Mengatasi Problema Pendidikan Moral

Mengatasi Problema Pendidikan Moral
Oleh : Dzakirin | 07-Des-2010, 03:16:06 WIB

KabarIndonesia - Salah satu tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang ditegaskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) adalah menciptakan manusia Indonesia yang seutuhnya. Yang dimaksud manusia seutuhnya adalah manusia yang mampu mencapai pemenuhan kebutuhan, baik material maupun spirituil atau fisik maupun non-fisik dan lahir maupun batin.

Dalam bahasa agama Islam, karakteristik manusia seperti itu disebut dengan manusia yang sempurna (insan kamil). Agar pendidikan berhasil dalam mencetak anak didik menjadi manusia yang seutuhnya, maka salah satu caranya adalah dengan memberikan pendidikan budi pekerti atau moral. Dalam memberikan pendidikan moral tersebut, target yang menjadi sasarannya bukan hanya pada tataran kognitif (pengetahuan) saja, melainkan juga pada tataran afektif (emosi) dan yang paling penting psikomotorik (praktik).
    
Namun sayangnya idealitas yang dikehendaki oleh pendidikan morall tersebut tampaknya masih jauh dari harapan. Dengan kata lain, target untuk membentuk anak didik yang berakhlak dan berbudi pekerti yang luhur, pada kenyataannya tidaklah semudah yang dibayangkan.

Sebaliknya, banyak kasus yang memperlihatkan betapa anak-anak sekolah masa kini tidak memerdulikan moral sehingga berperilaku tidak selayaknya sebagai orang terpelajar. Tawuran antar pelajar yang kini juga sudah menjangkiti sebagian mahasiswa, penggunaan obat-obatan terlarang, seks bebas dan sebagainya merupakan contoh nyata bahwa pendidikan moral di lembaga pendidikan masih sangat memperihatinkan.


Tiga Ranah Pendidikan

Banyaknya kasus-kasus tindakan amoral yang melibatkan anak-anak didik termasuk mahasiswa tentu ada sebabnya. Ada tiga ranah pendidikan yang harus ditekankan dalam mendidik sikap anak didik. Pertama, pendidikan di rumah. Rumah atau keluarga merupakan tempat anak pertama kali bersentuhan dengan pendidikan dalam pengertian yang luas terutama dari ayah dan ibu dan juga anggota keluarga yang lain. Sejak dini anak sudah mulai belajar tentang apapun di dalam rumah sehingga kepribadian si anak akan terbentuk sedemikian rupa oleh suasana yang ada di dalam rumah tersebut. Rumah dengan suasana keluarga yang agamis akan membentuk kepribadian yang agamis, demikian pula seterusnya.
    
Sayangnya berbagai kasus tindakan amoral yang menimpa sejumlah anak didik di Indonesia diduga penyebabnya adalah karena rumah mereka tidak lagi berfungsi sebagai tempat pendidikan moral yang baik bagi anggota keluarganya. Tentu berbagai faktor bisa disebutkan di sini, seperti keluarga yang broken home (orangtuanya bercerai), kesibukan yang luar biasa dari ayah dan ibu sehingga tidak mempunyai waktu lagi untuk bercengkerama dengan anak-anaknya.

Kedua, pendidikan di masyarakat (lingkungan). Menurut salah satu teori pendidikan dijelaskan bahwa masyarakat (lingkungan) memberikan pengaruh yang besar terhadap pembentukan kepribadian seorang anak. Setelah anak-anak mulai beranjak ke usia remaja, pada umumnya mereka suka keluar rumah untuk bergaul dengan lingkungan sekitarnya. Kecenderungan seperti ini berlaku di mana saja sebab pada dasarnya manusia itu adalah makhluk sosial yang selalu ingin berinteraksi antara satu dengan yang lain.
   
Sayangnya saat masyarakat (lingkungan) di mana anak-anak itu bergaul memiliki banyak masalah, maka saat itu pulalah anak-anak akan terkena akibatnya. Anak-anak didik yang terlibat dalam berbagai tindakan amoral ternyata karena mereka sering bergaul dengan anak-anak yang bermasalah. Kasus paling banyak terjadi adalah pemakaian narkoba di kalangan remaja dan kecenderungan hidup seks bebas.
    
Ketiga, pendidikan di sekolah. Sekolah atau kampus jelas merupakan tempat pendidikan formal di mana anak-anak didik dan mahasiswa belajar tentang kehidupan dari hal-hal yang sederhana sampai yang kompleks. Lembaga pendidikan ini pulalah yang sesungguhnya diharapkan dapat membentuk anak-ana didik dan mahasisa menjadi mahasiswa Indonesia yang bermoral atau berbudi pekerti yang luhur. Namun sayangnya, justru pihak sekolah atau kampus kadang-kadang tidak begitu memperdulikan dengan masalah pembentukan kepribadian yang bermoral tersebut. Sekolah kerapkali hanya mementingkan pencapaian kognitif anak didik sehingga yang dikejar adalah prestasi-prestasi yang terkait dengan nilai mata pelajaran atau mata kuliah yang tinggi. Tetapi pada saat yang sama tidak begitu memperdulikan dengan bagaimana perilaku anak-anak didik tersebut.
    
Guru atau dosen sebagai salah seorang yang bertanggung jawab terhadap pembentukan kepribadian tersebut kadang-kadang juga tidak begitu peduli dengan masalah tersebut. Mereka hanya mengejar target agar anak-anak didik tersebut mendapatkan nilai yang bagus.  Setelah itu mereka tidak mau tahu urusan yang lainnya, termasuk perilaku anak. Bahkan ada satu kasus yang sangat memperihatinkan di mana seorang guru justru terlibat dalam tindakan amoral, seperti tindakan kekerasan pada anak.


Solusi

Munculnya banyak kasus tindakan amoral dari anak didik, dengan demikian disebabkan oleh berbagai faktor yang terkait dengan tiga ranah pendidikan tersebut. Kita tidak bisa hanya menyalahkan pihak sekolah saja tanpa melihat yang lain dan begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, solusi yang penulis tawarkan juga terkait dengan ketiga ranah tersebut.

a. Rumah (keluarga).
    1. Orangtua harus sering mengontrol perilaku anak-anak  mereka. Jangan dibiarkan terlalu longgar seperti dalam pergaulan. Biasakanlah untuk selektif dalam hal pergaulan.
    2. Tetapi juga jangan terlalu ketat sehingga anak akan terkesan merasa di penjara ketika berada di rumah.
    3. Mereka harus berusaha untuk selalu mendengarkan keluhan-keluahan anak dan bersama-sama memberikan solusinya.
    4. Hendaknya orangtua menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya.

b. Masyarakat (lingkungan)
    1. Masyarakat hendaknya tidak terlalu permisif terhadap budaya-budaya asing yang belum tentu sesuai dengan budaya Indonesia.
    2. Hendaknya ikut mengontrol perilaku anak-anak di sekitar mereka dan memberitahukan kepada mereka jika memang perilaku mereka itu tidak baik.
    3. Mengadakan kegiatan-kegiatan anak dan remaja yang positif seperti perlombaan, pengajian dan sebagainya.

c. Sekolah
    1. Pemberian pelajaran, terutama pelajaran moral dan budi pekerti kepada anak didik hendaknya tidak terlalu menekankan aspek kognitif saja, justeru yang harus ditekankan adalah aspek psikomotorik.
    2. Para guru juga harus selalu menjadi panutan yang baik bagi para anak didik mereka, sebab anak-anak umumnya selalu mencontoh perbuatan orang-orang yang menjadi panutannya.
    3. Pihak sekolah harus sering melakukan jalinan kerjasama baik dengan keluarga maupun masyarakat dalam upaya membimbing anak-anak didik mereka. Bagaimanapun sekolah saja tentu tidak akan mampu melakukan tugas membentuk kepribadian yang bermoral tersebut.
    4. Memperbanyak kegiatan-kegiatan yang positif seperti pesantren kilat di bulan Ramadhan, bahkan bila perlu di bulan-bulan yang lainnya dalam jangka waktu tertentu.
    
Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan moral dan budi pekerti yang baik di kalangan anak didik di Indonesia masih memiliki sejumlah kendala. Karena itu, berbagai pihak, baik sekolah, keluarga, maupun masyarakat harus berusaha bahu-membahu untuk selalu mengawasi masalah pendidikan moral tersebut. Tanpa keterlibatan semua pihak akan sulit pendidikan moral di negeri ini akan berhasil. (*)

Komentar

Postingan Populer