LAFADZ DAN DALALAHNYA

  1. LAFADZ DAN DALALAHNYA
Untuk menggali hukum terutama hukum syariat, tidak terlepas dari pembahasan kebahasaan karena hamper delapan puluh persen penggalian hukum syariat menyangkut lafadz. Sebenarnya lafadz-lafadz yang menunjukan hukum harus jelas dan tegas supaya tidak membingungkan para pelaku hukum. Namun, dalam kenyataannya petunjuk lafadz-lafadz yang terdapat dalam nash syariat itu beraneka ragam. Bahkan ada yang kurang jelas.
            1.       Pembagian Lafadz Dari Segi Kejelasannya Menurut Ulama Hanafiyah[1]
  1. Zhahir
Zhaahir adalah sesuatu yang dapat dimengerti atau diketahui tanpa harus dipikifkan terlebih dahulu. Dari definisi tersebut tampak jelas bahwa memahami zhahir itu tidak bergantung pada petunjuk lain, tetapi bisa diambil langsung dari rumusan lafadz itu sendiri. Akan tetapi lafadz itu tetap mempunyai kemungkinan lain.
Atas dasar definisi tersebut, Muhammad Adib Shalih menyimpulkan bahwa dzahir adalah suatu lafadz yang menunjukan suatu makna dengan rumusan lafadz itu sendiri tanpa menunggu qarinah yang ada diluar lafadz itu sendiri, namun mempunyai kemungkinan ditakhsis, ditakwil dan dinasakh.
Contoh dari lafadz zhahir ini adalah firman Allah dalam surat al-Hasr : 7
!!$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ
7.  Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.
Ayat tersebut jelas artinya yaitu keharusan mentaati apa yang disuruh Rasul baik yang mengenai apa yang diperintahkannya atau apa yang dilarangnya, karena inilah yang mudah dipahami secara tepat. Namun maksud sebenarnya dari ayat ini adalah keharusan menerima apa-apa yang diberikan Nabi sehubungan dengan harta rampasan perang dan tidak menolak pemberian Rasul, serta serta menjauhi apa yang tidak disenangi Rasul.
Ketentuan yang menyangkut lafadz zhahir adalah bila berhubungan dengan hukum, maka wajib mengamalkan hukum menurut lahirnya. Selama tidak ada dalil lain yang menunjukan lain dari lafadz itu.
  1. Nash
Pengertian nash disini tidak berarti dalil syara’ dalam bentuk tertulis seperti al-Quran atau hadits, tapi kedudukan lafadz dari kejelasan artinya.
Imam al-Uddah memberikan definisi tentang lafadz nash sebagai berikut :
ما كان صريحا في حكم من الأحكام وإن كان اللفظ محتملا في غيره
Lafadz yang jelas dalam hukumnya meskipun lafadz itu mungkin dipahami untuk maskud lain.  
Meskipun arti dari suatu lafadz sudah cukup jelas, namun masih mengandung kemungkinan adanya makna lain walaupun tingkat kejelasan makna lain itu agak lemah.
Contoh dari lafadz Nash adalah sebagai berikut :
أحل الله البيع وحرم الربا
Secara nash, ayat tersebut bertujuan untuk menyatakan perbedaan antara jual dan riba sebagai sanggahan terhadapat pendapat orang yang menganggapnya sama. Hal ini dapat dipahami dari ungkapan keseluruhan dari ayat ini.
Hukum lafadz nash sama dengan hukum lafadz zhahir, yaitu wajib diamalkan selama tidak ada dalil yang menakwilkan, mentakhsish atau menasakhnya. Perbedaan antara keduanya adalah kemungkinan takwil atau yang lain pada lafadz nash jauh lebih besar dibanding dengan kemungkinan takwil yang terdapat dalam lafadz zhahir. Oleh sebab itu, jika terjadi pertentangan antara keduanya, maka lafadz nash lebih didahulukan pemakaiannya dan wajib membawa lafadz zhahir pada lafad nash.
  1. Mufassar
Dengan ditempatkan al-Mufassar ini pada urutan ketiga, menunjukan ia lebih jelas dari dua lafadz sebelumnya. Hal ini dikarenakan bahwa petunjuk zhahir dan nash masih terdepat kemungkinan ditakwil atau ditakhsish, sedangkan lafadz al-Mufassar kemungkinan tersebut sama sekali tidak ada. Imam Al-Sarkhisy memberikan definisi  al-Mufassar sebagai berikut : nama bagi sesuatu yang terbuka yang dikenal dengannya secara terbuka dalam bentuk yang tidak ada kemungkinan mengandung makna yang lain. Namun, imam Abdul Wahab Khalaf juga memberikan definisi lain. Beliau mengatakan bahwa al-Mufassar  adalah suatu lafadz yang dengan sighatnya sendiri memberikan petunjuk kepada maknanya yang sangat terperinci sehingga tidak dapat adanya kemungkinan makna lain dari lafadz tersebut.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hakikat dari lafadz al-Mufassar  adalah :
                       1.          Penunjukannya terhadap makna sangat jelas
                       2.          Penunjukannya itu dari lafadznya sendiri tanpa memerlukan qarinah yang lain.
                       3.          Karena makna sudah jelas dan terperinci, maka tidak mungkin untuk ditakwil.
(#qè=ÏG»s%ur šúüÅ2ÎŽô³ßJø9$# Zp©ù!%x. $yJŸ2 öNä3tRqè=ÏG»s)ムZp©ù!$Ÿ2 4 (#þqßJn=÷æ$#ur ¨br& ©!$# yìtB tûüÉ)­GãKø9$# ÇÌÏÈ
36.  Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan Ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.
            Lafadz musyrikin pada ayat tersebut pada mulanya dapat ditakhsish, namun dengan adanya lafadz Kaffatan kemungkinan itu menjadi tidak ada.
Dilalah lafadz al-Mufassar wajib diamalkan secara qath’I, sepanjang tidak ada dalil yang me-naskh-nya. Lafadz al-Mufassar tidak mungkin dihindarkan artinya dari zhahir lafadz tersebut, karena hanya bisa dinaskh hukumnya. Karena dilalah al-Mufassar lebih kuat dibandingkan dengan dilalah zhahir atau nash, seingga apabila terjadi pertentangan maka dilalah al-Mufassar yang didahulukan.

  1. Muhkam
Lafadz yang muhkam adalah lafadz yang dari segi sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya sesuai dengan pembentukan lafadznya secara jelas, sehingga tidak menerima untuk diganti atau ditakwil.
Tidak menerimanya lafadz muhkam akan hukum nasakh, terkadang disebabkan oleh teks lafadz itu sendiri yang menghendaki demikian. Terkadang juga dikarenakan Nabi telah meninggal dan tidak ditemui keterangan bahwa hukum yang berlaku itu telah dinasakh.
Ketentuan tentang lafadz muhkam bila menyangkut hukum, adalah wajib mengamalknnya secara pasti dan tidak mungkin dipahami dari lafadz tersebut kemungkinan lain, serta tidak mungkin pula terjadi hukum nasakh pada lafadz muhkam. Dilalah lafadz muhkam lebih kuat dibanding dengan ketiga lafadz sebelumnya. Sehingga apabila terjadi pertentangan antaranya, maka harus didahulukan lafadz yang muhkam.
Menurut pendapat imam Wahbah Zuhaili dari kesemua dilalah lafadz yang telah dipaparkan diatas dapat menetapkan hukum pada lafadz yang telah disebutkan. Selama tidak ada dalil yang menentang hukum dari semua lafadz tersebut.
  1. SYARAT-SYARAT TA’ARUD AL-DILALAH
Pertentangan antara dalalil ini memiliki beberapa syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama ahli Ushul Fiqh sebagaimana yang akan dipaparkan dibawah ini[2]:
                        1.        Kedua dalil yang saling bertentangan adalah yang bisa dijadikan Hujjah atau pedoman dalam penetapan sebuah. Sehingga tak akan ditemukan pertentangan dalil jika salah satu dari dalil itu tidak memenuhi syarat pertama ini. Seperti pertentangan antara firman Allah yang berbunyi
ولا تكون كالذين تفرقوا, واختلفوا dengan hadits Nabi Muhammad Saw.  إختلاف أمتي رحمة kedua dalil tidak akan terjadi pertentangan sebab hadits Nabi tersebut dihukumi sebagai hadits maudhu’ oleh para ulama bahkan ada yang bahwa dalil itu bukanlah hadits.
                          2.       Kesatuan antara kedua dalil yang saling bertentangan dalam hal waktu, tempat, objek dan hukum. Seperti saat Rasulullah menikahi Maimunah sedangkan Nabi dalam keadaan Ihram. Dalam hadits lain Rasulullah bersabda المحرم لا ينكح ولا ينكح . dalam hal ini tidak terjadi pertentangan sebab objek atau mahkum ‘alaihnya tidak sama, yang pertama objeknya adalah Nabi Muhammad, sedangkan dalil yang kedua objeknya adalah seluruh orang yang ihram.
                          3.       Kesamaan kedua dalil yang bertentang dalam hal sanadnya. Seperti pertentangan antara dalil qath’I dengan dengan dalil qath’I atau pertentangan antara dalil Dzanni dengan dalil Dzanni. Sehingga tidak akan terjadi pertentangan antara Al-Quran dengan hadits Ahad, sebab hadits Ahad hukumnya Dzanni sedangkan Al-Quran adalah Qath’i.
                          4.       Kesamaan antara dalil yang bertentangan dalam hal Dilalahnya. Seperti pertentangan antara dalil Nash dengan Nash yang lain atau antara zhahir dengan dalil zhahir yang lain.
                          5.       Kesamaan antara kedua dalil yang bertentangan dalam hal jumlahnya. Sehingga tidak akan terjadi pertentangan antara dua ayat al-Quran dengan satu hadits atau sebaliknya.
  1. METODE UNTUK MENGATAHUI HUKUM HARAM
Ulama ushul memberikan metode yang dapat digunakan untuk mengetahui status hukum haram bagi sesuatu pekerjaan tertentu. Cara ini adalah rumusan dalam memahami nash-nash yang mempunyai nuansa haram[3].
                              1.            Nash syariat menginformasikannya dengan bentuk lafadz haram.
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ èps)ÏZy÷ZßJø9$#ur äosŒqè%öqyJø9$#ur èptƒÏjŠuŽtIßJø9$#ur èpysÏܨZ9$#ur !$tBur Ÿ@x.r& ßìç7¡¡9$# žwÎ) $tB ÷LäêøŠ©.sŒ $tBur yxÎ/èŒ n?tã É=ÝÁZ9$# br&ur (#qßJÅ¡ø)tFó¡s? ÉO»s9øF{$$Î/ 4 öNä3Ï9ºsŒ î,ó¡Ïù
3.  Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya[395], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah[396], (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. ……
                              2.            Hukum haram dapat pula dihasilkan dari nash yang berbentuk larangan yang bersamaan dengan adanya sesuatu yang menunjukan bahwa larangan itu bersifat pasti.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
90.  Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434], adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ Ÿwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÈ
4.  Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
Kemudian hukum haram juga dapat diambil dari kalam khabar yang menunjukan hukum haram, atau dari bentuk tuntutan yang berupa larangan, atau dari bentuk tuntutan perintah untuk menjauhi, sehingga hal itu menjadi qarinah yang menentukan bahwa tuntutan itu bersifat haram.
  1. METODE UNTUK MENGETAHUI HUKUM SUNAH[4]
Hukum sunnah dapat diketahui ketika bentuk tuntutannya tidak menunjukan huku haram yang pasti, atau tuntutan itu bersamaan dengan alasan yang menunjukan atas ketidakpastiaannya.
Syari’ ketika menuntut mengerjakan sesuatu dengan lafadz “Yusannu kadzaa” atau “Yundabu Kadzaa”, maka tuntutan itu disebut mandub. Dan jika tuntutan itu berbentuk perintah akan tetapi disertai alasan yang menunjukan akan kesunnahannya, maka tuntutan itu disebut juga mandub. Seperti firman Allah :
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù
282.  Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Perintah untuk menuliskan hutang diatas adalah sunnah dengan alasan yang terdapat pada kelanjutan ayat diatas yaitu :
÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3
283.  akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya
  1. CONTOH TA’ARUDH DENGAN TINDAKAN JAM’U
Dalil Pertama :
ألا أخبركم بخير الشهداء الذي يأتي بشهادته قبل أن يسألها (رواه مسلم°)
Maukah ku beritahu kalian tentang sebaik-baiknya saksi ? yakni orang yang datang dengan membawa kesaksiannya sebelum dia dimintai kesaksian. (HR. Muslim)
Dalil Kedua :
خيركم قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم ثم يكون بعدهم قوم يشهدون ولا يشتشهدون.
Sebaik-baiknya kalian adalah generasiku, kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya, kemudian setelah mereka adalah kaum yang bersaksi sedangkan mereka tidak dimintai persaksian.
            Kandungan dua hadits tersebut masih umum, sama-sama umum dalam segala hal bentuk kesaksian sebelum diminta, akan tetapi salah satunya dinilai baik, dan yang lain dinilai buruk. Karena saling bertentangan, maka dilakukanlah kompromi.




[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), 3-12.
[2] Abdullah ‘Aziz al-Barzanji, Al-Ta’arud wa Al-Tarajih Baina Al-Adillah Al-Syar’iyyah, (Beirut : Dar Al-kutub Al’ilmiyyah)
[3] Ade sulaiman Dkk, Trem Syariat Dan Cita Kemaslahatan, (Kediri: lirboyo press, 2012), 256-258.
[4] Ade Sulaiman Dkk, Trem Syariat Dan Cita Kemaslahatan, (Kediri: Lirboyo Press, 2012), 248.

Komentar

Postingan Populer