanya kebebasan
maka tercipta semangat dan kreativitas manusia, serta ia dapat mengembangkan
daya ciptanya dengan baik[62]
Menurut Omar Al-Toumy Al-Syaibani,
prinsip-prinsip yang mendasari kebebasan
adalah sebagai berikut:
Prinsip pertama, Prinsip keadilan dan persamaan, kebebasan tidak mungkin
terlaksana tanpa adanya rasa keadilan
dan persamaan.
Prinsip kedua, kebebasan yang disertai rasa toleransi, lemah-lembut, persaudaraan,
saling kasih mengasihi tetapi tegas, kontrol dan adanya kekuatan undang-undang.
Prinsip ketiga, kebebasan yang disertai dengan adanya harga diri, apabila harga diri
manusia tidak dihormati maka ia akan merasa terhina. Dengan harga diri inilah
akan muncul segala keuatamaan dan kebaikan, dan dengan iru akan menghilangkan
segala kejahatan dan dosa.
Prinsip keempat, kebebasan
yang menyelaraskan antara individu dan masyarakat, menggabungkan antara kemashlahatan
anatara kemashlahatan individudan kemashlahatan masyarakat. Antara keduanya
dianggap memiliki kekauatan yang saling bertalian lengkap melengkapi satu sama
lain, sehingga ia dapat menjalankan kebebsannya dengan menghormati kebiasan
masyarakat sekitanya.
Prinsip kelima, kebebasan
individu, menurut Islam adalah kebebasan setiap sistem atau aturan yang masuk
akal, akan berakhir manakala bermula kebebasan orang lain. Kebebasan sama sekali tidak bermakna apabila
manusia berbuat apa yang ia inginkan dan meninggalkan apa yang tidak ia
inginkan, apabila ia mengukung kebebsan orang lain demi kebebasan dirinya
sendiri.
Prinsip keenam, kebebasan
tidak dapat terlaksana kecuali dalam rangka agama, akhlak, tanggung jawab, akal
dan keindahan.[63]
d)
Akal pikiran
Ciri terakhir dari kekhalifahan
manusia yaitu ‘aql yang membolehkan manusia membuat pilihan antara yang
baik dan buruk yang benar dan yang salah. Pandangan Islam tentang akal adalah
merupakan potensi manusia yang paling penting. Itulah yang mendasari pentingnya
akal dalam memahami rukun iman. Dalam Al-Qur’an kata ‘aqal dengan
berbagai bentuknya banyak disebut, seperti kata ta’qilun/ya’qilun,
terdapat sebanyak 46 ayat, kemudian 14 ayat yang menyebutkan kata
tatafaqqarun, 13 ayat yang menyatakan yafqahum. Ayat-ayat ini
menganjurkan untuk berfikir atau peringatan bagi orang yang berfikir.[64]
Kata ‘Aql tidak pernah muncul dalam
Al-Qur’an sebagai kata benda abstrak (masdar). tetapi sebagi kata-kata kerja,
dengan kerbagai bentuknya. Semuanya menunjukkan aspek pemikiran pada manusia,
seperti surat diatas (ta’qilun).[65]
Keberadaan akal
sangat dihargai oleh Allah, dalam hal ini firman Allah dalam Al-Qur’an :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi silih bergantinya malam
dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang Allah turunkan bagi
manusia,dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu
Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala
jenis hewan, dan pengisaran angin dan bumi, sungguh (terdapat) tanda-tanda
(keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (Q.S. Al-Baqarah : 164)
Salah satu
ciri-ciri akal adalah keahlian mengamati sesuatu yang bermakna, memahami dan
menggambarkan sebab-sebab dan akibat sesuatu. Diantara fungsi akal adalah mencipta yang berpangkal
pada berfikir, tetapi lebih tinggi dari itu adalah dengan melalui pengamatan
dengan melibatkan unsur yang disebut
daya kreativitas (creativity).
Berakal
menurut Hasan Langgulung, bukan sekedar kecerdasan tetapi kesanggupan
membedakan yang baik dari yang buruk dengan memikirkan kejadian langit dan
bumi. Sedangkan fungsi akal adalah mencegah manusia supaya jangan menghancurkan
diri sendiri. Hal inilah yang belum dikembangkan oleh pendidikan modern.[66]
Tantangan
yang dihadapi oleh pendidikan modern ialah mengembangkan aspek akal dengan
maksud untuk mencegah kecenderungan manusia untuk merusak. Bagaimana pendidikan
Islam memberikan solusi cara mendidik dan mengembangkan hati nurani ini ?
Islam
menurut Hasan Langgulung memberikan jawaban yaitu dengan ihsan,
Rasulullah saw. Menjelaskan arti Ihsan ialah “bahwa engkau menyembah Allah
seperti engkau melihat Dia, sebab kalau engkau tidak melihat Dia niscaya Dia
melihat engkau”. Itulah cara mengembangkan hati nurani (super-ego). Yaitu
bahwa segala tingkah laku (behavior) kita berada dibawah pengawasan Allah
S.w.t.[67]
B.
Kejadian
Manusia dan Tujuan Hidupnya
Hasan Langgulung menjelaskan
kejadian manusia dan tujuan hidup manusia dengan berdasarkan firman Allah dalam Al-Quran yang berbunyi :
“ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku.” (Q.S. ad-Dzariat : 56)
Kemudian dalam surah lain yang
berbunyi :
“(yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu:
tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan
Dia adalah Pemelihara segala sesuatu”(Q.S. Al-An’am
:102)
Dari dua ayat diatas dapat
diambil pengertian, Pertama, bahwa menyembah dalam dua ayat
Al-Quran diatas tidak dimaksudkan sebagai upacara sembahyang yang biasa kita
fahami. Jauh lebih luas dari itu yang meliputi segala tingkah laku kita. Ibadah
dalam pengertian luas meliputi segala gerak gerik kita. Jadi Ibadah dalam arti
luas inilah tujuan kita diciptakan, atau tujuan hidup kita. Seperti ayat yang selalu kita baca :”Sesungguhnya sembahyangku, ibadah
hajiku, hidupku, dan matiku adalah untuk Allah, Tuhan seru sekalian Alam”.
Jadi ibadat dalam pengertiannya yang luas meliputi seluruh gerak gerik
kita. Jadi ibadat dalam pengertian luas inilah tujuan kita diciptakan, atau
tujuan hidup kita. [68]
Manusia adalah makhluk Allah
SWT merupakan hakikat atau intisari terdahulu dari wujud dirinya. Hakikat itu
merupakan hakikat yang pertama dan utama, karena tanpa diciptakan manusia tidak
akan ada di muka bumi ini. Manusia diciptakan berupa kesatuan substansi tubuh
(jasmani) sebagai bentuk dengan substansi roh (jiwa) sebagai isi. Kedua
substansi itu berpadu sebagai sebaiknya kejadian atau ciptaan yang sempurna,
melebihi semua jenis hewan dan makhluk hidup lainnya yang diciptakan-Nya
menjadi penghuni bumi. Dengan kata lain adanya manusia bukan adanya sendiri,
tetapi karena diadakan, yang hanya sungguh-sungguh manusia dalam kemanunggalan
tubuh dan jiwanya.[69]
Syahminan Zaini menjelaskan tentang
penciptaan manusia melalui beberapa tahap yaitu : [70]
1. Permulaan dijadikan
Allah seorang manusia (Adam), sesudah itu baru dijadikan Allah istrinya dari
bahan yang sama. Dari kedua manusia inilah dikembang-biakan keturunannya yang
amat banyak. Dalam Al-Qur’an disebutkan :
“Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada
Tuhanmu, yang telah menjadikan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menjadikan
istrinya, dan daripada keduanya Allah memperkembang-biakan laki-laki an
perempuan yang banyak ....(Q.S. An-Nisa’:1)
2. yang mula-mula dijadikan
Allah dari manusia itu adalah jasadnya
yang dijadikan-Nya daripada tanah. Allah berfirman :
“yang telah menjadikan segala sesuatu
dengan sebaik-baiknya, dan yang memulai menjadikan manusia dari tanah” (Q.S. Al-Hijr:28)
3. Setelah kejadian
jasad ini sempurna barulah ditiupkan oleh Allah roh dari pada-Nya. Firman Allah
dalam Al-Qur’an :
“Maka apabila telah Aku sempurnakan dia
dan Aku tiupkan padanya roh dari (bikinan)-Ku, hendaklah kamu (malaikat)
tunduk, sujud kepadanya”(Q.S. Al-Hijr”29)
Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud,
Al-Qur’an berbicara tentang penciptaan manusia dalam dua tahap, pertama,
yaitu tahap ghaib (tak terlihat), yang terjadi di zaman primordial atau azali,
dan hanya diketahui melalui pengetahuan wahyu. Pada tahap ini manusia diciptakan
dari tiada (creatio ex nihilo), dari substansi organik yang rendah
dengan sebutan tanah liat (tin) dan lumpur (turab) dan dari tanah
liat yang gelap kemudian dibentuk sempurna, Tuhan meniupkan kepada-nya ruh-Nya.
Sedangkan tahap selanjutnya, yaitu tahap yang disebut proses biologis alami,
yaitu manusia sendiri dapat mengetahuinya melalui pengalaman atau pengetahuan
ilmiah.[71]
3. Setelah kejadian jasad ini
sempurna barulah ditiupkan oleh Allah roh dari pada-Nya. Firman Allah dalam
Al-Qur’an :
“Maka apabila telah Aku sempurnakan dia
dan Aku tiupkan padanya roh dari (bikinan)-Ku, hendaklah kamu (malaikat)
tunduk, sujud kepadanya”(Q.S. Al-Hijr”29)
Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud,
Al-Qur’an berbicara tentang penciptaan manusia dalam dua tahap, pertama,
yaitu tahap ghaib (tak terlihat), yang terjadi di zaman primordial atau azali,
dan hanya diketahui melalui pengetahuan wahyu. Pada tahap ini manusia
diciptakan dari tiada (creatio ex nihilo), dari substansi organik yang
rendah dengan sebutan tanah liat (tin) dan lumpur (turab) dan
dari tanah liat yang gelap kemudian dibentuk sempurna, Tuhan meniupkan
kepada-nya ruh-Nya. Sedangkan tahap selanjutnya, yaitu tahap yang disebut
proses biologis alami, yaitu manusia sendiri dapat mengetahuinya melalui
pengalaman atau pengetahuan ilmiah.
Senada dengan Langgulung,
Muslim Ibrahim menjelaskan tujuan diciptakannya manusia adalah untuk :
a)
Manusia sebagai hamba Allah
(‘abdullah)
Yaitu dengan cara mengabdi kepada Allah SWT (Q.S. 51:56). Sebagai hamba
Allah, manusia diwajibkan beribadah kepada Allah, dalam arti selalu tunduk dan
taat atas perintah-Nya guna mengesakan dan mengenal-Nya sesuai dengan petunjuk
yang telah diberikannya.
Ibadah
mengandung dua pengertian, yaitu pengertian khusus dan pengertian umum. Dalam
pengertian khusus, ibadah adalah melaksanakan peraturan-peraturan yang mengatur
hubungan antara hamba dan Tuhannya yang tata caranya ditur secara terperinci di
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedang ibadah dalam arti luas adalah aktivitas
yang titik tolaknya ikhlas dan ditujukan untuk mencapai ridha Allah berupa amal
saleh.[72] Dari segi sasarannya, ibadah dapat
diklasifikasikan atas tiga macam, yaitu ibadah
person, ibadah antarperson dan ibadah sosial.[73]
b)
Manusia Sebagai
Khalifatullah
Kehidupan
manusia di dunia adalah sebagai wakil Allah SW#T (Q.S. 2:30, 38:26) sebagai
pengganti dan penerus person (species) yang
mendahuluinya, pewaris-pewaris dimuka bumi (Q.S. 27:62). Disamping itu manusia
adalah pemikul amanah yang semula ditawarkan pada langit, bumi dan gunung, yang
semuanya enggan menerimanya, namun dengan ketololannya manusia mau menerima
amanah itu (Q.S. 33:72).[74]
Manusia
diberikan mandat dari Allah dengan maksud untuk :
1. Patuh dan tunduk
sepenuhnya pada perintah Allah SWT, serta menjauhi larangan-Nya.
2. Bertanggung jawab atas
kenyataan dan kehidupan di dunia sebagai pengemban amanah Allah.
3. Berbekal diri dengan
berbagai ilmu pengetahuan, hidayah agama, dan kitab suci.
4. Menerjemahkan segala
sifat-sifat Allah SWT, pada perilaku kehidupan sehari-hari dalam batas-batas
kemanusiaannya.
5. Membentuk masyarakat
Islam yang ideal yang disebut dengan “ummah”,
yaitu masyarakat yang sejumlah perseorangannya mempunyai keyakinan dan tujuan
yang sama, yaitu menghimpun diri secara harmonis dengan maksud untuk bergerak
maju kearah tujuan bersama.
6. Mengembangkan
fitrahnya sebagai khalifatullah yang mempunyai kehendak komitmen dengan tiga
dimensi, yaitu : kesadaran, kemerdekaan dan kreatifitas. Ketiga kehendak itu
ditopang oleh ciri idealnya, yaitu :kebenaran (pengetahuan), kebajikan (akhlak)
dan keindahan (estetika).
7. Mengambil bumi dan
isinya sebagai alat untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat dalam semua
asfek kehidupan, serta dalam rangka mengabdi kepada Allah.
8. Menjadi penguasa
untuk mengatur bumi dengan upaya memakmurkan dan mengelola negara untuk
kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang dijanjikan kepada seluruh masyarakat
yang beriman bukan kepada seseorang atau suatu kelompok tertentu.
9. Membentuk suasana
aman, tentram dan damai dibawah naungan ridha Allah SWT, sebagimana yang
digambarkan dalam Al-Qur’an,”baldatun
Thoiyyabtun wa Rabbun Ghofur”.
10. Lebih jauh lagi,
tugasmanusia sebagai khalifatullah adalah menjadi seniman yang islami, yaitu
seniman yang terciptakan dalam rangka mengabdi karena Allah SWT.
c)
Manusia sebagai warosatul anbiya’
Nabi Muhamamd
SAW diutus kebumi adalah untuk mengmban misi “rahmatan lil alamin”(Q.S. 21:107), yakni misi yang membawa dan
mengajak manusia, dan seluruh sekalian alam untuk tunduk dan taat pada
syariat-syariat dan hukum Allah SWT, untuk mencapai kesejahteraan, kedamaian,
dan keselamatn dunia akhirat
Misi itu
disempurnakan dengan pembentukan pribadi yang Islami, yaitu kepribadian yang
berjiwa tauhid, kreatif, beramal saleh, serta
bermoral tinggi dengan berpijak pada trichotomi (tiga kekuatan rohani pokok)
yaitu :
1. Individualitas, yakni
kemampuan diri pribadi sebagai makhluk pribadi.
2. Sosialitas, yakni
kemampuan mengembangkan diri selaku anggota masyarakat.
3. moralitas, yakni
kemampuan mengambangkan diri selaku anggota masyarakat berdasarkan moralitas
(nilai-nilai moral dan agama).
Disamping itu, misi tersebut berpijak
pada trilogi hubungan manusia, yaitu
1. Hubungan dengan
Tuhan, karena manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya.
2. Hubungan dengan masyarakat, karena manusia sebagai
anggota masyarakat.
3. Hubungan dengan alam
sekitar, karena manusia selaku pengelola, pengatur, serta pemanfaatan kegunaan
alam
Dalam
melakukan misi sebagai warosatyul anbiya’,
perlu bertolak pada prinsip-prinsip kerasulan, yakni :
1. Amar ma’ruf dan nahi
munkar (Q.S. 3:105,110).
2. Menyebarkan misi Iman, Islam dan ihsan dengan menjadikan prinsip tauhid sebagai inti
pendakwaan.
3. Memenuhi kebutuhan
manusia, baik kebutuhan primer (dloruri),
kebutuhan sekunder (haji), dan kebutuhan pelengkap (tahsini). [75]
a.
Sifat-Sifat
Asal Manusia
Menurut
Hasan Langgulung dalam hal penciptaan Nabi Adam A.s., yang dimaksud disini
tentulah umat manusia seluruhnya, Tuhan berfirman dalam Al-Quran :
“Maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku,
maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (Q.S. Al-Hijr: 29)
Makna surat ini adalah, Tuhan
memberi manusia itu beberapa potensi atau kemampuan sesuai dengan sifat-sifat
Tuhan. Sifat-sifat Tuhan ini disebut dalam Al-Quran dengan nama-nama yang indah
(Al-Asmaul Al-Husna) yang menggambarkan Tuhan sebagai “Yang Maha
Pengasih” (Al-Rahman), Yang Maha
Penyayang (Al-Rahim), “Yang Maha Suci” (Al-Quddus), “Yang
Maha Hidup” (Al-Hayyu), dan seterusnya sebanyak 99. Menyembah dalam pengertiannya yang umum bermakna
mengembangkan sifat-sifat ini pada manusia menurut perintah dan petunjuk Tuhan.
Misalnya Tuhan memerintah manusia menjalankan upacara sembahyang kepadanya.
Dengan berbuat demikian, manusia menjadi lebih suci, jadi ia meniru sifat Tuhan
dalam kesucian, yaitu Al-Quddus. Juga Tuhan adalah Maha Pengasih (Al-Rahman)
tetapi Ia memerintah manusia supaya bersifat pengasih terhadapnya. Tuhan Maha
Mengetahui (Al-Alim) tetapi Dia memerintah manusia selalu mencari dan
menambah pengetahuan dan berdoa agar Tuhan menolongnya :”Wahai Tuhanku,
tambahkan ilmuku”. Allah juga memiliki segala kekuasaan (Malikul Mulk),
tetapi diberi-Nya kekuasaan politik kepada manusia di bumi. [76]
Sifat-sifat
Tuhan tersebut hanya dapat diberi kepada manusia dalam bentuk dan cara yang
terbatas, sebab kalau tidak demikian manusia akan mengaku diri sebagai Tuhan.
Sifat-sifat yang diberikan kepada manusia itu harus dianggap sebagai Amanah,
yaitu tanggungjawab yang besar. Di sini jelas terlihat bagaimana potensi-potensi
manusia yang banyak digunakan dalam psikologi itu mempunyai kaitan dengan
tujuan kejadian alam jagat, sembahyang, dalam pengertiannya yang luas yaitu
amanah.[77]
b.
Konsep
Amanah
Arti menyembah diatas telah
disinggung dengan jelas, yaitu mengembangkan sifat Tuhan yang diberikan kepada
manusia, dan itu sekaligus merupakan tujuan
kejadian manusia. Seperti contoh mencari dan mendalami ilmu (salah satu sifat
Tuhan yaitu Al-‘ilm) adalah
ibadah. Mencari kekayaan (juga salah satu sifat Tuhan yaitu Al-Ghaniy)
adalah ibadah. Sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu
sekalian di atas bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber)
penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.”(Q.S. Al-A’raf: 10)
Dalam ayat lain:
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya
Allah telah menundukan untuk (kepentingan)mu apa yang ada di langit dan apa
yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu ni’mat-Nya lahir dan batin” (Q.S. Luqman : 20)
Juga dalam ayat lain yang senada :
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala
yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu
dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.“(Q.S. Al-Baqarah : 29)
Seluruh ayat diatas bermakna bahwa Amanah itu sekurang-kurangnya
ada dua macam yaitu :
a. kesanggupan manusia
mengembangkan sifat-sifat Tuhan pada
dirinya
b. berkenaan dengan cara
pengurusan sumber-sumber yang ada di bumi.
Kesanggupan manusia mengembangkan
sifat-sifat Tuhan pada dirinya adalah bagaimana manusia dapat mengembangkan
potensi dirinya yang meliputi fitrahnya, kebebasan yang diberikan dalam
berbuat, pemuasan terhadap jasmani dan ruhani serta potensi akal. Itu semua
dikembangkan untuk mengembangkan sifat-sifat Tuhan yang ada pada dirinya dengan
tujuan untuk beribadah kepada Allah semata.
Adapun amanah terhadap cara
pengurusan sumber-sumber alam maksudnya adalah manusia diberi amanah untuk
menjaga kelestarian alam ini yang meliputi segala macam potensi alam untuk
dijaga dalam rangka kesejahteraan umat manusia.
Dengan ini konsep “menyembah’
atau ibadah diperkaya lagi dengan makna baru, yaitu pengurusan yang sesuai
terhadap amanah yang diberikan Tuhan kepada manusia.
Jadi
”menyembah” yang ada pengertian asalnya berarti pengembangan
potensi-potensi, yaitu sifat-sifat Tuhan, pada diri manusia, menjadi bertambah
luas dan mengandung pengertian mengurus dengan baik amanah yang dipikul
itu. Sebab amanah ini telah diajukan kepada langit , bumi dan gunung, tetapi
manusia bersifat aniaya dan bodoh. Sebagaimana firman Allah :
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya
enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan
dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan
amat bodoh.”(Q.S. Al
Ahzab:72)
Ayat diatas menunjukan bahwa
manusia telah menyalahgunakan amanah itu oleh sebab sombong dan congkak, dan
menyangka ia tahu segala-galanya dan dengan menjalankan kekuasaan yang tidak
adil kepada orang-orang dan makhluk lainnya bahkan memperalat mereka.[78]
c.
Perjanjian
Antara Tuhan dan Manusia (mithaq)
Persoalan kenapa dan bagaimana
manusia menyalahgunakan amanah yang diberikan Tuhan kepadanya adalah
berkaitan dengan aspek-aspek tertentu pada sifat manusia, atau terlibat pada
perjanjian Tuhan dan manusia. Dalam sejarh penciptaan manusia, iblis menggoda
Adam sebagai manusia pertama. Al-Qur’an menyebutkan asal godaan terhadap Adam
A.s. sebagaimana yang diceritakan dalam Al-Qur’an :
“ Kemudian syaitan membisikan pikiran
jahat kepadanya, dengan berkata :”Hai Adam ,maukah saya tunjukan kepada kamu
pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa”(Q.S. Thaha”120)
Iblis menjanjikan kepada
manusia dua janji yang sangat menggiurkan, yaitu kekekalan manusia dan
kekuasaan mutlak di bumi. Janji ini
menunjukan dua macam kecenderungan dasar pada manusia. Keinginan dan
keyakinan bahwa ia bertanggungjawab atas segala tindakannya. Keserakahannya
kepada kekuasaan menyebabkan ia lupa
bahwa akhirnya semua kekuasaannya terbatas dan relatif dan harus dijalankan
sebagai suatu amanah. Yang sebenarnya dilupakan oleh Adam A.s adalah bahwa
hanya Tuhan yang Kekal dan Berkuasa atau
sumber segala kekuasaan.[79]
Tuhan
berfirman dalam Al-Qur’an tentang kelemahan Adam A.s :
“Allah hendak memberikan keringanan
kepadamu,dan manusia dijadikan bersifat lemah”( Q.S. An Nisa : 28)
Dalam ayat lain disebutkan :
“Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan
kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati
padanya kemauan yang kuat”(Q.S. Thaha: 115)
Menurut Hasan Langgulung pada
dasarnya kelemahan Adam atau sebab kejatuhannya adalah sifat pelupa. Islam
tidak mengenal konsep dosa asal (original sin) seperti yang di fahami
dalam tradisi Yahudi-Kristen dan oleh sebab itu tidak ada konsep tebusan
menurut agama Islam.
Adam
jatuh ke dalam godaan sebab ia lupa sesuatu yang telah diajarkan kepadanya atau
ia telah ketahui sebelum itu. Kedua-duanya, menurut pandangan Islam adalah
sama. Yang pertama berkenaan dengan melupakan sifat-sifat Tuhan yang telah
disebutkan sebelum ini. Menurut Al-Qur’an, Tuhan sebelum Adam A.s jatuh dalam
godaan, telah mengajarkan kepada Adam akan nama-nama ....(Q.2:32).
Nama-nama itu adalah sifat-sifat Tuhan, yang berjumlah 99, telah dilupakan oleh
Adam A.s sewaktu berada dalam godaan.
Yang kedua berkenaan dengan perjanjian (mithaq) antara Tuhan dan umat
manusia yang digambarkan dalam ayat Al-Qur’an berikut :
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman).”Bukanlah Aku ini Tuhanmu?”
mereka menjawab:”Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”(Q.S. Al-A’raf”172)
Dari
segi pandangan falsafah lanjut Langgulung, ayat ini menyatakan bahwa adalah
wajar pada manusia atau sekurang-kurangnya sebahagian dari pada wataknya
(nature) adalah menerima Tuhan sebagai Tuhan dan Penguasa. Malah ahli-ahli
fikir Islam melangkah lebih jauh lagi dan menyatakan bahwa ayat ini bermakna,
sebab kelemahan manusia, Tuhan sebagai penguasa yang telah diakui memberi
manusia itu wahyu sebagai petunjuk. Selanjutnya Dia berjanji membela
orang-orang yang percaya kepada-Nya, firman Allah dalam Al-Qur’an :
“...Dan Kami telah berkewajiban menolong
orang-orang yang beriman”(Q.S. Ar Rum:47)
Supaya
mendapat petunjuk yang sempurna dalam ibadah, mengurus Amanah, melaksanakan tugas
dan kewajiban,dan terutama mengingatkan manusia kepada perjanjiannya dengan
Tuhan, maka Tuhan sendiri mengutus wahyunya kepada manusia. Jadi wahyu itu
merupakan peringatan untuk mengimbangi kelemahan manusia, yaitu sikap pelupa. [80]
BAB IV
IMPLIKASI KONSEP MANUSIA MENURUT HASAN LANGGULUNG
TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM
Pemikiran Hasan Langgulung
tentang konsep manusia tersebar dalam beberapa tulisan kemudian dikumpulkan dalam buku seperti “Manusia
dan Pendidikan analisa pendidikan dan psikolog,“, Beberapa Aspek
Pemikiran Pendidikan Islam” dan lain-lain. Tulisan Hasan Langgulung yang
membahas konsep manusia dan implikasinya terhadap pendidikan Islam secara utuh
jarang ditemukan. Namun dari berbagai macam tulisan itu terdapat benang merah
yang saling berkaitan antara tulisan yang satu dengan yang lain. Untuk
mendukung tulisan dan sebagai pembanding maka akan diambil beberapa pemikiran
tokoh pendidikan Islam yang representatif dalam permasalahan ini.
Di bawah ini akan penulis
uraikan pemikiran Hasan Langgulung tentang manusia dan implikasinya terhadap
pendidikan Islam.
A. Khalifah Allah di
bumi dan implikasinya pada tujuan Pendidikan Islam
Fokus utama Hasan Langgulung ketika
membahas kekhalifahan manusia di bumi adalah Al-Qur’an surat AL-Baqarah ayat
30. bahwa dijelaskan manusia menempati kedudukan yang istimewa dalam alam
semesta ini yaitu sebagai khalifah diatas bumi. Firman Allah SWT :
وإذ قال ربك للملئكة إتى جاعل فى
الأرض خليقة قالوا أتجعل فيها من يفسد
فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك قال إني أعلم مالا تعلمون .
“Ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat:”Aku
akan menciptakan khalifah diatas bumi ini. Mereka berkata:”Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi, orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau? “Tuhan berfirman:” Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui.” (Q.S. Al-Baqarah : 30)
Menurut Hasan Langgulung, manusia dianggap
sebagai khalifah Allah, ia tidak dapat memegang tanggung jawab sebagai khalifah
kecuali kalau manusia dilengkapi dengan potensi-potensi. Ada ada empat macam
ciri yang dimiliki manusia sebagai khalifah.[81] Empat
ciri-ciri tersebut adalah :
5.
Fitrah manusia.
6.
Pemuasan terhadap kebutuhan jasmani (biologis) dan
ruhani
7.
Kebebasan manusia
8.
akal fikiran.
Menurut Hasan Langgulung, kempat ciri-ciri inilah yang membedakan
manusia yang disebut sebagai khalifah itu dari makhluk-makhluk lain. Tujuan atau matlamat tertinggi (ultimate
aim) pendidikan dalam Islam adalah membina individu-individu yang akan
bertindak sebagai khalifah, atau sekurang-kurangnya membawa anak didik kejalan
yang disyariatkan oleh Allah SWT.
Dibawah ini akan diuraikan tentang ciri-ciri khalifah beserta
implikasinya dalam pendidikan Islam .
a)
Fitrah
manusia dan implikasinya terhadap pendidikan Islam
Menurut Hasan Langgulung, fitrah adalah potensi yang baik. Haditsh yang
bermakna “Setiap anak-anak dilahirkan dengan fitrah. Hanya ibu bapaknyalah
yang menyebabkan ia menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. Tetapi hal ini
tidak bermakna bahwa manusia itu menjadi hamba kepada lingkungan, seperti
pendapat ahli-ahli behaviorisme. Pada dasarnya fitrah manusia asalnya suci dan
seharusnya berkembang kearah yang lebih baik. Manusia yang telah diberi potensi
yang baik oleh Allah karena itu biarpun anak diajar tidak diajar ia dengan
sendirinya akan sesuai dengannya, kecuali
kalau ia didik dengan sebaliknya yaitu kearah yang mengingkari agama.[82]
Fitrah adalah tiada lain dari sifat-sifat Tuhan yang ditiupkan Tuhan kepada
setiap manusia sebelum lahir, dan pengembangan sifat-sifat itu
setinggi-tingginya.[83]
Senada dengan hal ini, menurut Dr. Jalaluddin, manusia memiliki
beberapa potensi utama yang secara fitrah dianugerahkan Allah kepadanya, yaitu
:
i.
Hidayat
al-Ghariziyat (potensi naluriah)
Yaitu dorongan primer yang berfungsi untuk memelihara keutuhan dan
kelanjutan manusia. Diantara dorongan tersebut adalah berupa instink untuk
memelihara diri, seperti makan, minum, penyesuaian tubuh terhadap lingkungan
dan sebagainya.
ii.
Hidayatu
al-Hassiyat (potensi inderawi)
Potensi inderawi erat kaitannya dengan peluang manusia untuk mengenal
sesuatu diluar dirinya. Melaui alat indera penglihatan, penciuman, pendengaran,
perasa, peraba dan lain-lain.
iii.
Hidayat
al-Aqliyyat (potensi akal)
Potensi akal memberi kemampuan pada manusia untuk memahami
simbol-simbol, hal-hal yang abstrak, menganalisa, membandingkan maupun membuat
kesimpulan dan dapat memilih hal yang benar atau salah. Akal juga dapat mendorong manusia
berkreasi dan berinovasi dalam menciptakan kebudayaan serta peradaban.
iv.
Hidayat
al-Diniyyat (potensi keagamaan)
Pada diri manusia sudah ada dorongan keagamaan yaitu dorongan untuk mengabdi
kepada sesuatu yang lebih tinggi, yaitu Tuhan yang menciptakan alam semesta
beserta isinya. [84]
Menurut ahli-ahli pendidikan, untuk mengolah potensi-potensi (fitrah)
yang tersembunyi itulah tugas utama
pendidikan, yaitu merobah (transform) potensi-potensi itu menjadi
kemahiran atau keahlian yang dapat dinikmati oleh manusia. Seperti keahlian
dalam hal intelektual (Intelectual ability) tidak ada gunanya kalau
hanya disimpan di kepala para ahli ilmu, ia akan berguna kalau keahliannya itu
sudah dirobah menjadi penemuan-penemuan ilmiah dalam berbagai lapangan ilmu
pengetahuan.[85]
Potensi-potensi manusia yang meliputi (fisik, mental dan spiritual)
adalah sesuatu yang penting dalam perkembangan manusia itu sendiri baik sebagai
individu maupun masyarakat bahkan untuk menciptakan peradaban yang tinggi dan
memelihara perdamaian di dunia ini, dengan syarat mereka beriman dan beramal
saleh, kalau tidak maka potensi-potensi yang dimiliki manusia akan menjadi
tenaga penghancur dan perusak manusia
dan kemajuan yang telah diciptakannya sendiri.
Kaitannya dengan fungsi iman dalam Islam adalah menjadi dasar segala
nilai-nilai kehidupan politik, ekonomi, sosial, ilmu filsafat, dan lain-lainnya
yang selanjutnya merupakan aspek penggerak (motivational aspect)
terhadap segala tindakan manusia.[86]
Implikasi lainnya adalah pendidikan Islam diarahkan untuk bertumpu pada
tauhid. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan hubungan yang mengikat
manusia dengan Allah Swt. Apasaja yang dipelajari anak didik seharusnya tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip tauhid. Untuk itu kurikulum pendidikan
Islam harus menekankan pada konsep tahuid ini.[87]
Bagaimana cara mengembangkan potensi-potensi (fitrah) ini dalam
pendidikan Islam, menurut Dr. Jalaluddin dapat dilakukan dengan berbagai cara
dan pendekatan yaitu :
1.
Pendekatan
Filosofis
Pendekatan ini mengacu pada hakikat penciptaan manusia itu sendiri
yaitu sebagai makhluk ciptaan Allah (Q.S. 51:56). Dalam filsafat pendidikan
Islam nilai-nilai ilahiyat merupakan nilai-nilai yang mengandung kebenaran hakiki.
Berasarkan hal ini, pengembangan potensi
manusia diarahkan untuk memenuhi jawaban yang mengacu pada permasalahan yang
menyangkut pengabdian kepada Allah. Sedangkan ungkapan rasa syukur digambarkan
dalam bentuk penghayatan terhadap
nilai-nilai akhlak yang terkandung didalamnya serta mampu diimplementasikan
dalamsikap dan prilaku, lahiriah maupun batiniah. Kesadaran seperti ini timbul
atas dorongan dari dalam bukan atas pengaruh luar.
2.
Pendekatan
kronologis
Yang dimaksud dengan pendekatan kronologis yaitu pendekatan yang
didasarkan atas proses perkembangan melalui tahapan-tahapan. Manusia dipandang
sebagai makhluk evolutif. Disadari bahwa manusia bukanlah makhluk siap jadi,
yakni setelah lahir langsung menjadi dewasa. Manusia adalah makhluk yang berkembang
secara evolusi. Namun bukan dalam arti evolusi dari teori Darwin yang
mengidentifikasikan manusia berasal dari genus yang sama dengan simpanse. Dalam
hal ini adalah manusia sejak lahir menginjak dewasa, perkembangan manusia
melalui periodisasi.
c) Pendekatan fungsional
Setiap potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia tentunya
diarahkan untuk dimanfaatkan. Tuhan sebagai Pencipta, mustahil menciptakan
sesuatu tanpa tujuan, hingga terkesan mengadakan sesuatu yang sia-sia. Semua
yang diciptakannya mempunyai tujuan, termasuk yang berkaitan dengan penciptaan
potensi manusia.
Melalui pendekatan fungsional,
dimaksudkan bahwa pengembangan potensi
manusia dilihat dalam kaitannya dengan fungsi-fungsi potensi itu masing-masing.
Dorongan naluriah, seperti makan dan minum dikembangkan dengan tujuan agar
manusia dapat memlihara kelanjutan hidup manusia.
Dengan menggunakan pendekatan ini diharapkan agar arah perkembangan
potensi yang ada pada manusia tidak menjadi sia-sia. Dan kaitannya dengan
fungsi manusia sebagai mengabdi
(menyembah) Allah dengan setia dan ikhlas. Amanat tersebut harus
difungsikan manusia, baik statusnya sebagai makhluk biologis, hamba
Allah,makhluk sosial, maupun sebagai khalifah Allah
3.
Pendekatan
sosial
Manusia pada konsep al-Nas lebih ditekankan pada statusnya
sebagai makhluk sosial. Berdasarkan pendekatan ini, manusia dilihat sebagai
makhluk yang memiliki dorongan untuk hidup berkelompok dan bermasyarakat.
Melalui pendekatan sosial, peserta didik dibina dan dibimbing sehingga potensi yang
dimilikinya, yaitu sebagai makhluk sosial, dapat tersalur dan sekaligus terarah
pada nilai-nilai yang positif. [88]
b)
Pemuasan
Kebutuhan jasmani dan ruhani serta implikasikasi terhadap pendidikan Islam
Menurut Hasan Langgulung jasmani tempat melekatkanya kebutuhan-kebutuhan
bukanlah itu saja. Badan hanyalah salah satu unsur ke mana ditambahkan lagi
sesuatu yang berlainan. Interaksi roh dengan badan menghasilkan khalifah. Roh
inilah unsur kedua yang penting yang membedakan khalifah itu. Kata roh digunakan
dalam Al-Qur’an, atau seorang malaikat, atau terutama Jibril atau Isa, atau
makhluk spiritual yang bersatu dengan badan.[89]
Al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa
kehidupan manusia bergantung pada wujudnya roh di dalam badannya. Hilangnya roh
dari badan bermakna mati. Tentang bagaimana bentuk roh itu, dicegah oleh
Al-Qur’an mempersoalkannya yaitu:
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah : “Roh itu
termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit”(Q.S. Al-Isra : 85)
Roh merupakan amanah Allah yang diberikan kepada manusia. selanjutnya
tugas manusia untuk memelihara dan mengembangkan roh dengan berbagai pendidikan
rohaniah.
Peranan keluarga dalam
pendidikan jasmani menurut Hasan Langgulung sangat penting. Anak-anak harus
mengetahui pentingnya pendidikan jasmani. Anak-anak harus dibiasakan dalam
menjaga kesehatan pribadinya. Sikap ini harus diberikan orang tua kepada
anak-anaknya menurut tingkat pemikiran mereka. Peranan keluarga dalam
pendidikan jasmani juga dapat dilaksanakan sebelum bayi dilahirkan. Yaitu
dengan melalui pemeliharaan terahadap kesehatan ibu dan memberinya makanan yang
baik dan sehat, sebab hal itu berpengaruh pada nak dalam kandungan.
Diantara cara-cara
yang dapat membantu untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan jasmani adalah
memberi anak-anak makanan yang sehat dan cukup kandungan gizi. Juga harus
diperhatikan upaya memberikan pencegahan terhadap penyakit yang biasa menyerang
anak-anak. Membiasakan anak-anak berolah raga untuk melatih otot-otot dan
anggota tubuh lainnya. Dan yang terpenting adalah menjaga kebersihan lingkungan
anak-anak yang menjadi kediaman mereka. [90]
Mengenai pendidikan rohani Ada beberapa jalan yang harus ditempuh dalam
mengembangkan roh dengan berbagai pendidikan rohaniah[91]
seperti :
a.
memberikan
pendidikan Islami untuk mengenal Allah Swt.
b.
kurikulum
pendidikan Islam ditetapkan dengan mengacu pada petunjuk Allah yang bersaumber
dalam Al-Qur’an dan Sunnah
c.
pendidikan
diarahkan untuk mampu mengemban amanah
berupa tugas sebagai hamba Allah dab sebagai khalifah Allah
d.
pendidikan
tidak berakhir sampai usia berapapun
tidak beakhir setelah roh meninggalkan jasad. Untuk itu pendidikan diarahkan
pada pendidikan seumur hidup.
c)
Kebebasan
Manusia dan implikasinya terhadap metode pendidikan Islam
Aspek ketiga pada sifat-sifat manusia lainnya adalah kebebasan kemauan.
Menurut Hasan Langgulung masalah kebebasan kemauan manusia betul-betul mendapat
tempat khusus dalam sejarah pemikiran Islam, dan dianggap masalah-masalah
intelektual yang pertama kali mendapat perhatian kaum Muslimin. Beberapa mazhab
telah mengkaji tentang kemauan kebebasan secara mendalam dan sungguh-sungguh
sehingga memunculkan berbagai aliran dalam ilmu kalam. Permasalahan yang timbul
adalah membuat sentesis antara aqal (akal) dan naql (wahyu). [92]
Manusia boleh menerima atau menolak untuk percaya kepada Allah. Dia
memiliki kebebasan kemauan. Kemauannya yang bebas menyebabkan ia memilih apa
yang baik dengan berinteraksi melalui fitrahnya sebagai hamba Allah.[93]
Kebebasan adalah salah satu hak-hak tabi’i manusia. Diantara hak-hak
tabi’i manusia yang paling menonjol adalah hak untuk hidup, hak untuk bebas,
hak untuk mewakili dan diwakili, hak untuk mendapat ketentraman, hak untuk
mendapat persamaan dan keadilan dan lain-lain..[94]
Hasan Langgulung mengutip pendapat Prof. Dr. Mohammad Omar
Asy-Syaibani, bahwa kebebasan dalam Islam menuntut pengertian yaitu :
“kemerdekaan dan kebebasan dari segala belenggu kebendaan dan
kerohanian yang tidak sah yang terkadang dipaksakan kepada manusia tanpa alasan
yang benar pada kehidupannya sehari-hari yang menyebabkan ia tidak langsung
menikmati hak-haknya yang wajar dari segi hak sipil, agama, politik, sosial dan
ekonomi”[95]
Namun, lanjut Hasan Langgulung, kemerdekaan yang diberikan Allah kepada
manusia tidak mutlak. Bahkan fungsi khalifah pada manusia cukup menafikan kebebasan manusia. Manusia yang memiliki
kebebasan kemauan tidak dapat menentukan untuk dirinya sendiri kuasa-kuasa asal
apapun yang dimilikinya. Setiap manusia memiliki ajal yang terbatas, ia tidak
apat memanjangkan atau memendekkannya. Tetapi sebaliknya, karena ia sebagai
khalifah Allah maka ia mengangkat dirinya dari segala macam penghambaan kecuali
kepada Allah semata. [96]
Al-Abrasyi dengan konsep at-Tarbiyah al-Istiqlaliyah, atau pendidikan pembebasan mengatakan :
“Bahwa azas terpenting at-Tarbiyah al-Istiqlaliyah adalah
membiasakan peserta didik berpegang teguh pada kemampuan diri sendiri sebagai
refleksi dasar dari sikap percaya diri, percaya dengan pikiran diri sendiri.
Azas ini hanya bisa dicapai jika proses pendidikan dilakukan dengan terbuka dan dialogis.”[97]
Menurut Warid Khan perlunya sikap demokratis dan kebebasan dalam proses
pendidikan bertujuan untuk menciptakan
produk pendidikan yang memiliki kekuatan demi menggalang perubahan-perubaahan
kearah yang lebih positif, disamping untuk memberikan ketajaman intelektual
anak didik.[98]
Kebebasan yang bertanggung jawab ini memungkinkan manusia berbuat tanpa
keterpaksaan pada bidang apappun, termasuk bidang pendidikan, khususnya metode
pendidikan. Karena metode pendidikan berkaitan erat dngan kreativitas dan
aktifitas guru. Dengan variasi aktivitas dan kreativitas guru dalam mengajar,
memungkinkan bisa mencapai tujuan pendidikan secara maksimal.
Cara yang harus digunakan manusia dalam mencapai tujuan sebagai
khalifah adalah dengan memberinya kebebasan. Sebab manusia, dengan bakat yang
dimilikinya mungkin salah dalam mengenal iradah Allah, mungkin saja ia
mendurhakai Allah. Apabila ia durhaka ia harus diperingatkan dengan wahyu dari
Allah. Dan jika menusia mengerjakan perbuatan yang beradab yakni berdasar
keimanan pada Allah dengan mentaati-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya,dan
tidak membedakan antara seorang dengan yang lain, kalau ini berlaku maka
perbuatan ini kreatif dan bertanggungjawab. Yaitu jika manusia mengerjakan
perbuatan dengan kemauan sendiri dengan penuh tanggaungjawab pribadi, maka ia
akan menerima balasannya di dunia ini dan di akhirat.[99]
Implikasi dari konsep kebebasan manusia sudah jelas pada pendidikan
Islam. Bila murid percaya bahwa tingkah lakunya telah ditentukan lebih dahulu
maka ia tentu akan memiliki sikap passif. Mungkin ia tiak mau bekerja keras.
Kegagalan atau keberhasilan karena disebabkan oleh faktor-faktor dari luar
yaitu oleh Tuhan. Akan tetapi, kalau kita berpendapat sebaliknya, bahwa bila
seseorang percaya pada tanggung jawab pada sesuatu tentunya akan memberi makna
yang lebih dalam kepada pendidikan. Pendidikan menumpukan perhatian untuk
menolong murud-murid memilih berbagai pilihan dan memilih yang benar dan baik.
Pendidikan tidak apat dipandang sebagai proses yang memaksakan kehendak dimana guru menentukan setiap
langkah yang harus diambil oleh setiap murid. Pendidikan yang baik adalah
pendidikan yang mampu memelihara kebebasan lebih bersifat bimbingan daripada
sebagai paksaan kepada anak didik.[100]
Berkenaan dengan kebebasan kemauan, Ahmad Warid Khan berpendapat bahwa
pendidikan pembebasan, menemukan dua konteks pemaknaan dalam proses pendidikan
Islam. Pertama, pendidikan harus difahami dalam posisinya secara
metodologis, dimana pelaksanaan pendidikan harus dilakukan secara demokratis,
terbuka dan dialogis. Bahwa seluruh aktivitas kehidupan manusia didasarkan atas
asumsi adanya kebebasan berkehendak.[101]
Praktek-praktek pendidikan yang didasarkan pada prinsip-prinsip
kebebasan ini, menuntut pada prinsip-prinsip kebebasan ini, yaitu kebebasan
berkehendak, kebebasan berfikir, kebebasan berpendapat secara ilmiah, semua itu
berada dalam koridor keterbukaan dan intensitas dialog dalam proses belajar
mengajar. Hal ini diperlukan karena dengan adanya penciptaan suasana dialogis,
secara psikologis membuat anak didik merasakan dirinya turut terlibat, ikut
menciptakan dan bahkan merasa memiliki. Kemungkinan besar akan berdampak
positif terhadap berkembangnya potensi-potensi dasar anak, sehingga mudah
menciptakan gagasan kreatif, mandiri dan mampu merekayasa prubahan-perubahan
secara bertanggungjawab.[102]
Apabila proses pendidikan itu harus mengacu pada prinsip kebebasan,
maka sasaran utama pendidikan adalah al-I’timad ‘ala an-nafs (berpegang
teguh dan percaya dengan kemampuan diri sendiri). Seseorang dianggap berhasil
mengerjakan sesuatu, kalau ia berpegang teguh dan percaya dengan kemampuannya
sendiri.[103]
Adapun pengertian makna kedua, lanjut Warid Khan, bahwa keberadaan pendidikan Islam sebagai
proses adalah sebagai proses pewarisan
nilai-nilai keislaman atau transfer of islamic values.[104]
Hasan Langgulung dalam hal ini menjelaskan bahwa “pendidikan Islam ialah
bagaimana memindahkan (transmision) unsur-unsur pokok peradaban ini dari
generasi kegenarasi supaya identitas umat terpelihara.”[105]
Lanjut Warid Khan bahwa nilai-nilai keislaman yang dimaksud adalah
tauhid, dengan pengertian, bahwa tidak ada penghambaan kepada selain Allah Swt.
yang berarti bebas dari belenggu kebendaan dan kerohanian. Dengan Tauhid melaui
kalimat syahadat derajat semua manusia dihadapan Tuhan adalah sama, ia
melepaskan dirinya dari belenggu subordinasi apapun. Dengan demikian Islam
telah menghilangkan hegemoni atau privilese kepada individu atau
kelompok manusia tertentu.[106]
Sebelum memasuki pembahasan tentang implikasinya terhadap pendidikan
Islam, terlebih dahulu dibahas pengertian metode pendidikan (lebih khusus
metode pendidikan Islam) serta falsafah yang menyertainya.
Dari segi bahasa metode berasal dari dua perkataan, yaitu meta
dan hodos. Meta berarti “jalan” atau “cara”. Dengan demikian
metode dapat berarti cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan.
Selain itu ada pula yang menyatakan bahwa metode adalah suatu sarana untuk
menemukan, menguji dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan disiplin
tersebut.[107]
Dalam proses pendidikan Islam, metode yang tepat berguna bila ia
mengandung nilai-nilai yang instrinsik dan ekstrinsik sejalan dengan materi
pelajaran dan secara fungsional dapat dipakai untuk merealisasikan nilai-nilai
ideal yang terkandung dalam tujuan pendidikan Islam. Antara metode, kurikulum
dan tujuan pendidikan Islam mengandung relevansi (keterkaitan) ideal dan
operasional dalam proses kependidikan.
Sementara asy-Syaibani menyatakan bahwa metode mengajar bermakna segala
kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka
kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkannya, ciri-ciri perkembangan
murid-muridnya, dan suasana alam sekitarnya dan tujuan menolong murid-muridnya
untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki
pada tingkah laku mereka. Selanjutnya menolong mereka memperoleh maklumat, pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, sikap,
minat dan nilai-nilai yang diinginkan.[108]
Adapun hubungan antara kebebasan kemauan dan kreativitas manusia.
Menurut Hasan Langgulung, pertama kali dilihat adalah tujuan diciptakan manusia
adalah untuk menjadi kahlifah. Khalifah mempunyai kandungan yaitu amanah,
sedangkan kandungan amanah adalah akhlak, amal saleh atau ihsan.[109]
Adapun implikasi konsep kebebasan manusia terhadap metode pendidikan
Islam, akan diuraikan dibawah ini.
Dalam hal metode pendidikan, Iqbal menyatakan bahwa individu bisa
mengembangkan seluruh kekuatannya dalam kebebasannya yang diselaraskan dengan
kondisi lingkungan, latihan dalam pemilahan dalam metode dan materi, dan
pengajaran secara langsung oleh tangan pertama. Dalam proses kreatif terhadap
pembentukan kepribadian, manusia harus berlaku aktif dan reaktif sepenuhnya
untuk tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan kondisi lingkungannya.[110]
Karena metode pendidikan yang berbasis keaktifan secara penuh, lebih kondusif
untuk membangun kekayaan sikap intelek atas perkembangan kepribadian.[111]
Ada beberapa metode pendidikan yang diajarkan dalam Islam, sebagaimana
dipaparkan oleh Muhammad Qutb, yaitu :
pendidikan melalui keteladanan, pendidikan melalui nasehat, pendidikan melalui
hukuman, pendidikan melalui kebiasaan, menyalurkan kekuatan, mengisi kekosongan, serta pendidikan
melalui peristiwa-peristiwa.[112]
Secara praktis, memang benar, siswa memiliki kehendak bebas yang
memungkinkannya memilih alternatif yang dihadapinya. Namun juga harus diingat,
seorang guru juga memiliki kehendak bebas yang harus dimanfaatkan untuk
keuntungan murid. Seorang pendidik muslim yang berkepentingan mengarahkan
siswa, secara khusus, berkepentingan membentuk kepribadian. Perannya tidak
terbatas pada menyusun situasi belajar, dan kemudian membiarkan siswa menetukan
pilihannya sendiri, tanpa memikirkan akibatnya. Bila ternyata salah, maka ia
tidak boleh diam.[113]
Peran penting (prominen) yang diberikan kepada pendidik muslim,
memungkinkan menyalahi aturan para
pemikir pendidikan yang beranggapan bahwa siswa harus diberi kebebasan lebih
dalam menentukan apa yang hendak dipelajari. Mungkin akan dikatakan bahwa
seorang guru yang secara emosional, terlibat pembentukan pribadi siswa biasanya
cenderung memaksakan gagasan-gagasan pribadinya atas siswanya. Kemauan siswa diabaikan
atau dengan kata yang lebih halus, dinomorduakan. Seorang pendidikan muslim
yang penuh kasih sayang yang menyerahkan segenap upayanya untuk mengembangkan
pribadinya yang sempurna, mungkin pula dipandang sebagai pribadi otoriter yang
tidak memberikan perhatian kecuali sedikit terhadap motivasi dalam diri
siswanya.[114]
Apa yang diaplikasikan kepada
orang yang telah terdidik pun harus diaplikasikan kepada mereka yang masih
dalam proses pendidikan. Jika ternyata interes para pelajar bersifat
antiedukasional, maka interes tersebut tidak dapat dijadikan sebagai titik
tolak. Tugas gurulah untuk menjadikan siswanya tertarik pada aktivitas yang
relevan bagi pemenuhan kebutuhan dasar mereka. Berusaha menjadikan siswa
menjadi tertarik pada aktivitas yang berguna adalah masalah metode, dan
merupakan akhir pendidikan. Kegagalan untuk membedakan yang demikian,
menjadikan para pendidik, seperti para penganut mazhab progresivesme di Amerika
Serikat, memberikan tekanan yang lebih besar terhadap kebutuhan segera dan sementara
dari siswa.
Bagi umat Islam, konsep reward dan punishment bukanlah
hal asing dan banyak ditemukan dalam kitab suci Al-Qur’an. Terjemahan kedua
kata tersebut dalam bahasa Arab secara berurutan adalah ‘iqab atau
‘azab dan ajr atau isawab.[115]
Dewasa ini, praktek pendidikan di dunia Islam termasuk di Indonesia
agaknya lebih menekankan Punishment daripada reward. Salah satu
bukti adalah ajaran rasul tentang “Pukullah anak bila tidak maushalat dalam
usia sepuluh tahun” lebih populer daripada ajaran Nabi yang berbunyi
“Mengajarlah kalian dan jangan menyakiti siswa, karena seorang pengajar itu
lebih mulia dari seseorang yang suka menyakiti.”[116]
Akhirnya yang didambakan adalah pendidikan Islamyang lebih menekankan
sikap lembut, ucapan yang sejuk ditelinga siswa serta konsisten mengajak ke
nilai-nilai yang benar. Kendatipun Tuhan telah Maha Mengetahui kekerasan hati
Fir’aun yang tidak bisa diubah oleh ajakan kebenaran Nabi Musa A.s., Allah
tetap memerintahkan Musa dan Harun untuk bersikap dan berkata lembut, qaulan
layyina (Q.S. Thaha: 42). Karena
sikap yang terkahir ini selain secara psikologis akan mengingatkan dan
menyadarkan seseorang, sungguh sikap ini adalah Islami dan paedagogis yang
perlu ditegakkan secara konsisten.
d)
Potensi akal
(‘aql ) dan implikasinya terhadap pendidikan Islam
Dalam pandangan Islam, akal merupakan potensi manusia yang paling
penting. Itulah yang mendasari pentingnya akal dalam memahami rukun iman. Dalam
Al-Qur’an kata ‘aqal dengan berbagai bentuknya banyak disebut, seperti
kata ta’qilun/ya’qilun, terdapat sebanyak 46 ayat, kemudian 14 ayat yang
menyebutkan kata tatafaqqarun, 13 ayat yang menyatakan yafqahum.
Ayat-ayat ini menganjurkan untuk berfikir atau peringatan bagi orang yang
berfikir.[117]
Kata ‘Aql tidak pernah muncul
dalam Al-Qur’an sebagai kata benda abstrak (masdar). tetapi sebagi kata-kata
kerja, dengan kerbagai bentuknya. Semuanya menunjukkan aspek pemikiran pada
manusia, seperti surat diatas (ta’qilun).[118]
Keberadaan akal sangat dihargai oleh Allah, sebagai mana firman Allah
dalam Al-Qur’an :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi silih bergantinya malam
dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang Allah turunkan bagi
manusia,dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu
Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala
jenis hewan, dan pengisaran angin dan bumi, sungguh (terdapat) tanda-tanda
(keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (Q.S. Al-Baqarah : 164)
Salah satu ciri-ciri akal adalah keahlian mengamati sesuatu yang
bermakna, memahami dan menggambarkan sebab-sebab dan akibat sesuatu.
Diantara fungsi akal adalah mencipta
yang berpangkal pada berfikir, tetapi lebih tinggi dari itu adalah dengan melalui
pengamatan dengan melibatkan unsur yang
disebut daya kreativitas (creativity).
Berakal menurut Hasan Langgulung, bukan
sekedar kecerdasan tetapi kesanggupan membedakan yang baik dari yang buruk
dengan memikirkan kejadian langit dan bumi. Sedangkan fungsi akal adalah
mencegah manusia supaya jangan menghancurkan diri sendiri. Hal inilah yang
belum dikembangkan oleh pendidikan
modern.[119]
Tantangan yang dihadapi oleh pendidikan
modern ialah mengembangkan aspek akal dengan maksud untuk mencegah
kecenderungan manusia untuk merusak. Bagaimana pendidikan Islam memberikan
solusi cara mendidik dan mengembangkan hati nurani ini ?
Islam menurut Hasan Langgulung memberikan
jawaban yaitu dengan ihsan, Rasulullah saw. Menjelaskan arti Ihsan ialah
“bahwa engkau menyembah Allah seperti engkau melihat Dia, sebab kalau engkau
tidak melihat Dia niscaya Dia melihat engkau”. Itulah cara mengembangkan
hati nurani (super-ego). Yaitu bahwa segala tingkah laku (behavior) kita berada
dibawah pengawasan Allah Swt.[120]
Menurut Hasan Langgulung, walaupun
pendidikan akal telah dikelola oleh institusi pendidikan, namun di dalam
keluarga, pendidikan akal mendapat perhatian yang besar. Peranan keluarga tidak
dapat dibebaskan dari tanggung jawab ini. Bahkan menjadi tanggung jawab yang
besar sebelum anak-anak harus disekolahkan. Keluarga bertugas untuk menolong
anak-anaknya menemukan, membuka dan menumbuhkan kesediaan, bakat dan minat
serta kemampuan-kemampuan akalnya dan membiasakan sikap intelektual yang sehat
dan melatih indera kemampuan-kemampuan akal tersebut.[121]
Drs. Muhaimin berpendapat, bahwa berbagai
potensi dasar atau fitrah manusia tersebut harus ditumbuhkembangkan secara
optimal dan terpadu melalui proses pendidikan sepanjang hayatnya. Manusia
diberi kebebasan/kemerdekaan berfikir untuk berikhtiar mengembangkan potensi-potensi
dasar atau fitrah manusia tersebut. Namun demikian, dalam pertumbuhan dan
perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari adanya batas-batas tertentu, yaitu
adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap menguasai alam, yaitu taqdir
(“Keharusan Universal”atau kepastian umum” sebagai batas akhir dari ikhtiar
manusia dalam kehidupan di dunia).
Disamping itu, pertumbuhan dan
perkembangan potensi manusia juga dipengaruhi oleh faktor-faktor hereditas,
lingkungan alam dan geografis, lingkungan sosio-kultural, sejarah dan
faktor-faktor temporal. [122]
Dalam ilmu pendidikan, faktor yang menentukan keberhasilan pendidikan
itu ada lima yang saling berkaitan dan berpengaruh satu sama lain, yaitu faktor tujuan,
pendidik, peserta didik,alat pendidikan, dan
milieu/lingkungan.
B. Penciptaan manusia
dan Tujuan Hidupnya serta Pengaruhnya terhadap
Pendidikan Islam.
1. Penciptaan Manusia
dan implikasinya terhadap pendidikan Islam
Apabila dilihat dari proses kejadian
manusia secara khusus, maka nuthfah merupakan titik awal yang terus
berproses menjadi manusia sempurna (kejadiannya) secara fisik/materi. M.
Quraish Shihab sewaktu menyitir ayat Al-Mu’minun ayat 12-14, beliau
menyimpulkan bahwa proses kejadian manusia secara fisik/ materi ada lima tahap,
yaitu (1) nuthfah; (2) ‘alaqah ; (3) mudlghah atau
pembentuk organ-organ penting ; (4) ‘idham (tulang); dan (5) lahm (daging).[123]
Menurut Drs. Muhaimin, proses kejadian manusia dapat ditemukan
nilai-nilai pendidikan yang perlu dikembangkan dalam proses pendidikan Islam,[124]
yaitu :
(1)
Salah satu
cara yang ditempu oleh Al-Qur’an dalam menghantarkan manusia untuk menghayati
petunjuk-petunjuk Allah ialah dengan cara memperkenalkan jati diri manusia itu
sendiri, bagaimana asal kejadiannya, darimana datangnya dan bagaimana ia hidup.
Hal ini sangat perlu untuk diingatkan kepada manusia melalui proses pendidikan,
sebab gelombang hidup dan kehidupan seringkali menyebabkan manusia lupa diri.
(2)
Ayat-ayat
yang berkaitan dengan penciptaan secara implisit mengungkapkan pula kehebatan,
kebesaran dan keagungan Allah Swt. dalam menciptakan manusia. Pendidikan dalam
Islam antara lain diarahkan kepada
peningkatan iman, pengembangan wawasan atau pemahaman serta penghayatan secara
menalam terhadap tanda-tanda keagungan dan kebearan Allah sebagai Sang Khaliq.
(3)
Proses kejadian
manusia dalam Al-Qur’an melalui dua proses dengan enam tahap, yaitu proses
fisik/materi/jasadi (dengan lima tahap),dan proses non fisik/immateri dengan
satu tahap tersendiri yaitu tahap penghembusan/peniupan roh pada diri manusia
oleh Tuhan. Pada saat itu manusia memiliki berbagai potensi, fitrah, hikmah
yang hebat dan unik, baik lahir dan batin. Untuk itu pendidikan dalam Islam,
antara lain diarahkan kepada pengembangan jasmani dan rohani secara harmonis,
serta pengembangan fitrah manusia secara terpadu dan holistik.
(4)
Proses
kejadian manusia yang tertuang dalam Al-Qur’an ternyata semakin diperkuat oleh
penemuan-penemuan ilmiah, sehingga memperkuat keyakinan manusia akan kebenaran
Al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah Swt, bukan buatan atau ciptaan Nabi Muhammad
Saw. Maka dengan hal ini pendidikan dalam Islam antara lain diarahkan kepada
pengembangan semangat ilmiah untuk mencari dan menemukan kebenaran
ayat-ayat-Nya.
2. Tujuan Hidup Manusia
dan hubungannya dengan Tujuan pendidikan Islam
Hasan Langgulung dalam hal penciptaan
manusia dan tujuan hidup, berpijak pada firman Allah dalam Al-Qur’an :
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku” (Q.S. ad-Dzariat : 56)
Tujuan
hidup manusia menurut Hasan Langgulung adalah untuk menyembah kepada Allah.
Menyembah disini dimaknai dengan arti luas yaitu meliputi segala gerak-gerik
manusia, sebagaimana ayat yang selalu kita baca ”sesungguhnya sembahyangku,
ibadah hajiku, hidupku, dan matiku adalah untuk Allah, Tuhan seru sekalian
Alam”[125]
Menurut Muslim Ibrahim, bahwa tujuan diciptakanya manusia adalah
sebagai Abdullah, Khalifatullah dan sebagai warosatul Anbiya.[126]
Perbedaan tujuan pendidikan Islam dengan tujuan-tujuan pendidikan
modern seperti pada mazhab kemanusiaan yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan
adalah untuk mencapau perwujudan diri (self-actualization) sebagai
tujuan tertinggi pendidikan, sedang
menurut Islam pengembangan fitrah secara sempurna adalah salah satu asfek utama
tujuan pendidikan Islam. Perkembangan spiritual (ruh), kebebasan kemauan dan akal
(‘Aql) adalah asfek-asfek lain yang perlu dikembangkan disamping perkembangan
jasmani dan ruhani. [127]
Apabila dikaitkan pada tujuan
pendidikan Islam, Al-Abrasyi membagi tujuan pendidikan dalam Islam kepada dua
yaitu tujuan umum dan tujuan khusus,[128]
yaitu :
a.
Tujuan umum
pendidikan Islam
1.
untuk mengadakan pembentukan akhlak yang mulia
2.
untuk
mempersiapkan untuk kehidupan dunia dan akhirat
3.
untuk
mempersiapkan dalam mencari penghidupan yang baik, yaitu dalam
segi profesional
4.
untuk
menumbuhkan semangat ilmiah pada pelajar
dan memuaskan
keingintahuan dan memungkinkan
ia mengkaji ilmu itu sendiri.
b.
Tujuan khusus
pendidikan Islam
Yang dimaksud dengan tujuan khusus adalah perubahan-perubahan yang
diinginkan. Dengan kata lain , gabungan pengetahuan, keterampilan, pola-pola
tingkah laku, sikap nilai-nilai dan kebiasaan yang terkandung dalam tujuan
akhir atau tujuan umum.
Di antara tujuan-tujuan khusus yang mungkin dapat diambil adalah
menanamkan iman yang kuat kepad Allah pada diri peserta didik, perasaan dan
semangat keagamaan dan akhlak pada diri dan menyuburkan hati mereka dengan rasa
cinta, zikir, takwa, dan takut kepada Allah.
Menurut Muhaimin, implikasinya terhadap fungsi pendidikan Islam, antara
lain untuk membimbing dan mengarahkan manusia agar mampu mengemban amanah dari
Allah, yaitu menjalankan tugas-tugas hidupnya di muka bumi, baik sebagai ‘abdullah
(hamba yang harus selalu tunduk dan taat terhadap segala peraturan dan
kehendak-Nya serta mengabdi hanya kepada-Nya), maupun sebagai ,khalifatullah
, yang menyangkut pelaksanaan tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri, dalam
keluarga, dalam masyarakat, dan tugas kekhalifahan terhadap alam.[129]
C. Sifat-sifat Asal
Manusia dan hubungannya terhadap Pendidikan Islam
Menurut
Hasan Langgulung, manusia diciptakan adalah untuk mengembangkan sifat-sifat
Tuhan yang terangkum pada Al-Qur’an dengan nama-nama-Nya yang indah (Al-Asmaul
Al-Husna) yang berjumlah 99. [130]
Sebagai contoh menyembah dalam pengertiannya yang umum bermakna
mengembangkan sifat-sifat ini pada manusia menurut perintah dan petunjuk Tuhan.
Misalnya Tuhan memerintah manusia menjalankan upacara sembahyang kepadanya.
Dengan berbuat demikian, manusia menjadi lebih suci, jadi ia meniru sifat Tuhan
dalam kesucian, yaitu Al-Quddus. Juga Tuhan adalah Maha Pengasih (Al-Rahman)
tetapi Ia memerintah manusia supaya bersifat pengasih terhadapnya. Tuhan Maha
Mengetahui (Al-Alim) tetapi Dia memerintah manusia selalu mencari dan
menambah pengetahuan dan berdoa agar Tuhan menolongnya :”Wahai Tuhanku,
tambahkan ilmuku”. Allah juga memiliki segala kekuasaan (Malikul Mulk),
tetapi diberi-Nya kekuasaan politik kepada manusia di bumi. [131]
Namun sifat-sifat Tuhan itu hanya dapat diberikan kepada manusia dalam bentuk dan cara yang terbatas, sebab kalau demikian
manusia akan mengaku diri sebagai Tuhan. Sifat-sifat yang akan diberikan kepada manusia itu harus dianggap sebagai amanah,
yaitu tanggung jawab yang besar. [132]
Sifat-sifat dasar manusia yang juga merupakan kelemahan manusia
adalah sifat pelupa. Adam a.s jatuh dari syurga adalah juga akibat dari sifat ini, yaitu melupakan sifat-sifat Tuhan,
sehingga ia dengan mudah dapat digoda oleh setan.[133]
Dengan
mengetahui sifat-sifat asal manusia yang berasal dari sifat-sifat Tuhan
tersebut, maka pendidikan Islam harus dapat senantiasa membina dan
menumbuhkembangkan sifat-sifat yang baik pada anak didik, dengan memperhatikan
potensi kemampuan bakat asal mereka.
Kemudian sifat-sifat yang tidak baik yang mencerminkan kelamahan manusia, maka
akan menyadarkan diri manusia untuk lebih memperhatikan eksistensi dirinya yang
serba terbatas jika dibandingkan dengan Sang Maha Pencipta yang serba tak
terbatas. Karena itu, pendidikan dalam Islam antara lain bertugas untuk
membimbing dan mengarahkan manusia agar menyadari akan eksistensi dirinya
sebagai manusia yang serba terbatas, serta menumbuhkembangkan sikap iman dan
takwa kepada Allah yang seba Maha Tak Terbatas. Di samping itu, pendidikan juga
bertugas untuk membimbing dan mengarahkan
manusia agar mampu mengendalikan diri dan menghilangkan sifat-sifat negatif
yang melekat pada dirinya agar tidak sampai mendominasi dalam kehidupannya,
sebaliknya sifat-sifat positif yang terangkum dalam asmaul Husna selalu
menjadi pedoman dirinya dalam kehidupan sehari-harinya.
D.
Konsep Amanah dan Implikasinya terhadap Pendidikan
Islam
Manusia
pada awal penciptaannya, diberikan amanah oleh Allah kepad manusia untuk memikul
tanggung jawab, yaitu mengurus dan mengemban misi Tuhan di atas bumi sebagai
khalifah. Padahal mahkhluk Tuhan yang lain seperti langit, bumi, dan
gunung-gunung tidak mampu mengemban
amanah yang berat. Konsekuensi dari amanah adalah manusia harus siap menjadi
hamba yang selalu menyembah dan mengabdi kepada Tuhan.
Menurut Hasan Langgulung makna amanah sedikitnya ada
dua macam yaitu :
1.Kesanggupan manusia
mengambangkan sifat-sifat Tuhan pada dirinya.
Maksudnya adalah manusia harus mampu mengembangkan sifat-sifat Tuhan
yang diberikan pada dirinya berupa potensi-potensi seperti akal, emosi dan
spiritual.
Maksudnya adalah manusia sebagai khalifah bertanggungjawab
memelihara segala sumber-sumber alam yang semua itu diberikan Allah untuk untuk
dan patuh kepada manusia. Namun manusia dengan segala sifat kelemahannya terkadang
menyalahgunakan amanah ini dengan merusak alam dan menghancurkan sumber daya
alam yang seharusnya dipergunakan untuk kesejahteraan umat manusia.
Implikasi
konsep amanah dalam pendidikan Islam adalah antara lain manusia diarahkan untuk
dapat mempergunakan potensi dirinya secara optimal dalam rangka lebih
mendekatkan diri kepada Allah Swt. Potensi manusia berupa akal dan rasa
keberagamaan adalah merupakan karunia Tuhan yang harus dimanfaatkan demi
kesejahteraan umat manusia. Dalam hal hubungannya dengan alam semesta ,
pendidikan dalam Islam mengarahkan manusia untuk menjaga alam ini agar
senantiasa lestari, dan memanfatkankan demi kebaikan umat manusia bukan
sebaliknya menghancurkan dengan cara mengeksploitasi alam ini dengan tanpa
memperhitungkan kerugian yang akan didapatkan dari pengrusakan alam itu
sendiri.
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa pada hakekatnya pendidikan Islam itu tidak lain
adalah keseluruhan dari proses dan fungsi rububiyah Allah terhadap manusia,
sejak dari proses penciptaan serta pertumbuhan dan perkembangannya secara
bertahap dan berangsur-angsur sampai sempurna, sampai dengan pengarahan serta
bimbingannya dalam pelaksanaan tugas kekhalifahan yang telah diamanatkan kepada
manusia. Manusia sendiri bertanggung jawab untuk merealisasikan proses
pendidikan Islam tersebut sepanjang kehidupan nyata di muka bumi ini. Dalam hal
ini, setiap orang tua atau generasi mudanya dan membimbing serta mengarahkannya
agar mereka mampu mewarisi dan mengembangkan tugas kekhalifahan tersebut secara
berkesinambungan.
E. Perjanjian antara
Tuhan dan Manusia serta Implikasinya terhadap Pendidikan Islam.
Menurut
Hasan Langgulung, kisah Adam jatuh ke dalam godaan sebab ia lupa sesuatu yang
telah diajarkan kepadanya atau ia telah ketahui sebelum itu. Kedua-duanya,
menurut pandangan Islam adalah sama. Yang pertama berkenaan dengan melupakan
sifat-sifat Tuhan yang telah disebutkan sebelum ini. [135]
Menurut
Al-Qur’an, Tuhan sebelum Adam a.s jatuh dalam godaan, telah mengajarkan
kepada Adam akan nama-nama ....(Q.2:32). Nama-nama itu adalah sifat-sifat
Tuhan, yang berjumlah 99, telah dilupakan oleh Adam a.s sewaktu berada dalam godaan. Yang kedua berkenaan
dengan perjanjian (mithaq) antara Tuhan dan umat manusia yang
digambarkan dalam ayat Al-Qur’an berikut :
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman).”Bukanlah Aku ini Tuhanmu?”
mereka menjawab:”Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”(Q.S. Al-A’raf”172)
Dari segi pandangan falsafah lanjut Langgulung, ayat ini menyatakan
bahwa adalah wajar pada manusia atau sekurang-kurangnya sebahagian dari pada
wataknya (nature) adalah menerima Tuhan sebagai Tuhan dan Penguasa. Malah
ahli-ahli fikir Islam melangkah lebih jauh lagi dan menyatakan bahwa ayat ini
bermakna, kelemahan manusia, dan posisi Tuhan sebagai penguasa yang telah
diakui memberi kepada manusia itu wahyu sebagai petunjuk jalan hidupnya.
Selanjutnya Dia berjanji membela orang-orang yang percaya kepada-Nya, firman
Allah dalam Al-Qur’an :
“...Dan Kami telah berkewajiban menolong
orang-orang yang beriman”(Q.S. Ar Rum:47)
Agar
manusia mendapat petunjuk dalam mengurus Amanah, melaksanakan tugas dan
kewajiban, dan terutama mengingatkan manusia kepada perjanjiannya dengan Tuhan,
maka Tuhan mengutus wahyunya kepada manusia. Jadi wahyu itu merupakan
peringatan untuk mengimbangi kelemahan manusia, yaitu sikap pelupa. [136] Manusia mudah lupa dan banyak salah,
karena itu manusia disebut sebagai insan (bahasa Arab) serumpun dengan
kata nisyan berarti lupa atau lalai.
Berkenaan
dengan perjanjian Tuhan dengan manusia, bahwa manusia sejak diciptakan telah
berjanji dengan menjadi saksi bahwa Tuhan yang sepatutnya disembah adalah
Allah, konsekuensi dari hal ini manusia harus bertauhid kepada Allah, bahwa
segala bentuk penyembahan dan penghambaan hanya untuk Allah. Dalam hal
pendidikan dalam Islam diarahkan antara lain adalah menanamkan keimanan kepada
setiap peserta didik. Bahwa segala apa yang dilakukan adalah semata-mata
merupakan bentuk rasa keimanan kita kepada Allah, beriman kepada hal-hal yang
gaib seperti adanya hisab, hari pembalasan , surga, neraka dan lain-lain[137]
Allah juga berjanji kepada manusia bahwa Dia
akan menolong kepada para hamba-Nya yang beriman, ini merupakan bukti bahwa
Tuhan selalu berada didekat hambanya yang beriman apabila mendapat kesulitan
dalam hidup. Hal ini memiliki implikasi
pada pendidikan Islam antara lain menumbuhkan sikap percaya diri dan
rasa optimis dalam menjalankan syariat Allah dan sebagai pengemban amanah Allah
yaitu sebagai khalifah Allah sekaligus sebagai hamba Allah yang selalu
mengabdikan dirinya semata-mata hanya menginginkan keridlaan Allah Swt.
Dalam pendidikan Islam pembentukan iman seharusnya
dimulai sejak anak dalam kandungan, dan dilanjutkan dalam masa
pertumbuhan.kemudian pembinaan pendidikan ibadah kepada anak-anak didik harus
dilakukan dengan cara persuasi, mengajak dan membimbing anak untuk melaksanakan
ibadah. Dalam hal ini peranan orang tua harus senantiasa mengawasi anak didik
dalam masa perkembangan untuk selalu dibimbing dalam suasana keluarga yang
mengesankan anak didik tentang pentingnya beribadah kepada Allah.[138]
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Konsep
manusia menurut kajian Hasan Langgulung
terdiri dari berbagai konsep-konsep dasar meliputi konsep khalifah Allah di
muka bumi yang mengandung potensi seperti fitrah manusia, Roh disamping
pemenuhan kebutuhan jasmani, kebebasan kemauan manusia dan potensi akal
pikiran. Konsep lainnya adalah tentang kejadian atau penciptaan manusia serta
tujuan hidupnya, sifat-sifat asal manusia, konsep amanah manusia, dan terakhir
perjanjian antara Tuhan dan manusia (mithaq).
2. Mengenai implikasi
konsep manusia menurut Hasan Langgulung adalah pada intinya, Pendidikan Islam
dalam pada tujuan akhir (ultimate aim) adalah pembentukan pribadi khalifah bagi
anak didik yang ciri-cirinya terkandung dalam konsep ‘ibadah dan amanah
yaitu memiliki fitrah, roh disamping badan, kemauan yang bebas,
dan akal. Dengan kata lain tugas pendidikan adalah mengembangkan keempat
aspek ini pada manusia agar ia dapat menempati kedudukan sebagai khalifah.
Kelemahan
daripada kajian Hasan Langgulung mengenai manusia antara lain dalam hal
tulisan, Hasan Langgulung tidak menulis kajian tentang manusia secara utuh, tulisan
yang ada tersebar dari berbagai tulisan dan buku. Dalam hal teknis pemaparan,
Hasan Langgulung dalam mengungkapkan
tentang konsep manusia terjadi tumpang tindih dan tidak sistematik,
mungkin dikarenakan luasnya wilayah kajian ini.
Bebrapa hal yang masih menjadi perdebatan adalah tentang konsep
kebebasan kemauan manusia, Hasan Langgulung tidak dengan secara tegas
menyatakan bahwa kebebasan yang Allah berikan kepada manusia. . Bahwa konsep
khalifah Allah sudah cukup untuk menafikan wujud kebebasan itu sendiri. Dalam
hal ini kebebasan yang diberikan Allah kepada manusia sifatnya terbatas, Hasan
Langgulung lebih cenderung pada pemikiran Asy’ary yang mencoba mengsintesakan
antara kehendak Tuhan dan kehendak manusia. Pemikiran ini menimbulkan ambivalensi,
bahwa disatu sisi manusia diberikan kebebasan dalam berpikir dan berkehendak
dan disini lain, peranan Tuhan sangat dominan dalam hal pembentukan perbuatan
manusia, dengan memakai konsep iradat-Nya, sehingga dalam praktik
pendidikan Islam, Langgulung terkesan ragu dan pessimistik. Hasan Langgulung
juga mengakui bahwa konsep yang ia paparkan adalah sangat mendasar, maka ia
menyatakan bahwa tulisan tidak dapat dijadikan sebagai bimbingan dan acuan yang
jelas terhadap pendidikan Islam secara praktis. Untuk itu sangat diperlukan
buku atau kajian yang lebih komprehensif lagi dalam mendukung kajian tersebut,
sehingga didapatkan sebuah konsep pendidikan Islam yang benar-benar dapat
dijalankan dan diterapkan di masyakarat.
[1] Peter Salim dan Yenni Salim,
Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Modern English Press: Jakarta),
1991, hlm. 764.
[3] Peter Salim, Op.cit , hlm. 562
[4] Kamus Filsafat, Op.cit, hlm. 155
[5]
Amir Daien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya:
Usaha Nasional, 1973) hlm. 27
[6] PNoeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan
Perubahan Sosial, (Yogyakarta : Rake Sarasin, 2000) hlm. 7
[7] Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1996) , hlm.
[8]
Abu Tauhied, Beberapa Asfek Pendidikan Islam,
(Yogyakarta : Fak Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1990), hlm. 14.
[9] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan
Islam, hlm. 92
[10] Zalaluddin, dkk, Filsafat Pendidikan
Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, (Jakarta : Raja Grafindo,
1994), hlm. 13
[11] Syed Hussen, Menyongsong Keruntuhan
Pendidikan Islam,(Crisis Muslim Education), terj. Rahman A,(Bandung: Gema
Risalah, 1994) hlm. 58
[12] Jalaluddin , Filsafat Pendidikan, Op.Cit.
halm. 14
[13] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan
Suatu Tinjauan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1997), hlm.12
[14]
Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam,
(Jakarta : Bulan Bintang, 1979), hlm. 10
[15] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat,
pengantar kepada metafisika buku ke tiga, (Jakarta :Bulan Bintang, 1996)
hlm. 150.
[16] AT-Toumi As-Syaibani, Op.Cit, hlm. 11
[17] Hasan Langgulung, Manusia dan
Pendidian, Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: AL Husna
Zikra, 1986) hlm.5
[18] Chabib Thoha, dkk,Reformulasi Filsafat
Pendidikan Islam, (Semarang: Pustaka Pelajar, 1996),hlm. 286
[19] Hasan Langgulung, Asas-Asas pendidikan
Islam, (Jakarta : Al-Husna Zikra, 2000), hlm. 1
[20] Abdul Khaliq, dkk, Pemikiran
pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) hlm.
[21] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran
Tentang pendidikan Islam, (Bandung
:Pustaka AL-Ma’arif, 1995), hlm. 93
[22] Hasan Langgulung, Manusia dan
pendidikan ,Op.cit.hlm.3
[23]
Muhammad Yasir Nasution, Manusia
Menurut Al-Ghazali, ( Jakarta: Sri Gunting 1999), hlm.217.
[24] Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan
dalam Al-Quran, (Yogyakarta:Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992)
hlm. 151.
[25] Muhammd Syamsuddin, Manusia dalam pandangan KH.A.
Azhar Basyir,
(Yogyakarta:Titian Ilahi Press, 1997,
hlm. 95
[26] M.Junaedi, Pemikiran Pendidikan Islam
Kontemporer (Studi Atas Pemikiran Hasan
Langgulung), tesis (Yogyakarta: Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga,1997),
hlm.2
[27] Subaidi, Konsep pendidikan Islam
Menurut Hasan Langgulung (Tinjauan Filosofis), Skripsi (Yogyakarta :
Universitas Coktoaminoto Yogyakarta, 2000) hlm. 28-29
[28] Achmad Sudja’ie dalam tulisan Pemikiran Hasan Langgulung tentang
pendidikan Islam, Pemikiran pendidikan Islam Tokoh Klasik dan Kontemporer,
edit. Ruswan Thoyib, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar dan IAIN Walisonong Semarang, 1999), hlm 33
[29] Muhammad Yasir Nasution, op.cit hlm. 1
[30]
Musa Asy’ari, op.cit, hlm. 55
[31] Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab (Mesir: Dar al-Misriyah li
at-Ta’lif wa at-Tarjamah, 1968),
jilid
1,p.889
[32] Jalaluddin, Teologi Pendidikan,(Jakarta:
Rajawali Press, 2000) hlm. 18
[33] Muhaimin, dan Abdul Mudjib, Pemikiran Pendidikan Islam,
Kajian Filosofis dan Kerangka dasar Operasionalnya.( Bandung : Tri Genta,
1993) hlm 10
[35] Jalaluddin,Op.Cit. hlm. 21
[36] Ibid, hlm.22
[38] Musa Asy’ari, op.cit. hlm. 43
[40] Abu Tauhid, op.cit. hlm 28
[41] Abdurrahman An Nahlawy, Pendidikan Islam di Rumah dan Masyarakat,
(Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hlm. 62
[42] H.
Musa Asyari,op.cit, hlm. 49
[43]
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam , ( Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hlm.
201
[44] Muzayyin Arifin, pendidikan Islam dan Arus Dinamika Masyarakat,,(Jakarta:Golden Trayon Press, tt) hlm……
[45] Sutrisno Hadi, Metodologi Research,
(Yogyakarta: Andi Offset, 1987),hlm. 67
[47] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan
: Sistem dan Metode, (Yogyakarta: Andi Offset, 1997),
hlm. 89.
[48] Noeng Muhadjir, Metologi Penelitian Kuantitatif,
edisi III (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998),
hlm. 88
[50] Aisyah Abdurrahman (Bintus-Syathi’), Manusia
sensitivitas Hermenutika Al-Qur’an, terj. M.Adib al-Arief, Yogyakarta :
LKPSM, cet. 1997
[51] Hasan Langgulung, Manusia dan
Pendidikan, (Jakarta :Al-Husna Zikra), Hlm. 74-75
[54] Muzayyin Arifin, Pendidikan Islam dan
Arus Dinamika Masyarakat, Jakarta: Golden Trayon Press, 1994, hlm 50
[55] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Op.cit, Hlm. 78
[56] Musa Ay’arie, Manusia Pembentuk
Kebudayaan Dalam Al-Qur’an, Yogyakarta, Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992,
hlm. 70-71
[57]Hasan Langgulung, manusia dan Pendidikan,
Op.cit, hlm. 79
[58] Omar El-Toumy El-Syaibani, dalam tulisan Hasan Langgulung, Beberapa
Aspek Tentang Pemikiran Pendidikan Islam,( PT. Al-Maarif, Bandung,
1995), hlm. 45
[59] Hasan Langgulung, Manusia dan
Pendidikan, Op.cit.hlm.80
[60] Bintu Syathi, Op. Cit, hal. 77
[62] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang pendidikan Islam,
Op.cit. hlm.55
[63] Ibid, hlm. 61
[64] Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan
Masyarakat, Jakarta, Gema Insani Press, 1995, hlm.125
[65] Hasan Langgulung, Asas-Asas pendidikan
Islam, Jakarta,Pustaka Al-Husna, 2000, hlm. 304
[66] Hasan Langgulung, Pendidikan dan
Peradaban Islam, Jakarta, Pustaka Al Husna, 1990. hlm. 225
[68] Hasan Langgulung, Manusia dan
Pendidikan, Op. cit. hlm. 4
[69] Hadari Nawawi, Hakikat Manusia Menurut
Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), hlm. 80
[70] Syahminan Zaini, Mengenal Manusia
Lewat Al-Qur’an, Surabaya. PT Bina Ilmu, 1984,
hlm. 9-10
[71] Wan Moh. Nor Wan Daud, Konsep Pengetahuan dalam Islam, Jakarta ,
Pustaka, 1997, hlm. 17
[72] Muslim Ibrahim, Pendidikan Agama Islam untuk Mahasiswa, , Yogyakarta :Erlangga,
1990, hlm. 60.
[73] Muhaimin, Paradigma pendidikan Islam, Bandung, Rosda Karya, 2002,. hlm. 59-65.
[76] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Op. cit, hlm. 263
[81]
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta :Al-Husna
Zikra), Hlm. 74-75
[82]
Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, Jakarta,
Pustaka Al- Husna, 1985, hlm.214-215
[83]
Hasan Langgulung,Manusia …, Op.cit. hlm. 59
[84]
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta, Rajawali Press, 2001
[85] Hasan Langgulung, Pendidikan dan
Peradaban Islam…..Op.Cit. hlm. 215
[86] Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, Op.cit,
hlm. 218
[87]
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (kajian
filosofik dan Kerangka Operasionalnya) Bandung, Trigenda, 1993. hlm. 29
[88] Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Op.Cit,
hlm.36-43
[89] Hasan Langgulung, Manusia….., Hlm.
78
[91] Drs. Muhaimin, Pemikiran …,
Op.cit. hlm. 53
[92]
Hasan Langgulung, Kreativitas dan pendidikan Islam, Jakarta,
Pustaka Al-Husna, 1991, hlm.268
[94] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran
Tentang pendidikan Islam, Bandung, Al-Ma’arif, 1995, hlm. 7
[95] Ibid, hlm. 45
[98] Ahmad Warid Khan, Op. Cit. hlm.
202
[100]Abdurrahman Abdullah, Teori-teori
Pendidikan Berdasarkan AL-Qur’an, Terj. H.M. Arifin dan Zainuddin, Jakarta,
PT Rineka Cipta, 1994. hlm.84
[101] Ahmad, Warid Khan, , Membebaskan
Pendidikan Islam, Yogyakarta, Wacana, 2002, hlm. 199
[103] Muhammad Athiyah Al –Abrasyi, Ruh
al-Islam, Mesir, Mathba’ah Lajnah al-Bayan al-Arabi, 1964, hlm 287
[104] Ahmad Warid, Khan, Op.cit, hlm.
2001- 205
[105] Prof. Dr. Hasan Langgulung, Pendidikan
Islam Mengahadapi Abad ke-21, Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1988, hlm. 63
[106] Ahmad Warid Khan, Membebaskan..,Op.cit,hlm.
205
[107] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos,
1997), hlm. 91
[108] Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam,
alih bahasa Hasan Langgulung, (Jakarta:Bulan Bintang, 1979), hlm. 533
[109] Hasan Langgulung, Kreativitas dan
Pendidikan Islam, Op.Cit, hlm. 281
[110] Mian Muhammad Tufail, Iqbal’s Philosophy and Education, Lahore : The Bazm Iqbal,
1966, hlm. 119
[111] Ibid, hlm.121
[112] Muhammad Qutb, Manhaj al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Kairo: Dar
asy-Syuruq, 1993), hlm. 180-207.
[113] Abdurrahman Shalih Abdullah, Teori-teori pendidikan dalam
Al-Qur’an, Op.cit, hlm. 90
[114] Ibid, hlm. 91
[115] Abdurrahman Ma’ud, Reward and Punishment in Islamic
Education, dalam International Journal Ihya ‘Ulum al-Din, Vol. 2.No. 1,
februari 2000, (Semarang :IAIN
Walisongo), hlm. 93
[116] Ibid,
[117] Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan
Masyarakat, Jakarta, Gema Insani Press, 1995, hlm.125
[118] Hasan Langgulung, Asas-Asas pendidikan
Islam, Jakarta,Pustaka Al-Husna, 2000, hlm. 304
[119] Hasan Langgulung, Pendidikan dan
Peradaban Islam, Op.cit. hlm. 225
[121] Hasan Langgulung, Manusia …,Op.cit,
hlm 366
[122]Muhaimin, Paradigman Pendidikan Islam,
Bandung, Rosda Karya, 2002, hlm. 19
[123] M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an, Jakarta, Mizan, 1995, hlm.
[124]
Muhaimin, Op.cit, , hlm. 11
[126] Muslim Ibrahim, Pendidikan Agama Islam untuk Mahasiswa, , Yogyakarta :Erlangga,
1990, hlm. 60.
[127] Hasan Langgulung, Manusia dan
Pendidikan . Op.cit, hlm. 58-59
[128] Athiyah Al-Abrasyi, Al-Tarbiyah
Al-Islamiyah wa Falasifatuha, Kahisan : Issa al-Babi al-Halabi, 1969, hlm.
70
[129] Drs. Muhaimin, Paradigma..., Op.cit,
hlm. 24
[130] Hasan Langgulung, Manusia....,Op.cit,
hlm.263
[131] Hasan Langgulung, Manusia, Ibid,
hlm. 263
[135] Hasan Langgulung, Manusia dan
Pendidikan, Op.cit, hlm. 8
[137] M. Ja’far, Beberapa Asfek Pendidikan
Islam, Surabaya, Al-Ikhlas, 1981,
hlm. 104
[138]
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah,
Bandung, CV Ruhama, 1994, hlm. 60
Komentar