BAB I
PENDAHULUAN

A.    Penegasan Istilah


Untuk menghindari pembahasan yang meluas serta menghindari kesalahpahaman pembaca dalam memahami istilah yang dipakai dalam skripsi ini, maka perlu dibuat penjelasan terhadap istilah-istilah tersebut, yaitu :
a.                  Konsep
Konsep yaitu gambaran mental suatu objek, proses, atau apapun yang berada diluar bahasan dan yang digunakan oleh akal budi untuk memahami masalah-masalah lainnya, atau dengan kata lain, ide atau pendapat yang diabsatrakkan melalui peristiwa nyata.[1]
Dalam wilayah filsafat ilmu, konsep dalam bahasa Inggris adalah concept (bhs latin concepere, conceptum,) yaitu kesan mental, sebuah pikiran, pernyataan gagasan dari sebarang tingkat kenyataan atau abstraksi yang digunakan dalam berpikir abstrak.[2]
b.                  Implikasi
Implikasi yaitu keterlibatan, maksud atau pengertian yang tidak disebutkan secara langsung[3] dalam hal ini implikasi konsep manusia menurut Hasan Langgulung terhadap pendidikan Islam.
Dalam kamus filsafat terkadang disebut implikasi defisional deduksibilitas yaitu pernyataan dari pernyataan lainnya. Contoh :”Adam menikah”, secara logis maka berarti ia memiliki istri.[4]
c.                   Pendidikan
Pendidikan  ialah bantuan yang diberikan dengan sengaja kepada anak  dalam pertumbuhan jasmani maupun rohaninya untuk mencapai tingkat dewasa.[5]
Noeng Muhadjir mamaknai pendidikan sebagai upaya terprogram, mengantisipasi perubahan sosial oleh pendidik-mempribadi membantu subyek-didik dan satuan sosial berkembang ke tingkat yang labih baik dengan jalan yang normatif juga baik.[6]
d.                  Pendidikan Islam
Menurut  Athiyah Al-Abrosyi, pendidikan Islam adalah mempersiapkan individu agar ia dapat hidup dengan kehidupan yang sempurna.[7]
Sedangkan Drs. Abu Tauhied, pendidikan Islam yaitu upaya mempersiapkan anak atau individu dan menumbuhkannya baik dari sisi jasmani, akal fikiran dan rohaninya dengan pertumbuhan yang  terus menerus agar ia dapat hidup dan berpenghidupan sempurna dan ia dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna bagi dirinya dan umatnya.[8]

Pengertian judul secara keseluruhan adalah Konsep Manusia Menurut Hasan Langgulung dan implikasinya Terhadap pendidikan Islam, maksudnya adalah konsep manusia dalam pemikiran Hasan Langgulung dan implikasinya terhadap pendidikan, maksudnya adalah kajian Hasan Langgulung mengenai manusia dalam tinjauan filsafat pendidikan dan pengaruhnya dalam bidang pendidikan Islam, dalam hal teori atau konsep maupun praktik pendidikan .

B.     Latar Belakang Masalah

Masalah pendidikan adalah masalah hidup dan kehidupan manusia. Dalam kehidupannya, manusia akan selalu memerlukan pendidikan agar ia mampu mempertahankan hidup atau dapat mencapai kehidupannya agar lebih baik.
Dalam sejarah manusia, pendidikan sebenarnya sudah dimulai sejak adanya makhluk yang bernama manusia, hal ini berarti bahwa pendidikan itu berkembang dan berproses bersama-sama dengan proses perkembangan dan kehidupan manusia.[9]
Usaha untuk menciptakan suatu sistem pendidikan yang dapat memindahkan nilai-nilai kebudayaan yang dikehendaki tersebut belum sepenuhnya dapat mencapai hasil yang maksimal serta memuaskan. Dengan kata lain, sistem pendidikan yang benar-benar mapan dapat diterima secara universal, bentuk nilai-nilai falsafi, serta serasi dengan fitrah manusia dan tatanan masyarakat masih belum ditemui.[10]
Hal itu terlihat dari kenyataan hasil yang telah dicapai oleh  pendidikan model Barat yang lebih menonjolkan aspek rasional manusia. Pendidikan yang awalnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemashlahatan manusia, telah menghasilkan kemajuan dibidang ilmu pengetahuan. Namun pendidikan model ini belum sepenuhnya mampu menyentuh kebutuhan hakiki dari manusia secara sempurna yaitu kebutuhan nilai-nilai kemanusiaan, baik dari aspek jasmani dan rohani.
Beberapa kemajuan dibidang teknologi dan ilmu pengetahuan yang telah mampu memberikan kehidupan lebih mudah dan nyaman tersebut, justru telah menimbulkan permasalahan baru, keraguan, keresahan dan rasa tidak aman, semakin dirasakan manusia. Bahkan kemajuan tersebut telah berubah manjadi bencana yang sewaktu-waktu dapat mengancam kelangsungan hidup manusia.[11]
Kelemahan-kelemahan seperti yang telah disebutkan diatas, bukan tidak disadari oleh pakar pendidikan barat. Tetapi usaha untuk mengatasi kelemahan itu belum ditemukan kelanjutannya. Hal ini telah mendorong para filosof untuk mencari kebenaran yang lain yang dapat dijadikan dasar bagi sistem  pendidikan yang pada akhirnya para ilmuan mau tidak mau kembali menoleh kepada hakikat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Para filosof dan ilmuwan dituntut untuk mencari jawaban dari beberapa pertanyaan prinsipil, pertanyaan itu, menurut Jacques Maritain, -- sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin--, mengarah kepada pemikiran filsafat pendidikan, yaitu siapa manusia, dimana dan kemana manusia akan pergi,apa yang menjadi tujuan   hidup manusa, semua hal ini dikaji dalam bentuk penciptaannya.[12]
Salah satu tema sentral yang dibahan filsafat pendidikan adalah pembahasan tentang masalah manusia. Hai ini disebabkan karena keterlibatan manusia dalam proses pendidikan sangatlah jelas. Dimana dalam pendidikan, manusia berperan sebagai subjek sekaligus objek pendidikan[13] Sementara itu, dalam dunia pendidikan, pemahaman tentang manusia sangatlah penting, As-Syaibani menyatakan bahwa penentuan sikap dan tanggapan tentang manusia sangat penting dan vital, tanpa sikap dan tanggapan yang jelas, pendidikan akan meraba-raba.[14] Apabila pemahaman tentang manusia tidak jelas, maka berakibat tidak baik pada proses pendidikan itu sendiri.
Persoalan yang kemudian muncul adalah cara pandang atau konsep manusia yang digunakan menentukan konsep-konsep lanjutan pada suatu disiplin ilmu atau aliran tertentu. Begitu juga apabila menelaah pendidikan, maka setiap aliran, teori atau sistem pendidikan berakar pada sebuah pandangan falsafah manusia yang digunakan.
Sebagai contoh apa yang terjadi dalam tradisi pendidikan di Barat yang berdasarkan pada filsafat positivistik sehingga pendidikan menjadi bebas nilai.manusia  dalam pendidikan dipandang sebagai objek yang tidak jauh berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Perbedaannya hanya dalam fungsi berfikir, kemudian dikatakanlah bahwa manusia adalah binatang yang berfikir. Kemudian pemikiran ini melahirkan pandangan dan sikap hidup materialisme. Puncak kepuasan manusia terletak pada pemuasan materi. Materialisme dan sekuler berjalan seiring dan berkelindan satu sama lain.[15]
Kesalahan pemahaman yang telah dilakukan ilmuwan dalam memandang manusia berakibat pada manusia itu sendiri. Karena pada kenyataannya tidak semua kehidupan manusia dapat dirasionalkan. Banyak bagian dari kehidupan manusia yang tidak dapat dirasionalkan yang hadir dalam kehidupan manusia seperti cinta, seni, kematian dan sebagainya.
Pandangan yang bersifat antroposentris ini jauh berbeda dengan pandangan Islam dalam melihat manusia dari segi hakikat jati diri substansi manusia. Manusia adalah makhluk yang mempunyai berbagai keistimewaan yang berbeda dengan makhluk lain. Manusia memiliki tiga dimensi dimensi yaitu dimensi jasmani, rohani dan roh.[16] Roh (bukan unsur rohani) menurut Hasan Langgulung, adalah unsur fitrah ketauhidan pada diri manusia.Tuhan memberi manusia potensi yang sejalan dengan sifat-sifat-Nya dalam kadar terbatas.[17] Aspek ruhani inilah yang tidak tersentuh oleh pendidikan yang berlangsung di Barat.
Dasar yang melandasi pemikiran pendidikan Islam adalah konsep filsafat pendidikan yang menyatakan bahwa segala yang  ada terwujud melalui proses penciptaan (creation ex nihilo) bukan terwujud dengan sendirinya. Konsep yang bersifat Antroporeligiocentris inilah yang mendasai konsep-konsep dasar pendidikan Islam lainnya, seperti tentang hakikat manusia, tujuan pendidikan yang kemudian akan mengarahkan kepada pelaksanaan pendidikan Islam.[18]
Memahami kondisi demikian, maka diperlukan konsep baru tentang manusia yang mempunyai landasan kuat dan jelas, sehingga manusia dipandang dan ditempatkan secara benar dalam arti sesungguhnya.  Untuk itu penulis, memfokuskan pada pemikiran Hasan Langgulung. Sehingga apabila dikaitkan dengan persoalan krisis kemanusiaan sekarang ini diharapkan didapatkan sebuah solusi alternatif dalam memecahkan permasalahan pendidikan Islam.
Hasan Langgulung memiliki latar belakang yang luas dalam bidang pendidikan dan psikologi. Beliau banyak menghasilkan karya dalam bidang ini. Dari karyanya antara lain  Manusia dan Pendidikan, suatu analisa pendidikan dan psikoolgiFalsafah pendidikan Islam (Terjemah), Beberapa Pemikiran tentang pendidikan Islam, dan lain-lain. Dari beberapa karya diatas terlihat bahwa Hasan Langgulung merupakan  seorang yang kompeten dan profesional dalam bidang ini.
Menurut   Hasan Langgulung pendidikan Islam dapat ditinjau dari dua segi, yaitu dari sudut padang masyarakat dan dari sudut pandang individu. Masyarakat memandang pendidikan sebagai pewarisan kebudayaan atau nilai-nilai budaya baik yang bersifat intelektual, keterampilan, keahlian dari generasi sebelumnya kepada generasi sekarang agar masyarakat tersebut terpelihara kelangsungannya hidupnya atau tetap memelihara kepribadiannya. Adapun dari segi individu pendidikan berarti upaya pengembangan potensi-potensi yang dimiliki individu yang masih terpendam agar teraktualisasikan secara kongkret, sehingga hasilnya bisa dinikmati individu dan masyarakat.[19]
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa pendidikan itu mempunyai fungsi ganda.. Pada sisi pendidikan berfungsi untuk memindahkan nilai-nilai menuju pemilikan nilai (internalisasi) untuk memlihara kelangsungan hidup (survive) suatu masyarakat dan peradaban.pada sisi yang lain pendidikan berfungsi untuk mengaktualisasikan fitrah manusia agar dapat hidup secara optimal, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat, serta mampu memikul tanggung jawab atas segala perbuatannya sehingga memperoleh kebahagiaan dan  kehidupan yang sempurna.
Dalam hal lain Hasan Langgulung mendifinisikan pendidikan Islam sebagai suatu proses spiritual, akhlaq, dan sosial yang berusaha membimbing manusia dan memberinya nilai-nilai prinsip dan teladan ideal dalam kehidupan yang bertujuan mempersiapkan   kehidupan dunia dan akhirat.[20]
Menurut Hasan Langgulung ada lima sumber nilai yang diakui dalam Islam,yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai sumber yang asal. Kemudian qiyas, artinya membandingkan masalah yang disebut oleh Al-Qur’an atau Sunnah dengan masalah yang dihadapi  umat Islam tetapi nash yang tegas dalam Al-Qur’an tidak ada. Kemudian kemashlahatan umum yang tidak bertentangan dengan nash. Sedangkan sumber kelima adalah ijma’ ulama dan ahli fikir Islam yang sesuai dengan sumber  dasar Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.[21]
Falsafah pendidikan Islam berasal dari falsafah hidup Islam mencakup kebenaran (truth) yang bersifat spekulatif dan praktikal yang menolong untuk menafsirkan tentang manusia, sifat-sifat ilahiyah-Nya, nasib kesudahannya,  dan keseluruhan hakikat (reality).ia didasarkan pada prinsip-prinsip tertinggi dan tidak berubah pada kesalahan bagi tingkah laku individu dan masyarakat.[22]

C.    Rumusan Masalah


1.      Bagaimana konsep manusia menurut Hasan Langgulung ?
2.      Apa implikasi konsep tersebut terhadap pendidikan Islam ?

D.    Alasan Pemilihan Judul

Dalam skripsi ini penulis mengangkat pemikiran seorang tokoh pendidikan kelahiran Rappang, Sulawesi Selatan, Indonesia yang tinggal dan mengajar di Universitas Kebangsaan Malaysia, adapun yang menjadi daya tarik penulis untuk mengangkat tema ini adalah :
1.      Hasan Langgulung adalah selain seorang  tokoh pendidikan Islam yang mempunyai  banyak pengalaman dalam bidang pendidikan Islam, Langgulung juga seorang tokoh pemikir pendidikan Islam kontemporer yang memiliki corak dan nuansa distingtif dengan pemikiran-pemikiran Pendidikan Islam pada era sebelumnya, hal ini disebabkan latar belakang dan cara berfikir Langgulung yang berusaha memadukan konsep pendidikan dari berbagai disiplin ilmu baik psikologi, filsafat pendidikan dan sosilogi .
2.      Selain itu, pemikiran Hasan Langgulung terkadang menimbulkan perdebatan dikalangan ahli pendidikan Islam, seperti konsep kebebasan manusia dalam pendidikan, konsep fitrah manusia, dan beberapa pemikiran Langgulung lainnya.
3.      Apabila dikaitkan dengan konteks pendidikan Islam kontemporer yang masih dalam “pencarian” jati dirinya. Konsep pemikiran Hasan Langgulung dapat menjadi sebuah wacana keilmuan yang perlu dikritisi dan bahkan dikaji kembali dalam aplikasinya pada realitas pendidikan Islam dan pendidikan di Indonesia pada umumnya

E.     Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan penelitian ini atau kajian terhadap pemikiran  Hasan Langgulung dilakukan dengan tujuan  :
1.            Untuk memahami konsep manusia menurut Hasan Langgulung. 
2.            Untuk mengetahui implikasi konsep tersebut terhadap pendidikan Islam ?
Dan terakhir kajian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi khazanah keilmuan Islam, khususnya bagi mereka yang concern terhadap persoalan-persoalan yang sangat fundamental dalam dunia pendidikan Islam.

F.     Telaah Pustaka

Kajian-kajian tentang manusia sudah sangat tua dan sangat banyak dilakukan oleh para pakar dan pemikir, setua kehidupan manusia itu sendiri, baik sejak zaman filosof Yunani, zaman Islam, hingga pada sekarang ini.
Kajian tentang manusia sebelumnya  antara lain telah dilakukan oleh Dr. Muhammad Yasir Nasution, dalam bukunya “Manusia menurut Al-Ghazali”, M. Yasir Nasution mengemukakan konsep Al-Ghazali tentang manusia, manusia adalah makhluk yang terdiri dari badan (fisik atau jasmani), jiwa dan al-ruh. Essensi ketiganya adalah jiwa. Jiwa dan badan mempunyai hubungan yang aksidental, pada saat hubungan keduanya terputus. Kedua unsur itu disatukan dalam al-nafs (jiwa). Jiwa bersifat immateri dan dinamis. [23]
Kajian tentang manusia sebelumnya telah dilakukan oleh Dr. H. Musa Asy’arie. Menurut Musa Asy’arie manusia disebutkan dalam al-Qur’an dalam berbagai bentuk suku kata seperti insan, dan basyar.  Kedua kata itu mempunyai hubungan yang erat dengan kedudukan manusia sebagai khalifah dan ‘abd. Insan sebagai realisasi dari khalifah dan basyar merealisasikan sifat ‘abd.[24]
Muhammad Syamsuddin, juga telah melakukan kajian tentang manusia dalam pandangan KH. A.Azhar Basyir, bahwa eksistensi manusia adalah berasal dari ruh Allah yang mempunyai substansi material (dari tanah) dan substansi ruhaniah (ruh ciptaan Allah). Individualitas diukur secara emperis dalam keterlibatannya dengan sesama manusia dan lingkungannya. Keberadaannya ditentukan oleh relasi sosial disekitarnya. Dalam relasi sosial, individu dibatasi oleh norma-norma yang sudah ada, dan mereka terinternsalisasi oleh sistem nilai yang melingkupinya sejak kecil sampai dewasa.[25]
Adapun kajian tentang pemikiran Hasan Langgulung dalam sepengetahuan penulis telah dilakukan oleh Drs. Mahfud Junaedi, yaitu Mahasiswa Prorgam Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1997 dengan thesisnya berjudul “ Pemikiran Pendidikan Kontemporer (Studi atas Pemikiran Hasan Langgulung)”
Dalam tesis itu kajian Hasan Langgulung tidak saja sebagai produk pemikiran namun juga sebagai proses. Selanjutnya tulisan ini menggali pemikiran Hasan Langgulung pada titik penekanan kajian filsafat pendidikan Hasan Langgulung, baik dalam hal cara berfikir (epistemologi), ontologis serta  dan implikasi wacana pemikiran Hasan Langgulung pada pendidikan dimasa yang akan datang. [26]
Yang menjadi perbedaan dalam kajian skripsi ini adalah, penulis akan menggali pemikiran Hasan Langgulung pada permasalahan yang lebih spesifik lagi yaitu pembahasan konsep manusia dan beberapa implikasinya terhadap pendidikan Islam.
Kemudian kajian lainnya terhadap Hasan Langgulung juga telah dilakukan oleh Subaidi, Mahasiswa Fakultas Agama Islam Universitas Cokroaminoto Yogyakarta dalam skirpsinya yang berjudul Konsep Pendidikan Islam menurut Hasan Langgulung (Tinjauan Filosofis). Dalam skripsi tersebut dikemukakan tentang hakikat pendidikan Islam. Konsep pendidikan Islam meliputi pengertian dan dasar-dasar pendidikan Islam, serta tujuan dan prinsi-prinsip pendidikan Islam. Sedangkan permasalahan tentang manusia hampir-hampir tidak dibahas sama sekali, yaitu terbatas pada nilai-nilai kemanusiaan dan kesatuan umat manusia.[27]
Dan terkahir ada tulisan dari Drs. Achmad Sudja’ie tentang pemikiran Hasan Langgulung tentang pendidikan Islam, yang isinya hampir sama yaitu pengertian pendidikan Islam, dasar-dasar pendidikan Islam, nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan Islam serta tujuan pendidikan Islam.[28]
Adapun yang menjadi perbedaan dalan skripsi ini adalah kajian manusia dilakukan secara  lebih mendalam dan komprehensif yakni pada hakikat manusia, proses penciptaan manusia,konsep fitrah dan seluruh permasalahan yang berkaitan dengan persoalan manusia serta implikasinya terhadap pendidikan Islam.

G.    Kerangka Teoritik

Untuk memudahkan dalam melakukan analisis kependidikan Hasan Langgulung tentang manusia dan melihat posisi pemikirannya diantara teori-teori pendidikan Islam yang ada, maka dalam landasan teoritik ini perlu dijelaskan telaah tentang manusia yang pernah muncul dalam teori pendidikan.
Konsep manusia sangat penting artinya di dalam suatu sistem pemikiran dan di dalam kerangka berfikir seorang tokoh intelektual atau pemikir. Konsep tentang manusia menjadi penting karena  ia termasuk bagian dari pandangan hidup seseorang.[29]

a.            Hakikat Penciptaan Manusia
         Penciptaan adalah proses mewujudkan gagasan dalam pernyataan. Penciptaan adalah suatu aktivitas yang sangat menentukan bagi adanya eksistensi. Eksistensi Tuhan sepenuhnya melekat pada penciptaan, karenanya dalam ciptaan Tuhan termuat eksistensi diri Tuhan. Kesempurnaan dan keteraturan serta keseimbangan yang terkandung dalam ciptaan Tuhan adalah merupakan wujud bagi kesempurnaan Tuhan. Sedangkan penciptaan bagi manusia adalah aktivitas yang menenukan eksistensinya di dunia ini. [30]
         Dalam Al-Qur’an penciptaan manusia disebutkan dengan memakai kata khalaqa yang artinya menciptakan atau pembentuk. kata  khalaqa menunjuk pada pengertian menciptakan sesuatu yang baru, tanpa ada contoh terlebih dahulu atau dapat juga menunjuk pada pengertian sesuatu ketentuan atau ukuran yang tepat.[31]
         Dalam Al-Qur’an manusia disebut dengan berbagai nama antara lain : al-basyar, al-insan, bani adam,al-ins, abdillah dan khalifatullah.[32] Dibawah ini akan diuraikan pengertian manusia dalam berbagai kata dan istilah yang dipakai dalam Al-Qur’an.
a)      Konsep Al-Basyar (                 )
Manusia dalam konsep al-basyar, dipandang dari pendekatan biologis pada hakikatnya tidak berbeda dengan makhluk lain yang terdiri dari unsur biotik lainnya walupun strukturnya berbeda.[33]
   Manusia memerlukan makanan dan mengalami pertumbuhan dan perkembangan dalam mencapai tingkat kematangan dan kedewasaan.selain itu manusia memerlukan pasangan hidup untuk melanjutkan keturunanya.
b)      Kinsep Al-Insan (                     )
Manusia sebagai  makhluk psikis (al-insan) mempunyai potensi rohani seperti fitrah, kalbu dan akal. Potensi itu menjadikan manusia sebagai makhluk yang mempunyai kedudukan tinggi dan berbeda dengan makhluk lainnya.[34] Apabila manusia tidak menjalankan fungsi psikisnya ia tidak ubahnya seperti binatang bahkan lebih hina. Selain itu manusia termasuk makhluk yang lalai, sehingga sering lupa akan tugas dan tangung jawabnya.[35] sehingga mengakibatkan manusia terjerumus dalam penderitaan hidup.
c)      Konsep Al-Nas (                      )
Manusia adalah makhluk sosial, ia diciptakan sebagai makhluk yang bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan wanita, kemudian berkembang biak menjadi suku bangsa untuk saling mengenal.[36]
Peranan manusia dititikberatkan pada upaya untuk menciptakan keharmonisan hidup bermasyarakat. Sedangkan msyarakat dalam ruang lingkup yang paling sederhana adalah keluarga, hingga keruang lingkup yang lebih luas yaitu antar negara dan bangsa.
d)      Konsep Bani Adam (                           )
Manusia selaku bani adam dikaitkan dengan gambaran peran Nabi Adam As. saat  awal diciptakan. Dikala Adam As akan diciptakan para malaikat seakan mengkhawatirkan  kehadiran makhluk ini.  Mereka memperkirakan dengan penciptaannya, manusia akan jadi biang kerusakan dan pertumpahan darah. Kemudian terbukti bahwa Adam As bersama istrinya Siti Hawa dikeluarkan karena terjebak hasutan setan.
Mengacu dari latar belakang penciptaannya, tampak manusia selaku bani Adam memiliki peluang untuk digoda setan.namun lebih dari itu konsep Bani Adam dalam bentuk menyeluruh menitikberatkan pada upaa pembinaan hubungan persaudaraan antara sesama manusia. Menyatukan visi bahwa manusia pada hakikatnya berawal dari nenek moyang yang sama, yaitu Nabi Adam As. dengan demikian  apapun latar belakang sosial kultural, agama, bangsa dan bahasa harus dihargai dan dimuliakan.[37]
e)      Konsep Khalifatullah  (           )
Hakikat penciptaan manusia dimuka bumi salah satunya adalah sebagai khalifatullah dalamhal ini Al-Qur’an menegaskan :



Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat:”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (Q.S. Al-Baqaroh : 30)

   Manusia sebagai khalifah Allah fi al-ardi menjadi wakil Tuhan di muka bumi, yang memegang mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi.[38]
   Sebagai wakil Tuhan, maka Tuhan telah mengajarkan kepada manusia tentang kebenaran-kebenaran dalam segala ciptaan-Nya, dan melalui pemahaman serta penguasaan terhadap hukum-hukum kebenaran yang terkandung dalam ciptaan-nya – semua yang da dalam alam ini – maka manusia dapat menyusun konsep-konsep serta melakukan rekayasa membentuk wujud baru dalam alam kebudayaan.
   Tugas kekhalifahan pada dasarnya dalah tugas kebudayaan yang berciri kreatif agar selalu dapat menciptakan sesuatu yang batru sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Manusia dianugerahkan kelebihan dan kemampuan dalam hal pengetahuan konseptual (berfikir), kemampuannya menerima pelajaran tentang nama-nam benda dan kemampuannya menegaskan nama-nama tersebut. Tujuannya adalah untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan hidup dimuka bumi ini.[39]
f)        Konsep Abdillah (                   )
            Kata ábd disamping mempunyai arti  budak, dalam pengertian negatif, ia juga mengandung pengertian yang positif, yaitu dalam hubungan antara manusia dengan penciptanya. Seorang hamba Tuhan artinya orang yang taat dan patuh terhadap perintah-Nya . Kata  ‘abid dalam Al-Qur’an dipakai untuk menyebut semua manusia dan jin.


“ Dan Aku tidak ciptakan jin dan manusia melaikan supaya mereka menyembah-Ku”(Q.S Adz-Zariyat:56).

            Kata “ibadah” diartikan sebagai sesuatu kegiatan penyembahan, atau pengabdian kepada Allah. dalam pengertian sempit, kata ibadah hanya menunjuk pada segala aktifitas pengabdian yang sudah digariskan oleh syariat Islam, baik bentuknya, caranya, waktunya serta syarat dan rukunnya.[40]
            Sedang dalam pengertian luas, ibadah tidak hanya terbatas pada hal-hal yang disebutkan diatas, namun mencakup segala aktivitas pengabdian yang ditujukan kepada Allah semata.
            Ibadah dalam Islam lebih merupakan amal saleh dan latihan spiritual yang berakar dan diikat oleh makna yang hakiki dan bersumber dari fitrah manusia. [41]
            Dari beberapa ayat Al-Qur’an diatas, dapat disimpulkan, bahwa hakikat penciptaan manusia  dimuka bumi sebagai khalifah Allah dan juga sebagai ‘abd Allah, bukanlah dua hal yang bertentangan, tetapi merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Kekhalifahannya adalah realisasi dari pengabdiannya kepada Tuhan yang menciptakannya. Kedudukan manusia sebagai khalifah dan ‘abd pada dasarnya merupakan kesatuan pembentuk kebudayaan. Kebudayaan dibentuk oleh adanya pemikiran terhadap alam sekitarnya dan pemahaman terhadap hukum-hukumnya yang kemudian diwujudkan dalam tindakan.[42]
           
b.            Kebebasan Manusia   
            Menurut Imam Al-Ghazali  perbuatan merupakan suatu gerak, apabila dihubungkan dengan perbuatan manusia terdiri atas gerak yang tidak disadari (al-thabi’iyat) dan gerak yang disadari (al-iradiyat). Perbuatan juga terdiri atas kedua bentuk tersebut. Perbuatan yang disadari ini disebut perbuatan bebas (al-ikhtiyari). Perbuatan semacam ini terjadi setelah melalui tiga tahap peristiwa dalam diri manusia, yaitu pengetahuan (al-‘ilm), kemauan (al-iradat), dan kemampuan (al-qudrat).  Adapun yang lebih dekat diantara ketiga tahap itu dengan wujud perbuatan adalah al-qudrat yaitu jiwa penggerak dari jiwa sensitif (al-muharrikat), yaitu makna yang tersimpan dalam otot-otot. Fungsi al-qudrat adalah menggerakan otot.
         Meskipun perbuatan manusia yang bersifat ikhtiyari tidak memperlihatkan kebebasan manusia dan efektivitasnya dalam perwujudan perbuatan-perbuatan itu. Perbuatan ikhtiyari senantiasa mempunyai prinsip, sarana dan tujuan.
            Dalam memilih perbuatan baik dari yang buruk memerlukan al-ta’yid atau penguatan dari Tuhan, yaitu bagian dari inayat dan ta’lif dari Tuhan. Disini Tuhan sangat berkuasa dalam menentukan wujud dan menentukan wujud perbuatan manusia, karena yang menciptakan gerak dan kekuasaan adalah dari Tuhan.
        
c.       Fitrah Manusia.
Kata “fitrah” berasal dari kata kerja (fi’il) fathara yang berarti “menjadikan”. Secara etimologis fitrah berarti : kejadian, sifat semula jadi, potensi dasar, kesucian. Didalam kamus munjid ditemukan bahwa fitrah mempunyai arti yaitu sifat yang menyifati segala yang ada pada saat selesai di ciptakan.[43]. firman Allah dalam  al-Qur’an :



“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas FITRAH Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan paa fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus;Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (Q.S. Al-Rum:30)

Sabda Rasulullah SAW :



“Tiap-tiap anak dilahirkan di atas fitrah. Maka ibu bapaknyalah yang mendidiknya menjadi orang yang beragama Yahudi,Nasrani dan Majusi. (H.R. Bukhari).

            Para ulama telah memberikan berbagai interpretasi tentang fitrah seperti yang tersebut dalam al-Qur’an dan al-Hadist diatas. Muzayyin menyimpulkan bahwa fitrah adalah suatu kemampuan dasar berkembang menusia yang dianugerahkan Allah kepadanya. Didalmnya terkandung berbagai komponen psikologis yang satu sama lain saling berkaitan dan saling menyempunakan bagi hidup manusia.[44]
         Salah satu  fitrah di antara sekian banyak jenis fitrah adalah fitrah beragama.  Dengan fitrah beragama itu manusia menerima Allah sebagai Tuhannya; atau dengan kata lain manusia dari asal kejadianya mempunyai kecenderungan beragama, sebab agma itu sebagian dari fitrahnya.

H.          Metode Penelitian

Segala kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan ilmiah,baik mengenai uraianb atau penyimpulan agar dapat dipertanggungjawabkan, maka diperlukan suatu metode.
Adapun metode yang digunakan dalam penulisan ini meliputi :
1.      Metode Pengumpulan Data
Untuk pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan dengan Library Reserach, yaitu pengumpulan bahan dari buku-buku, artikel, encyclopedi yang dipandang ada relevansinya sebagai bahan penulisan. Sehubungan dengan data diatas, maka metode yang digunakan adalah dokumentasi, datanya disebut data literatur.[45]
Sebenarnya sumber primernya adalah wawancara secara langsung dengan Hasan Langgulung, namun karena kendala teknis yang tidak bisa diatasi, yaitu dikarenakan Hasan Langgulung tinggal di Malaysia maka diganti dengan kajian terhadap buku-buku serta tulisan yang ditulis oleh Langgulung sebagai sumber primer. Buku-buku tersebut yaitu :
  1. Manusia dan  Pendidikan , Al Husna Zikra, Jakarta, tahun 1995.
  2. Asas-Asas Pendidikan Islam, Al-Husna, Jakarta, 2000
  3. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam PT. Al-Ma’rif, Bandung, 1996
  4. Peradaban dan pendidikan Islam, Al Husna Zikra, Jakarta, 1985
  5. Kreativitas dan pendidikan Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1991

Kemudian sumber sekunder adalah buku-buku lainnya yang menunjang kajian ini, antara lain :
  1. Filsafat Pendidikan Islam, karya M. Arifin, M.Ed, Bumi Aksara, Jakarta
  2. Falsafah Pendidikan Islam, Prof. Dr. Al-Toumy al-Syaibany, Bulan Bintang, Jakarta, 1975
  3. Pemikiran Pendidikan Islam, karya Drs. Muhaimin, MA dan Drs. Abdul Mujib, Trigenda Karya, Bandung, 1993
  4. Teologi Pendidikan, karya Dr. Jalaluddin, Rajawali Perss, Jakarta, 2000

2.            Metode Pengolahan Data
a)            Deskripsi
Deskripsi adalah menafsirkan dan menuturkan data-data yang ada, misalnya situasi yang dialami satu hubungan kegiatan, dan sikap yang nampak;  yaitu  dengan seteliti mungkin seluruh perkembangan, dengan peralihan-peralihan dan pengarh-pengaruh satu sama lain antara arti-arti, diuraikan secara lengkap dan teratur.[46]
b)            Analisis Data
Dalam menganalisis data penelitian ini menggunakan pendekatan Filosofis dan kritis, yaitu hasil dari perenungan yang mendalam terhadap permasalahan yang dibahas.  Dalam hal ini, Harry Scholfield mengemukakan bahwa analisis filosofis pada hakikatnya terdiri dari analisa linguistik dan analisa konsep. Yang pertama adalah untuk mengetahui arti  yang sesungguhnya dari sesuatu, sedangkan analisa yang kedua adalah untuk  menganalisa kata-kata yang dapat dikatakan kunci atau pokok yang mewakili suatu gagasan atau konsep.[47]
c)            Teknik Analisis
Sedangkan teknik analisis yang digunakan adalah teknik komparatif.[48] Metode ini digunakan untuk membandingkan pemikiran Hasan Langgulung tentang manusia dan implikasinya dalam pendidikan dengan pemikiran para ahli pendidikan pada permasalahan yang sama.
d)           Induksi dan Deduksi
Sementara itu, metode analisis induktif digunakan dalam rangka merumuskan kesimpulan atas pemikiran Hasan Langgulung yang berkaitan dengan manusia, sehingga diperoleh gambaran yang jelas pemikirannya tentang manusia.
Untuk mengambil kesimpulan, dipergunakan tata fikir reflektif, yaitu berfikir yang prosesnya mondar-mandir antara yang empirik dengan yang abstrak.[49]

I.             Sistematika Pembahasan

Untuk memudahkan dalam eksplorasi berfikir penulisan ini dibagi menjadi beberapa bab yang satu sama lain saling berkelindan erat dari segi pembahasan.
Bab I : Pendahuluan, meliputi A) penegasan istilah, B) latar belakang masalah, C) rumusan masalah, D) alasan pmemilihan judul, E) tujuan dan kegunaan penelitian,  F) telaah pustaka, G) kerangka teoritik, H) metode penelitian, dan I) sistematika pembahasan.
            Bab II : Riwayat hidup singkat Hasan Langgulung meliputi: A) kelahiran, dan keluarga, B) Riwayat pendidikan Islam dan aktivitas Hasan Langgulung, C) Karya-karya Hasan Langgulung
Bab III : Konsep manusia menurut Hasan Langgulung meliputi:  A) Manusia sebagai khalifatullah di bumi, meliputi : a) Fitrah Manusia, b) Pemenuhan kebutuhan jasmani dan ruhani, c) kebebasan kemauan, dan d) akal pikiran.
B) Kejadian Manusia dan Tujuan Hidupnya, C) Sifat-sifat Asal Manusia, D) Konsep Amanah, E) Perjanjian Antara Tuhan dan Manusia (Mithaq)
Bab IV : Implikasi Konsep Manusia Menurut Hasan Langgulung Terhadap pendidikan Islam, meliputi : A) Manusia sebagai khalifah Allah di bumi dan pengaruhnya pada pendidikan Islam, meliputi : a) Fitrah manusia dan implikasinya terhadap pendidikan Islam, b) kebutuhan jasmani dan rohani dan implikasinya terhadap pendidikan Islam, c)Kebebasan manusia dan implikasinya terhadap metode pendidikan Islam, d) potensi akal dan implikasinya terhadap pendidikan Islam.
B) penciptaan manusia dan implikasinya terhadap pendidikan Islam, C) Konsep Amanah dan implikasinya terhadap pendidikan Islam, D) Kebebasan Manusia dan implikasinya terhadap pendidikan Islam
                        Bab V Penutup, yaitu Kesimpulan.
BAB  III
PEMIKIRAN HASAN LANGGULUNG TENTANG MANUSIA
1.      Manusia sebagai Khalifah Allah  di atas bumi
            Di antara pemikiran Hasan Langgulung tentang manusia adalah kekhalifahan manusia di muka bumi. Dalam pembahasannya Langgulung mengkaitkan dengan proses penciptaan manusia dan kebebasan manusia, karena dari penciptaan dan kebebasan manusia inilah memungkinkan manusia memegang amanah kekhalifahan.
            Sebelum penulis menguraikan pemikiran Hasan Langgulung tentang kekhalifahan manusia di bumi, penulis akan membahas secara mendalam tentang  arti, makna, maksud dari kata khalifah ini. Pembahasan di sini dengan cara  memaparkan dan mengkomparasikan pendapat beberapa ahli untuk  penulis analisis. Kemudian analisis  tersebut  penulis jadikan pendukung atas pemikiran dan argumentasi Hasan Langgulung tentang kekhalifahan manusia di bumi. Mungkin timbul pertanyaan, mengapa pendapat beberapa ahli penulis jadikan pendukung atas pendapat Hasan Langgulung tentang hal tersebut ? Jawabannya adalah karena dalam penulisan manusia sebagai khalifah di bumi menurut Hasan Langgulung hanya bersifat deskriptif, memaparkan apa adanya pendapat Hasan Langgulung tentang kekhalifahan  tersebut, tidak untuk membuat penilaian dan evaluasi.
            Fokus utama Hasan Langgulung ketika membahas kekhalifahan manusia di bumi adalah  Al-Quran surah al-Baqarah ayat 30. Bahwa dijelaskan manusia menempati kedudukan yang istimewa dalam alam semesta ini yaitu sebagai khalifah di atas bumi .
Firman Allah yang berbunyi


“Ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat” Aku akan menciptakan Khalifah di atas bumi ini. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi, orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau danmenyucikan Engkau ?”Tuhan berfirman:” Sesuungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. Al-Baqarah : 30)

            Kata-kata khalifah diambil dari kata kerja “khalafa”  yang bermakna menggantikan orang lain.  Berkenaan dengan hal ini ayat diatas mengandung tiga pengertian. Pertama,  mengatakan bahwa umat manusia sebagai makhluk yang menggantikan makhluk yang telah menempati bumi ini, yaitu Jin. Menurut Bintu Syathi’ ayat ini bersama ayat-ayat penciptaan Adam yang lain menjelaskan bahwa sebelum Adam telah ada beberapa jenis makhluk bukan manusia. Diantaranya adalah malaikat yang tidak dapat kita ketahui sosoknya dan tidak bisa diteliti dengan ilmu pengetahuan. [50]
            Pendapat kedua,  mengatakan bahwa khalifah hanya bermakna kumpulan manusia menggantikan yang lain.







Seperti makna ayat Al-Quran :                    
           



 “ Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingat(Nya).” (Q.S. An-Naml: 62)
           
            Pendapat ketiga, memberi proses penggantian itu makna yang lebih penting. Khalifah itu bukan sekedar seorang menggantian orang lain, tetapi ia (manusia) adalah pengganti Allah. Allah datang lebih dulu, khalifah bertindak dan berbuat sesuai dengan perintah Allah. inilah pendapat sebagian besar ulama tafsir seperti Razi, Tabari, Tabathaba’im Qurtubi dan lain-lain[51]
Menurut Hasan Langgulung manusia yang dianggap sebagai khalifah Allah tidak dapat memegang tanggung jawab sebagai khalifah kecuali kalau ia dapat melengkapi dengan potensi-potensi yang membolehkannya berbuat demikian. Al-Quran  menyatakan bahwa ada empat ciri yang dimiliki manusia sebagai khalifah yaitu : [52]
  1. Pada fitrahnya manusia adalah baik semenjak dari awal. Ia tidak mewarisi dosa Adam As. meninggalkan syurga.
  2. Al-Qur’an mengakui kebutuhan-kebutuhan biologikal yang menuntut pemuasan. Badan hanyalah satu unsur ke mana ditambahkan sesuatu dengan yang lain yaitu Roh. Interaksi antara badan dan roh menghasilkan khalifah.
  3. Kebebasan kemauan, yaitu kebebasan untuk memilih tingkah lakunya sendiri. Khalifah  itu menerima dengan kemauan sendiri amanah yang tidakd dapat dipikul oleh makhluk-makhluk lain.
  4. Aqal, yang membolehkan manusia membuat pilihan yang betul dan salah.
a)            Fitrah Manusia
            Salah satu ciri-ciri fitrah menurut Langgulung  ialah bahwa mengakui Allah sebagai Tuhan, dengan kata lain manusia itu adalah mempunyai kecenderungan agama, sebab agama itu sebahagian dari fitrahnya. Islam adalah naluri dari asal manusia, manusia sebenarnya lahir bukan dengan  Islam, tetapi ia memiliki potensi untuk menjadi Islam. Jadi sebabnya orang yang tidak percaya kepada Tuhan bukanlah sifat dari asalnya, tetapi ada kaitannya dengan alam sekitarnya.
            Pandangan  yang optimistik terhadap manusia ini betul-betul bertentangan dengan pandangan pessimistik berbagai ahli psikologi dan biologi yang menekankan adanya unsur jahat yang berasal dari bakat manusia. Adalah jelas bahwa Agressi itu merupakan pendorong yang kuat pada binatang-binatang buas. Bila manusia dianggap berasal dari hewan maka ia harus memiliki dorongan agressi. Lorenz (1970) -- seorang ahli etologi Austria – membuktikan bahwa berkelahi merupakan suatu naluri yang wujud pada hewan dan manusia, dan dorongan ini ditujukan kepada makhluk sejenis. Jadi binatang buas menurut Lorenz sangat berbeda dengan khalifah Allah sebab masing-masing memiliki kuasa-kuasa (faculty) asal. Konsep fitrah berbeda dengan konsep Kristen tentang dosa asal.
            Menurut Langgulung konsep fitrah dalam Al-Qur’an juga bertentangan dan suatu teori lain yang menganggap sifat-sifat asal manusia itu netral. Mazhab behaviorisme dalam psikologi beranggapan manusia bukan baik dan bukan juga jahat semenjak lahir. Dia adalah tabula rasa, putih seperti kertas. Lingkunganlah yang memegang peranan membentuk pribadinya. Skinner berpendapat manusia hanya mewarisi berbagai gerak refleks. Agama dan berbagai aspek tingkah laku dapat diterangkan menurut faktor-faktor lingkungan.
            Walaupun Islam, lanjut Langgulung, mengakui pengaruh lingkungan atas perkembangan fitrah, seperti kata sebuah Haditsh yang bermakna “Setiap anak-anak dilahirkan dengan fitrah. Hanya ibu bapaknyalah yang menyebabkan ia menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. Tetapi hal ini tidak bermakna bahwa manusia itu menjadi hamba kepada lingkungan, seperti pendapat ahli-ahli behaviorisme. Lingkungan memang memegang peranan penting dalam pembentukan tingkahlaku seseorang, tetapi Al-Qur’an tidak menganggapnya satu-satunya faktor, isteri Fir’aun di Mesir dahulu kala adalah seorang yang beriman kepada Allah walaupun lingkungannya penuh dengan korupsi dan penyelewengan.[53]
            Sedangkan menurut Muzayyin [54] fitrah beragama mempunyai komponen-komponen potensial sebagai berikut :
b)      Kemampuan dasar untuk beragama Islam (al-din al-qayyim), dimana faktor iman merupakan intinya beragama manusia. Muhammad Abduh, Ibu Qayyim, Abu A’ala Al-Maududi, Sayyid Qutb berpendapat sama bahwa fitrah mengandung kemampuan asli untuk beragama Islam, karena Islam adalah agama fitrah peranan heriditas (keturunan) dari bapak-ibu yang menentukan keberagamaana anaknya.
c)      Nawahib (bakat) dan “Qabiliyyat”(tendensi atau kecendrungan) yang mengacu kepada keimanan kepada Allah. Dengan demikian, maka fitrah mengandung komponen psikologis yang berupa keimanan tersebut. Karena iman bagi seorang mukmin merupakan daya penggerak utama dalam dirinya yang memberi semangat untuk selalu mencari kebenaran hakiki dari Alllah.
d)     Dalam fitrah tidak terdapat komponen psikologis apapun, karena fitrah diartikan segabai kondisi jiwa yang suci bersih yang reseptif terbuka kepada pengaruh eksternal, termasuk pendidikan. Kemampuan untuk mengadakan reaksi atau responsi (jawaban) terhadap pengaruh luar tidak terdapat di dalam fitrah.

b)            Pemuasan Kebutuhan Jasmani dan Ruhani
Namun selain fitrah ini pada manusia juga wujud kebutuhan-kebutuhan biologis, seperti kebutuhan kepada air, makanan dan sexual. Ini adalah sebagian dari tubuh manusia yang terbuat dari tanah. Dalam al-Qur’an disebutkan :






“Yang membuat sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah” (Q.S. As sajadah : 7)

Kebutuhan-kebutuhan ini serupa dengan kebutuhan-kebutuhan yang juga ada pada hewan. Dalam berbagai ayat dan hadits ada bukti-bukti yang menunjukan Islam bukan  hanya tidak mengakui penahanan kebutuhan-kebutuhan asal, tetapi juga menentang tindakan-tindakan yang akan membawa kepada pengobahan bentuk luar manusia. Seperti larangan menggunakan ukiran badan (washm) dan memanjangkan rambut dengan rambut palsu (wasl). Dorongan-dorongan asal mestilah dipuaskan. Al-Qur’an memerintahkan manusia makan dan minum. Sebab ditekankan pemuasan dorongan-dorongan asal itu adalah karena akan dimainkan oleh khalifah. Peranan yang dipegang oleh khalifah tidak mudah. Sebenarnya dia tidak memainkan peranannya jika ia selalu terancam dan berhadapan dengan bahaya. Makan dan minum adalah penting bagi wujudnya sebagai individu sedang dorongan seksnya sangat penting bagi kelanjutan hidup manusia.
            Menurut Hasan Langgulung jasmani tempat melekatkanya kebutuhan-kebutuhan bukanlah itu saja. Badan hanyalah salah satu unsur ke mana ditambahkan lagi sesuatu yang berlainan. Interaksi roh dengan badan menghasilkan khalifah. Roh inilah unsur kedua yang penting yang membedakan khalifah itu. Kata roh digunakan dalam Al-Qur’an, atau seorang malaikat, atau terutama Jibril atau Isa, atau makhluk spiritual yang bersatu dengan badan.[55]
            Al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa kehidupan manusia bergantung pada wujudnya roh di dalam badannya. Hilangnya roh dari badan bermakna mati. Tentang bagaimana bentuk roh itu, dicegah oleh Al-Qur’an mempersoalkannya yaitu:


“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah : “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”(Q.S. Al-Isra : 85)

Tetapi bagaimana roh itu bersatu dengan badan yang kemudian membentuk manusia yang menjadi khalifah itu.


Firman Allah dalam Al-Qur’an :



“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.(Q.S. AL-Hijr: 29)

            Menurut Musa Asy’ari pengertian roh sangat sulit didefinisikan karena ruh bersifat spiritual dan berkaitan dengan hal yang immaterial. Berbeda dengan jasad yang bisa diraba, diukur dan ditimbang.[56]      
            Tingkah laku manusia adalah akibat dari interaksi roh dan badan. Walaupun manusia mempunyai roh dan badan, tetapi ia dipandang sebagai suatu pribadi yang terpadu. Tingkahlaku tak dapat dikatakan berkenaan dengan roh saja atau badan saja. Bersembahyang dan naik haji yang biasa dianggap bersifat kerohanian tidak dapat dilaksanakan tanpa kerjasama dengan badan dengan cara tertentu   sebaliknya kepuasan kebutuhan-kebutuhan biologis tak mungkin berlaku tanpa turut sertanya roh. Khalifah yang memiliki fitrah yang baik tidak dilaknati bila ia memuaskan kebutuhan-kebuthannya, malah ia harus berbuat demikian agar ia dapat mencapai kedudukannya sebagai khalifah. Pemuasan kebutuhan-kebutuhan dengan cara ini, tidak bertentangan dengan fitrahnya, kedua-duanya boleh berjalan bersamaan.[57]

c)      Kebebasan kemauan
            Aspek ketiga pada sifat-sifat manusia, sesudah fitrah dan roh itu, ialah kebebasan kemauan, yaitu kebebasan untuk memilih tingkah lakunya sendiri.
            Berbicara tentang kebebasan manusia, maka persoalan yang muncul antara lain adalah :
a.       Apa yang dimaksud dengan kebebasan ? Apakah batas-batas yang boleh dicapai oleh kebebsan manusia ?
b.      Sejah mana kebutuhan individu dan masyarakat  kepada kebebasan ini ?
c.       Apakah syarat-syarat yang harus dipenuhi agar supaya kebebasan itu dapat diterima ? Dan prinsip-prinsip apakah yang patut menjadi dasarnya ?
            Menurut Prof. Dr. Omar  El-Toumy El-Syaibany, Kebebasan  dalam pengertian umum berarti :
”Kemerdekaan dan kebebsan dari segala belenggu kebendaan dan kerohanian yang tidak sah yang terkdang dipaksakan kepada manusia, tanpa alasan yang benar, pada kehidupan sehari-hari, yang menyebabkan ia tidak sanggup menikmati hak-haknya yang wajar : dari segi sipil, agama, pemikiran, politik, sosial dan ekonomi”.[58]

            Menurut definisi diatas maka jelaslah bahwa kebebasan  disini adalah memberikan keleluasaan yang wajar kepada manusia dalam berbuat, berkativitas dalam kehidupannya sehari-hari. Kemerekaan diatas masih tetap bersifat nisbi (relative). Sebab manusia itu senantiasa tunduk pada batas-batas waktu dan tempat dimana ia hidup. Juga karena itu adalah manusia yang memiliki kekuatan jasmani dan akal yang terbatas pula. Disinilah tidak berlaku kebebasan mutlak pada manusia.
            Kebebasan merupakan bagian yang tidak terpisah dari hak-hak tabi’i (natural) yang sepatutnnya dinikmati oleh manusia untuk mencapai kesempurnaan manusia, kehormatan, kebahagiaan dan kesejahteraannya. Diantara hak-hak tabi’i yang paling utama adalah hak untuk hidup, hak untuk bebas, hak untuk mewakili, hak untuk memperoleh ketentraman, hak untuk mendapatkan persamaan dan keadilan dan lain-lain.
            Kebebasan manusia bukanlah kebebasan mutlak dari segala belenggu, dimana ia  sanggup berbuat dengan sekehendaknya dalam masa dan tempat yang dikehendakinya. Sebab kebebasan ini tidak berlaku kecuali dengan melibatkan kebebasan orang lain dan kepentingan masyarakat. Kebebasan   yang baik adalah kebebsan yang bertanggung jawab, tidak membahayakan orang lain dan berjalan sesuai dengan nilai-nlai,sistem-sistem, dan peraturan masyarakat yang adildengan akal dan logika.
            Islam mewajibakan orang Islam berusaha keras untuk memperoleh kebebsan, berusaha untuk melepaskan diri dari belenggu perhambaan dan menyelematkan diri dari penganiyaan. Firman Allah dalam Al-Qur’an :




Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (Q.S. Al-Haj: 39-40)

            Menurut Hasan Langgulung kemerdekaan yang dimiliki oleh manusia tidaklah mutlak. Malah adanya ia sebagai khalifah Allah sudah cukup untuk menafikan wujudnya kebebasan mutlak. Manusia yang memiliki kebebasan kemauan tidak dapat menentukan untuk dirinya sendiri kuasa-kuasa asal apapun yang dimilikinya. Setiap manusia memiliki ajal yang terbatas, tak dapat ia memanjangkan atau memendekannya. Tetapi sebaliknya, sebab ia adalah khalifah Allah maka ia mengangkat dirinya dari segala macam penghambaan kecuali kepada Allah.[59]
            Dalam hal kebebasan Bintu Syathi membagi kedalam beberapa macam, antar lain kebebasan dalam arti umum sebagai lawan kata perbudakan, kebebasan akidah, lalu kebebasan berfikir serta pendapat, dan akhirnya kebebsan berkehendak. Kebebasan berkehendak adalah unsur yang paling sullit dalam masalah kebebsan. Karena kebebasan ini adalah amanat kemanusiaan yang dibawa manusia dan dialah yang ditunjuk sebagai khalifah di bumi. [60]
Kebebasan kehendak, lanjut Binstu Syathi adalah didasari  oleh pemahaman kontekstual dan linguistik yang ketat yaitu kata (iradat), kehendak Allah berbeda dengan kehendak makhluk. Kehendak manusia memerlukan usaha dan pilihan bebas. Adapun keterpaksaan, adalah dalam hal kepastian nasib akhir dan itupun sejalan dengan yang kita kehendaki dan pilih. Keputusan Allah yang adil dalam hal kepastian nasib kita itu mengikuti pilihan kita sendiri, sebelum menjadi keputusan yang tak terelakkan. Tanpa kebebasan seperti ini, sia-sialah pengutusan para rasul, dan hilanglah kemampuan manusia untuk menjalankan keharusan amanah-nya dalam kehidupan ini.[61]
Kemudian sejauhmana kebutuhan manusia kepada kebebasan harus dilihat dari berbedanya derajat kesadaran manusia itu sendiri  terhadap kebutuhannya terhadap kebebasan itu. Sebagai perbandingan orang yang hidup dalam masyarakat yang membesan warganya secara umum tentu lebih menyenangkan apabila dibandingkan dengan masyarakat yang hidup dalam kungkungan. Perasaan terkungkung (depressed) tentunya akan dirasakan apabila ia melihat mayarakat yang lain lebih bahagian dengan kebebasan yang dimilikinya.
Pentingnya kebebasan bagi manusia adalah jalan yang benar untuk memperoleh kebahagiaan. Dengan adanya kebebasan maka tercipta semangat dan kreativitas manusia, serta ia dapat mengembangkan daya ciptanya dengan baik[62]
Menurut Omar Al-Toumy Al-Syaibani, prinsip-prinsip yang mendasari kebebasan  adalah sebagai berikut:
            Prinsip pertama, Prinsip keadilan dan persamaan, kebebasan tidak mungkin terlaksana  tanpa adanya rasa keadilan dan persamaan.
            Prinsip kedua, kebebasan yang disertai rasa toleransi, lemah-lembut, persaudaraan, saling kasih mengasihi tetapi tegas, kontrol dan adanya kekuatan undang-undang.
            Prinsip ketiga, kebebasan yang disertai dengan adanya harga diri, apabila harga diri manusia tidak dihormati maka ia akan merasa terhina. Dengan harga diri inilah akan muncul segala keuatamaan dan kebaikan, dan dengan iru akan menghilangkan segala kejahatan dan dosa.
            Prinsip keempat, kebebasan yang menyelaraskan antara individu dan masyarakat, menggabungkan antara kemashlahatan anatara kemashlahatan individudan kemashlahatan masyarakat. Antara keduanya dianggap memiliki kekauatan yang saling bertalian lengkap melengkapi satu sama lain, sehingga ia dapat menjalankan kebebsannya dengan menghormati kebiasan masyarakat sekitanya.
            Prinsip kelima, kebebasan individu, menurut Islam adalah kebebasan setiap sistem atau aturan yang masuk akal, akan berakhir manakala bermula kebebasan orang lain.  Kebebasan sama sekali tidak bermakna apabila manusia berbuat apa yang ia inginkan dan meninggalkan apa yang tidak ia inginkan, apabila ia mengukung kebebsan orang lain demi kebebasan dirinya sendiri.
            Prinsip keenam, kebebasan tidak dapat terlaksana kecuali dalam rangka agama, akhlak, tanggung jawab, akal dan keindahan.[63]

d)                 Akal pikiran
            Ciri terakhir dari kekhalifahan manusia yaitu ‘aql yang membolehkan manusia membuat pilihan antara yang baik dan buruk yang benar dan yang salah. Pandangan Islam tentang akal adalah merupakan potensi manusia yang paling penting. Itulah yang mendasari pentingnya akal dalam memahami rukun iman. Dalam Al-Qur’an kata ‘aqal dengan berbagai bentuknya banyak disebut, seperti kata ta’qilun/ya’qilun, terdapat sebanyak 46 ayat, kemudian 14 ayat yang menyebutkan kata tatafaqqarun, 13 ayat yang menyatakan yafqahum. Ayat-ayat ini menganjurkan untuk berfikir atau peringatan bagi orang yang berfikir.[64]
Kata  ‘Aql tidak pernah muncul dalam Al-Qur’an sebagai kata benda abstrak (masdar). tetapi sebagi kata-kata kerja, dengan kerbagai bentuknya. Semuanya menunjukkan aspek pemikiran pada manusia, seperti surat diatas (ta’qilun).[65]
Keberadaan akal sangat dihargai oleh Allah, dalam hal ini firman Allah dalam Al-Qur’an :





“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang Allah turunkan bagi manusia,dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan bumi, sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (Q.S. Al-Baqarah : 164)

Salah satu ciri-ciri akal adalah keahlian mengamati sesuatu yang bermakna, memahami dan menggambarkan sebab-sebab dan akibat sesuatu. Diantara  fungsi akal adalah mencipta yang berpangkal pada berfikir, tetapi lebih tinggi dari itu adalah dengan melalui pengamatan dengan melibatkan unsur  yang disebut daya kreativitas (creativity).
            Berakal menurut Hasan Langgulung, bukan sekedar kecerdasan tetapi kesanggupan membedakan yang baik dari yang buruk dengan memikirkan kejadian langit dan bumi. Sedangkan fungsi akal adalah mencegah manusia supaya jangan menghancurkan diri sendiri. Hal inilah yang belum dikembangkan  oleh pendidikan modern.[66]
            Tantangan yang dihadapi oleh pendidikan modern ialah mengembangkan aspek akal dengan maksud untuk mencegah kecenderungan manusia untuk merusak. Bagaimana pendidikan Islam memberikan solusi cara mendidik dan mengembangkan hati nurani ini ?
            Islam menurut Hasan Langgulung memberikan jawaban yaitu dengan ihsan, Rasulullah saw. Menjelaskan arti Ihsan ialah “bahwa engkau menyembah Allah seperti engkau melihat Dia, sebab kalau engkau tidak melihat Dia niscaya Dia melihat engkau”. Itulah cara mengembangkan hati nurani (super-ego). Yaitu bahwa segala tingkah laku (behavior) kita berada dibawah pengawasan Allah S.w.t.[67]   

B.                 Kejadian Manusia dan Tujuan Hidupnya
Hasan Langgulung menjelaskan kejadian manusia dan tujuan hidup manusia dengan  berdasarkan firman  Allah dalam Al-Quran yang berbunyi :


 “ Dan Aku tidak  menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Q.S. ad-Dzariat : 56)

Kemudian dalam surah lain yang berbunyi  :



“(yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu: tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu”(Q.S. Al-An’am :102)

Dari dua ayat diatas dapat diambil pengertian, Pertama, bahwa menyembah dalam dua ayat Al-Quran diatas tidak dimaksudkan sebagai upacara sembahyang yang biasa kita fahami. Jauh lebih luas dari itu yang meliputi segala tingkah laku kita. Ibadah dalam pengertian luas meliputi segala gerak gerik kita. Jadi Ibadah dalam arti luas inilah tujuan kita diciptakan, atau tujuan hidup kita. Seperti ayat yang selalu kita baca  :”Sesungguhnya sembahyangku, ibadah hajiku, hidupku, dan matiku adalah untuk Allah, Tuhan seru sekalian Alam”.
 Jadi ibadat dalam pengertiannya yang luas meliputi seluruh gerak gerik kita. Jadi ibadat dalam pengertian luas inilah tujuan kita diciptakan, atau tujuan hidup kita. [68]
Manusia adalah makhluk Allah SWT merupakan hakikat atau intisari terdahulu dari wujud dirinya. Hakikat itu merupakan hakikat yang pertama dan utama, karena tanpa diciptakan manusia tidak akan ada di muka bumi ini. Manusia diciptakan berupa kesatuan substansi tubuh (jasmani) sebagai bentuk dengan substansi roh (jiwa) sebagai isi. Kedua substansi itu berpadu sebagai sebaiknya kejadian atau ciptaan yang sempurna, melebihi semua jenis hewan dan makhluk hidup lainnya yang diciptakan-Nya menjadi penghuni bumi. Dengan kata lain adanya manusia bukan adanya sendiri, tetapi karena diadakan, yang hanya sungguh-sungguh manusia dalam kemanunggalan tubuh dan jiwanya.[69]
Syahminan Zaini menjelaskan tentang penciptaan manusia melalui beberapa tahap yaitu : [70]
1.      Permulaan dijadikan Allah seorang manusia (Adam), sesudah itu baru dijadikan Allah istrinya dari bahan yang sama. Dari kedua manusia inilah dikembang-biakan keturunannya yang amat banyak. Dalam Al-Qur’an disebutkan :




“Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhanmu, yang telah menjadikan kamu dari seorang  diri, dan daripadanya Allah menjadikan istrinya, dan daripada keduanya Allah memperkembang-biakan laki-laki an perempuan yang banyak ....(Q.S. An-Nisa’:1)

2.      yang mula-mula dijadikan Allah dari manusia itu adalah  jasadnya yang dijadikan-Nya daripada tanah. Allah berfirman :



“yang telah menjadikan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, dan yang memulai menjadikan manusia dari tanah” (Q.S. Al-Hijr:28)

3.      Setelah kejadian jasad ini sempurna barulah ditiupkan oleh Allah roh dari pada-Nya. Firman Allah dalam Al-Qur’an :



“Maka apabila telah Aku sempurnakan dia dan Aku tiupkan padanya roh dari (bikinan)-Ku, hendaklah kamu (malaikat) tunduk, sujud kepadanya”(Q.S. Al-Hijr”29)

Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, Al-Qur’an berbicara tentang penciptaan manusia dalam dua tahap, pertama, yaitu tahap ghaib (tak terlihat), yang terjadi di zaman primordial atau azali, dan hanya diketahui melalui pengetahuan wahyu. Pada tahap ini manusia diciptakan dari tiada (creatio ex nihilo), dari substansi organik yang rendah dengan sebutan tanah liat (tin) dan lumpur (turab) dan dari tanah liat yang gelap kemudian dibentuk sempurna, Tuhan meniupkan kepada-nya ruh-Nya. Sedangkan tahap selanjutnya, yaitu tahap yang disebut proses biologis alami, yaitu manusia sendiri dapat mengetahuinya melalui pengalaman atau pengetahuan ilmiah.[71]

3. Setelah kejadian jasad ini sempurna barulah ditiupkan oleh Allah roh dari pada-Nya. Firman Allah dalam Al-Qur’an :





“Maka apabila telah Aku sempurnakan dia dan Aku tiupkan padanya roh dari (bikinan)-Ku, hendaklah kamu (malaikat) tunduk, sujud kepadanya”(Q.S. Al-Hijr”29)

Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, Al-Qur’an berbicara tentang penciptaan manusia dalam dua tahap, pertama, yaitu tahap ghaib (tak terlihat), yang terjadi di zaman primordial atau azali, dan hanya diketahui melalui pengetahuan wahyu. Pada tahap ini manusia diciptakan dari tiada (creatio ex nihilo), dari substansi organik yang rendah dengan sebutan tanah liat (tin) dan lumpur (turab) dan dari tanah liat yang gelap kemudian dibentuk sempurna, Tuhan meniupkan kepada-nya ruh-Nya. Sedangkan tahap selanjutnya, yaitu tahap yang disebut proses biologis alami, yaitu manusia sendiri dapat mengetahuinya melalui pengalaman atau pengetahuan ilmiah.
Senada dengan Langgulung, Muslim Ibrahim menjelaskan tujuan diciptakannya manusia adalah untuk :
a)      Manusia sebagai hamba Allah (‘abdullah)
Yaitu dengan cara mengabdi kepada Allah SWT (Q.S. 51:56). Sebagai hamba Allah, manusia diwajibkan beribadah kepada Allah, dalam arti selalu tunduk dan taat atas perintah-Nya guna mengesakan dan mengenal-Nya sesuai dengan petunjuk yang telah diberikannya.
Ibadah mengandung dua pengertian, yaitu pengertian khusus dan pengertian umum. Dalam pengertian khusus, ibadah adalah melaksanakan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara hamba dan Tuhannya yang tata caranya ditur secara terperinci di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedang ibadah dalam arti luas adalah aktivitas yang titik tolaknya ikhlas dan ditujukan untuk mencapai ridha Allah berupa amal saleh.[72] Dari segi sasarannya, ibadah dapat diklasifikasikan atas tiga macam, yaitu ibadah person, ibadah antarperson dan  ibadah sosial.[73]
b)      Manusia Sebagai Khalifatullah
Kehidupan manusia di dunia adalah sebagai wakil Allah SW#T (Q.S. 2:30, 38:26) sebagai pengganti dan penerus person (species) yang mendahuluinya, pewaris-pewaris dimuka bumi (Q.S. 27:62). Disamping itu manusia adalah pemikul amanah yang semula ditawarkan pada langit, bumi dan gunung, yang semuanya enggan menerimanya, namun dengan ketololannya manusia mau menerima amanah itu (Q.S. 33:72).[74]
Manusia diberikan mandat dari Allah dengan maksud untuk :
1.      Patuh dan tunduk sepenuhnya pada perintah Allah SWT, serta menjauhi larangan-Nya.


2.      Bertanggung jawab atas kenyataan dan kehidupan di dunia sebagai pengemban amanah Allah.
3.      Berbekal diri dengan berbagai ilmu pengetahuan, hidayah agama, dan kitab suci.
4.      Menerjemahkan segala sifat-sifat Allah SWT, pada perilaku kehidupan sehari-hari dalam batas-batas kemanusiaannya.
5.      Membentuk masyarakat Islam yang ideal yang disebut dengan “ummah”, yaitu masyarakat yang sejumlah perseorangannya mempunyai keyakinan dan tujuan yang sama, yaitu menghimpun diri secara harmonis dengan maksud untuk bergerak maju kearah tujuan bersama.
6.      Mengembangkan fitrahnya sebagai khalifatullah yang mempunyai kehendak komitmen dengan tiga dimensi, yaitu : kesadaran, kemerdekaan dan kreatifitas. Ketiga kehendak itu ditopang oleh ciri idealnya, yaitu :kebenaran (pengetahuan), kebajikan (akhlak) dan keindahan (estetika).
7.      Mengambil bumi dan isinya sebagai alat untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat dalam semua asfek kehidupan, serta dalam rangka mengabdi kepada Allah.
8.      Menjadi penguasa untuk mengatur bumi dengan upaya memakmurkan dan mengelola negara untuk kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang dijanjikan kepada seluruh masyarakat yang beriman bukan kepada seseorang atau suatu kelompok tertentu.
9.      Membentuk suasana aman, tentram dan damai dibawah naungan ridha Allah SWT, sebagimana yang digambarkan dalam Al-Qur’an,”baldatun Thoiyyabtun wa Rabbun Ghofur”.
10.  Lebih jauh lagi, tugasmanusia sebagai khalifatullah adalah menjadi seniman yang islami, yaitu seniman yang terciptakan dalam rangka mengabdi karena Allah SWT.

c)      Manusia sebagai warosatul anbiya’
Nabi Muhamamd SAW diutus kebumi adalah untuk mengmban misi “rahmatan lil alamin”(Q.S. 21:107), yakni misi yang membawa dan mengajak manusia, dan seluruh sekalian alam untuk tunduk dan taat pada syariat-syariat dan hukum Allah SWT, untuk mencapai kesejahteraan, kedamaian, dan keselamatn dunia akhirat
Misi itu disempurnakan dengan pembentukan pribadi yang Islami, yaitu kepribadian yang berjiwa  tauhid, kreatif, beramal saleh, serta bermoral tinggi dengan berpijak pada trichotomi (tiga kekuatan rohani pokok) yaitu :
1.      Individualitas, yakni kemampuan diri pribadi sebagai makhluk pribadi.
2.      Sosialitas, yakni kemampuan mengembangkan diri selaku anggota masyarakat.
3.      moralitas, yakni kemampuan mengambangkan diri selaku anggota masyarakat berdasarkan moralitas (nilai-nilai moral dan agama).
Disamping itu, misi tersebut berpijak pada trilogi hubungan manusia, yaitu
1.      Hubungan dengan Tuhan, karena manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya.
2.      Hubungan  dengan masyarakat, karena manusia sebagai anggota masyarakat.
3.      Hubungan dengan alam sekitar, karena manusia selaku pengelola, pengatur, serta pemanfaatan kegunaan alam
Dalam melakukan misi sebagai warosatyul anbiya’, perlu bertolak pada prinsip-prinsip kerasulan, yakni :
1.      Amar ma’ruf dan nahi munkar (Q.S. 3:105,110).
2.      Menyebarkan  misi Iman, Islam dan ihsan  dengan menjadikan prinsip tauhid sebagai inti pendakwaan.
3.      Memenuhi kebutuhan manusia, baik kebutuhan primer (dloruri), kebutuhan sekunder (haji), dan kebutuhan pelengkap (tahsini). [75]

a.            Sifat-Sifat Asal Manusia
Menurut Hasan Langgulung dalam hal penciptaan Nabi Adam A.s., yang dimaksud disini tentulah umat manusia seluruhnya, Tuhan berfirman dalam Al-Quran :






 “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (Q.S. Al-Hijr: 29)


Makna surat ini adalah, Tuhan memberi manusia itu beberapa potensi atau kemampuan sesuai dengan sifat-sifat Tuhan. Sifat-sifat Tuhan ini disebut dalam Al-Quran dengan nama-nama yang indah (Al-Asmaul Al-Husna) yang menggambarkan Tuhan sebagai “Yang Maha Pengasih” (Al-Rahman), Yang Maha  Penyayang (Al-Rahim), “Yang Maha Suci” (Al-Quddus), “Yang Maha Hidup” (Al-Hayyu), dan seterusnya sebanyak 99. Menyembah  dalam pengertiannya yang umum bermakna mengembangkan sifat-sifat ini pada manusia menurut perintah dan petunjuk Tuhan. Misalnya Tuhan memerintah manusia menjalankan upacara sembahyang kepadanya. Dengan berbuat demikian, manusia menjadi lebih suci, jadi ia meniru sifat Tuhan dalam kesucian, yaitu Al-Quddus. Juga Tuhan adalah Maha Pengasih (Al-Rahman) tetapi Ia memerintah manusia supaya bersifat pengasih terhadapnya. Tuhan Maha Mengetahui (Al-Alim) tetapi Dia memerintah manusia selalu mencari dan menambah pengetahuan dan berdoa agar Tuhan menolongnya :”Wahai Tuhanku, tambahkan ilmuku”. Allah juga memiliki segala kekuasaan (Malikul Mulk), tetapi diberi-Nya kekuasaan politik kepada manusia di bumi. [76]
            Sifat-sifat Tuhan tersebut hanya dapat diberi kepada manusia dalam bentuk dan cara yang terbatas, sebab kalau tidak demikian manusia akan mengaku diri sebagai Tuhan. Sifat-sifat yang diberikan kepada manusia itu harus dianggap sebagai Amanah, yaitu tanggungjawab yang besar. Di sini jelas terlihat bagaimana potensi-potensi manusia yang banyak digunakan dalam psikologi itu mempunyai kaitan dengan tujuan kejadian alam jagat, sembahyang, dalam pengertiannya yang luas yaitu amanah.[77]

b.                  Konsep Amanah
Arti menyembah diatas telah disinggung dengan jelas, yaitu mengembangkan sifat Tuhan yang diberikan kepada manusia, dan itu sekaligus merupakan  tujuan kejadian manusia. Seperti contoh mencari dan mendalami ilmu (salah satu sifat Tuhan  yaitu Al-‘ilm) adalah ibadah. Mencari kekayaan (juga salah satu sifat Tuhan yaitu Al-Ghaniy) adalah ibadah. Sebagaimana firman Allah:



Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di atas bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.”(Q.S. Al-A’raf: 10)

Dalam ayat lain:





“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukan untuk (kepentingan)mu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu ni’mat-Nya lahir dan batin” (Q.S. Luqman : 20)


Juga dalam ayat lain yang senada :




“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.“(Q.S. Al-Baqarah : 29)

Seluruh ayat diatas  bermakna bahwa Amanah itu sekurang-kurangnya ada dua macam yaitu :
a.       kesanggupan manusia mengembangkan sifat-sifat Tuhan  pada dirinya
b.      berkenaan dengan cara pengurusan sumber-sumber yang ada di bumi.

Kesanggupan manusia mengembangkan sifat-sifat Tuhan pada dirinya adalah bagaimana manusia dapat mengembangkan potensi dirinya yang meliputi fitrahnya, kebebasan yang diberikan dalam berbuat, pemuasan terhadap jasmani dan ruhani serta potensi akal. Itu semua dikembangkan untuk mengembangkan sifat-sifat Tuhan yang ada pada dirinya dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah semata.
Adapun amanah terhadap cara pengurusan sumber-sumber alam maksudnya adalah manusia diberi amanah untuk menjaga kelestarian alam ini yang meliputi segala macam potensi alam untuk dijaga dalam rangka kesejahteraan umat manusia.
Dengan ini konsep “menyembah’ atau ibadah diperkaya lagi dengan makna baru, yaitu pengurusan yang sesuai terhadap amanah yang diberikan Tuhan kepada manusia.
            Jadi ”menyembah” yang ada pengertian asalnya berarti pengembangan potensi-potensi, yaitu sifat-sifat Tuhan, pada diri manusia, menjadi bertambah luas dan mengandung pengertian mengurus dengan baik amanah yang dipikul itu. Sebab amanah ini telah diajukan kepada langit , bumi dan gunung, tetapi manusia bersifat aniaya dan bodoh. Sebagaimana firman Allah :




“Sesungguhnya  Kami telah mengemukakan amanat kepada  langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”(Q.S. Al Ahzab:72)

Ayat diatas menunjukan bahwa manusia telah menyalahgunakan amanah itu oleh sebab sombong dan congkak, dan menyangka ia tahu segala-galanya dan dengan menjalankan kekuasaan yang tidak adil kepada orang-orang dan makhluk lainnya bahkan memperalat mereka.[78]



c.             Perjanjian Antara Tuhan dan Manusia (mithaq)
Persoalan kenapa dan bagaimana manusia menyalahgunakan amanah yang diberikan Tuhan kepadanya adalah berkaitan dengan aspek-aspek tertentu pada sifat manusia, atau terlibat pada perjanjian Tuhan dan manusia. Dalam sejarh penciptaan manusia, iblis menggoda Adam sebagai manusia pertama. Al-Qur’an menyebutkan asal godaan terhadap Adam A.s. sebagaimana yang diceritakan dalam Al-Qur’an :



“ Kemudian syaitan membisikan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata :”Hai Adam ,maukah saya tunjukan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa”(Q.S. Thaha”120)

Iblis menjanjikan kepada manusia dua janji yang sangat menggiurkan, yaitu kekekalan manusia dan kekuasaan mutlak di bumi. Janji ini  menunjukan dua macam kecenderungan dasar pada manusia. Keinginan dan keyakinan bahwa ia bertanggungjawab atas segala tindakannya. Keserakahannya kepada kekuasaan menyebabkan ia  lupa bahwa akhirnya semua kekuasaannya terbatas dan relatif dan harus dijalankan sebagai suatu amanah. Yang sebenarnya dilupakan oleh Adam A.s adalah bahwa hanya Tuhan yang Kekal  dan Berkuasa atau sumber segala kekuasaan.[79]
            Tuhan berfirman dalam Al-Qur’an tentang kelemahan Adam A.s :




“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu,dan manusia dijadikan bersifat lemah”( Q.S. An Nisa : 28)



Dalam ayat lain disebutkan :




“Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat”(Q.S. Thaha: 115)

Menurut Hasan Langgulung pada dasarnya kelemahan Adam atau sebab kejatuhannya adalah sifat pelupa. Islam tidak mengenal konsep dosa asal (original sin) seperti yang di fahami dalam tradisi Yahudi-Kristen dan oleh sebab itu tidak ada konsep tebusan menurut agama Islam.
            Adam jatuh ke dalam godaan sebab ia lupa sesuatu yang telah diajarkan kepadanya atau ia telah ketahui sebelum itu. Kedua-duanya, menurut pandangan Islam adalah sama. Yang pertama berkenaan dengan melupakan sifat-sifat Tuhan yang telah disebutkan sebelum ini. Menurut Al-Qur’an, Tuhan sebelum Adam A.s jatuh dalam godaan, telah mengajarkan kepada Adam akan nama-nama ....(Q.2:32). Nama-nama itu adalah sifat-sifat Tuhan, yang berjumlah 99, telah dilupakan oleh Adam A.s sewaktu  berada dalam godaan. Yang kedua berkenaan dengan perjanjian (mithaq) antara Tuhan dan umat manusia yang digambarkan dalam ayat Al-Qur’an berikut :
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman).”Bukanlah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab:”Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”(Q.S. Al-A’raf”172)

            Dari segi pandangan falsafah lanjut Langgulung, ayat ini menyatakan bahwa adalah wajar pada manusia atau sekurang-kurangnya sebahagian dari pada wataknya (nature) adalah menerima Tuhan sebagai Tuhan dan Penguasa. Malah ahli-ahli fikir Islam melangkah lebih jauh lagi dan menyatakan bahwa ayat ini bermakna, sebab kelemahan manusia, Tuhan sebagai penguasa yang telah diakui memberi manusia itu wahyu sebagai petunjuk. Selanjutnya Dia berjanji membela orang-orang yang percaya kepada-Nya, firman Allah dalam Al-Qur’an :
“...Dan Kami telah berkewajiban menolong orang-orang yang beriman”(Q.S. Ar Rum:47)

            Supaya mendapat petunjuk yang sempurna dalam ibadah, mengurus Amanah, melaksanakan tugas dan kewajiban,dan terutama mengingatkan manusia kepada perjanjiannya dengan Tuhan, maka Tuhan sendiri mengutus wahyunya kepada manusia. Jadi wahyu itu merupakan peringatan untuk mengimbangi kelemahan manusia, yaitu sikap pelupa. [80]

BAB IV

IMPLIKASI KONSEP MANUSIA MENURUT HASAN LANGGULUNG

TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM


Pemikiran Hasan Langgulung tentang konsep manusia tersebar dalam beberapa tulisan kemudian  dikumpulkan dalam buku seperti “Manusia dan Pendidikan analisa pendidikan dan psikolog,“, Beberapa Aspek Pemikiran Pendidikan Islam” dan lain-lain. Tulisan Hasan Langgulung yang membahas konsep manusia dan implikasinya terhadap pendidikan Islam secara utuh jarang ditemukan. Namun dari berbagai macam tulisan itu terdapat benang merah yang saling berkaitan antara tulisan yang satu dengan yang lain. Untuk mendukung tulisan dan sebagai pembanding maka akan diambil beberapa pemikiran tokoh pendidikan Islam yang representatif dalam permasalahan ini.
Di bawah ini akan penulis uraikan pemikiran Hasan Langgulung tentang manusia dan implikasinya terhadap pendidikan Islam.
A.    Khalifah Allah di bumi dan implikasinya pada tujuan Pendidikan Islam
      Fokus utama Hasan Langgulung ketika membahas kekhalifahan manusia di bumi adalah Al-Qur’an surat AL-Baqarah ayat 30. bahwa dijelaskan manusia menempati kedudukan yang istimewa dalam alam semesta ini yaitu sebagai khalifah diatas bumi. Firman Allah SWT :
وإذ قال ربك للملئكة إتى جاعل فى الأرض خليقة  قالوا أتجعل فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك قال إني أعلم مالا تعلمون .


“Ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat:”Aku akan menciptakan khalifah diatas bumi ini. Mereka berkata:”Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi, orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau? “Tuhan berfirman:” Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”  (Q.S. Al-Baqarah : 30)

   Menurut Hasan Langgulung, manusia dianggap sebagai khalifah Allah, ia tidak dapat memegang tanggung jawab sebagai khalifah kecuali kalau manusia dilengkapi dengan potensi-potensi. Ada ada empat macam ciri yang dimiliki manusia sebagai khalifah.[81] Empat  ciri-ciri tersebut adalah :
5.            Fitrah manusia.
6.            Pemuasan terhadap kebutuhan jasmani (biologis) dan ruhani
7.            Kebebasan manusia
8.            akal fikiran.
Menurut Hasan Langgulung, kempat ciri-ciri inilah yang membedakan manusia yang disebut sebagai khalifah itu dari makhluk-makhluk lain.  Tujuan atau matlamat tertinggi (ultimate aim) pendidikan dalam Islam adalah membina individu-individu yang akan bertindak sebagai khalifah, atau sekurang-kurangnya membawa anak didik kejalan yang disyariatkan oleh Allah SWT.
Dibawah ini akan diuraikan tentang ciri-ciri khalifah beserta implikasinya dalam pendidikan Islam .
a)      Fitrah manusia dan implikasinya terhadap pendidikan Islam
Menurut Hasan Langgulung, fitrah adalah potensi yang baik. Haditsh yang bermakna “Setiap anak-anak dilahirkan dengan fitrah. Hanya ibu bapaknyalah yang menyebabkan ia menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. Tetapi hal ini tidak bermakna bahwa manusia itu menjadi hamba kepada lingkungan, seperti pendapat ahli-ahli behaviorisme. Pada dasarnya fitrah manusia asalnya suci dan seharusnya berkembang kearah yang lebih baik. Manusia yang telah diberi potensi yang baik oleh Allah karena itu biarpun anak diajar tidak diajar ia dengan sendirinya akan sesuai dengannya, kecuali  kalau ia didik dengan sebaliknya yaitu kearah yang mengingkari agama.[82] Fitrah adalah tiada lain dari sifat-sifat Tuhan yang ditiupkan Tuhan kepada setiap manusia sebelum lahir, dan pengembangan sifat-sifat itu setinggi-tingginya.[83]
Senada dengan hal ini, menurut Dr. Jalaluddin, manusia memiliki beberapa potensi utama yang secara fitrah dianugerahkan Allah kepadanya, yaitu :
        i.            Hidayat al-Ghariziyat (potensi naluriah)
Yaitu dorongan primer yang berfungsi untuk memelihara keutuhan dan kelanjutan manusia. Diantara dorongan tersebut adalah berupa instink untuk memelihara diri, seperti makan, minum, penyesuaian tubuh terhadap lingkungan dan sebagainya.
      ii.            Hidayatu al-Hassiyat (potensi inderawi)
Potensi inderawi erat kaitannya dengan peluang manusia untuk mengenal sesuatu diluar dirinya. Melaui alat indera penglihatan, penciuman, pendengaran, perasa, peraba dan lain-lain.
    iii.            Hidayat al-Aqliyyat (potensi akal)
Potensi akal memberi kemampuan pada manusia untuk memahami simbol-simbol, hal-hal yang abstrak, menganalisa, membandingkan maupun membuat kesimpulan dan dapat memilih hal yang benar atau  salah. Akal juga dapat mendorong manusia berkreasi dan berinovasi dalam menciptakan kebudayaan serta peradaban.
    iv.            Hidayat al-Diniyyat (potensi keagamaan)
Pada diri manusia sudah ada dorongan keagamaan yaitu dorongan untuk mengabdi kepada sesuatu yang lebih tinggi, yaitu Tuhan yang menciptakan alam semesta beserta isinya. [84]
Menurut ahli-ahli pendidikan, untuk mengolah potensi-potensi (fitrah) yang tersembunyi itulah  tugas utama pendidikan, yaitu merobah (transform) potensi-potensi itu menjadi kemahiran atau keahlian yang dapat dinikmati oleh manusia. Seperti keahlian dalam hal intelektual (Intelectual ability) tidak ada gunanya kalau hanya disimpan di kepala para ahli ilmu, ia akan berguna kalau keahliannya itu sudah dirobah menjadi penemuan-penemuan ilmiah dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan.[85]
Potensi-potensi manusia yang meliputi (fisik, mental dan spiritual) adalah sesuatu yang penting dalam perkembangan manusia itu sendiri baik sebagai individu maupun masyarakat bahkan untuk menciptakan peradaban yang tinggi dan memelihara perdamaian di dunia ini, dengan syarat mereka beriman dan beramal saleh, kalau tidak maka potensi-potensi yang dimiliki manusia akan menjadi tenaga penghancur dan perusak manusia  dan kemajuan yang telah diciptakannya sendiri.
Kaitannya dengan fungsi iman dalam Islam adalah menjadi dasar segala nilai-nilai kehidupan politik, ekonomi, sosial, ilmu filsafat, dan lain-lainnya yang selanjutnya merupakan aspek penggerak (motivational aspect) terhadap segala tindakan manusia.[86]
Implikasi lainnya adalah pendidikan Islam diarahkan untuk bertumpu pada tauhid. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan hubungan yang mengikat manusia dengan Allah Swt. Apasaja yang dipelajari anak didik seharusnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip tauhid. Untuk itu kurikulum pendidikan Islam harus menekankan pada konsep tahuid ini.[87]
Bagaimana cara mengembangkan potensi-potensi (fitrah) ini dalam pendidikan Islam, menurut Dr. Jalaluddin dapat dilakukan dengan berbagai cara dan pendekatan yaitu :
1.      Pendekatan Filosofis
Pendekatan ini mengacu pada hakikat penciptaan manusia itu sendiri yaitu sebagai makhluk ciptaan Allah (Q.S. 51:56). Dalam filsafat pendidikan Islam nilai-nilai ilahiyat merupakan nilai-nilai yang mengandung kebenaran hakiki. Berasarkan hal ini,  pengembangan potensi manusia diarahkan untuk memenuhi jawaban yang mengacu pada permasalahan yang menyangkut pengabdian kepada Allah. Sedangkan ungkapan rasa syukur digambarkan dalam bentuk penghayatan  terhadap nilai-nilai akhlak yang terkandung didalamnya serta mampu diimplementasikan dalamsikap dan prilaku, lahiriah maupun batiniah. Kesadaran seperti ini timbul atas dorongan dari dalam bukan atas pengaruh luar.


2.      Pendekatan kronologis
Yang dimaksud dengan pendekatan kronologis yaitu pendekatan yang didasarkan atas proses perkembangan melalui tahapan-tahapan. Manusia dipandang sebagai makhluk evolutif. Disadari bahwa manusia bukanlah makhluk siap jadi, yakni setelah lahir langsung menjadi dewasa. Manusia adalah makhluk yang berkembang secara evolusi. Namun bukan dalam arti evolusi dari teori Darwin yang mengidentifikasikan manusia berasal dari genus yang sama dengan simpanse. Dalam hal ini adalah manusia sejak lahir menginjak dewasa, perkembangan manusia melalui periodisasi.
c)      Pendekatan fungsional
Setiap potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia tentunya diarahkan untuk dimanfaatkan. Tuhan sebagai Pencipta, mustahil menciptakan sesuatu tanpa tujuan, hingga terkesan mengadakan sesuatu yang sia-sia. Semua yang diciptakannya mempunyai tujuan, termasuk yang berkaitan dengan penciptaan potensi manusia.
Melalui pendekatan  fungsional, dimaksudkan bahwa  pengembangan potensi manusia dilihat dalam kaitannya dengan fungsi-fungsi potensi itu masing-masing. Dorongan naluriah, seperti makan dan minum dikembangkan dengan tujuan agar manusia dapat memlihara kelanjutan hidup manusia.
Dengan menggunakan pendekatan ini diharapkan agar arah perkembangan potensi yang ada pada manusia tidak menjadi sia-sia. Dan kaitannya dengan fungsi manusia sebagai mengabdi  (menyembah) Allah dengan setia dan ikhlas. Amanat tersebut harus difungsikan manusia, baik statusnya sebagai makhluk biologis, hamba Allah,makhluk sosial, maupun sebagai khalifah Allah
3.      Pendekatan sosial
Manusia pada konsep al-Nas lebih ditekankan pada statusnya sebagai makhluk sosial. Berdasarkan pendekatan ini, manusia dilihat sebagai makhluk yang memiliki dorongan untuk hidup berkelompok dan bermasyarakat. Melalui pendekatan sosial, peserta didik dibina dan dibimbing sehingga potensi yang dimilikinya, yaitu sebagai makhluk sosial, dapat tersalur dan sekaligus terarah pada nilai-nilai yang positif. [88]

b)      Pemuasan Kebutuhan jasmani dan ruhani serta implikasikasi terhadap pendidikan Islam
Menurut Hasan Langgulung jasmani tempat melekatkanya kebutuhan-kebutuhan bukanlah itu saja. Badan hanyalah salah satu unsur ke mana ditambahkan lagi sesuatu yang berlainan. Interaksi roh dengan badan menghasilkan khalifah. Roh inilah unsur kedua yang penting yang membedakan khalifah itu. Kata roh digunakan dalam Al-Qur’an, atau seorang malaikat, atau terutama Jibril atau Isa, atau makhluk spiritual yang bersatu dengan badan.[89]
      Al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa kehidupan manusia bergantung pada wujudnya roh di dalam badannya. Hilangnya roh dari badan bermakna mati. Tentang bagaimana bentuk roh itu, dicegah oleh Al-Qur’an mempersoalkannya yaitu:



“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah : “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”(Q.S. Al-Isra : 85)

Roh merupakan amanah Allah yang diberikan kepada manusia. selanjutnya tugas manusia untuk memelihara dan mengembangkan roh dengan berbagai pendidikan rohaniah.
            Peranan keluarga dalam pendidikan jasmani menurut Hasan Langgulung sangat penting. Anak-anak harus mengetahui pentingnya pendidikan jasmani. Anak-anak harus dibiasakan dalam menjaga kesehatan pribadinya. Sikap ini harus diberikan orang tua kepada anak-anaknya menurut tingkat pemikiran mereka. Peranan keluarga dalam pendidikan jasmani juga dapat dilaksanakan sebelum bayi dilahirkan. Yaitu dengan melalui pemeliharaan terahadap kesehatan ibu dan memberinya makanan yang baik dan sehat, sebab hal itu berpengaruh pada nak dalam kandungan.
            Diantara cara-cara yang dapat membantu untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan jasmani adalah memberi anak-anak makanan yang sehat dan cukup kandungan gizi. Juga harus diperhatikan upaya memberikan pencegahan terhadap penyakit yang biasa menyerang anak-anak. Membiasakan anak-anak berolah raga untuk melatih otot-otot dan anggota tubuh lainnya. Dan yang terpenting adalah menjaga kebersihan lingkungan anak-anak yang menjadi kediaman mereka. [90]
Mengenai pendidikan rohani Ada beberapa jalan yang harus ditempuh dalam mengembangkan roh dengan berbagai pendidikan rohaniah[91] seperti :
a.                memberikan pendidikan Islami untuk mengenal Allah Swt.
b.                kurikulum pendidikan Islam ditetapkan dengan mengacu pada petunjuk Allah yang bersaumber dalam Al-Qur’an dan Sunnah
c.                pendidikan diarahkan untuk mampu mengemban amanah  berupa tugas sebagai hamba Allah dab sebagai khalifah Allah
d.               pendidikan tidak berakhir sampai usia  berapapun tidak beakhir setelah roh meninggalkan jasad. Untuk itu pendidikan diarahkan pada pendidikan seumur hidup.

c)      Kebebasan Manusia dan implikasinya terhadap metode pendidikan Islam
Aspek ketiga pada sifat-sifat manusia lainnya adalah kebebasan kemauan. Menurut Hasan Langgulung masalah kebebasan kemauan manusia betul-betul mendapat tempat khusus dalam sejarah pemikiran Islam, dan dianggap masalah-masalah intelektual yang pertama kali mendapat perhatian kaum Muslimin. Beberapa mazhab telah mengkaji tentang kemauan kebebasan secara mendalam dan sungguh-sungguh sehingga memunculkan berbagai aliran dalam ilmu kalam. Permasalahan yang timbul adalah membuat sentesis antara aqal (akal) dan naql (wahyu). [92]
Manusia boleh menerima atau menolak untuk percaya kepada Allah. Dia memiliki kebebasan kemauan. Kemauannya yang bebas menyebabkan ia memilih apa yang baik dengan berinteraksi melalui fitrahnya sebagai hamba Allah.[93]
Kebebasan adalah salah satu hak-hak tabi’i manusia. Diantara hak-hak tabi’i manusia yang paling menonjol adalah hak untuk hidup, hak untuk bebas, hak untuk mewakili dan diwakili, hak untuk mendapat ketentraman, hak untuk mendapat persamaan dan keadilan dan lain-lain..[94]
Hasan Langgulung mengutip pendapat Prof. Dr. Mohammad Omar Asy-Syaibani, bahwa kebebasan dalam Islam menuntut pengertian yaitu :
“kemerdekaan dan kebebasan dari segala belenggu kebendaan dan kerohanian yang tidak sah yang terkadang dipaksakan kepada manusia tanpa alasan yang benar pada kehidupannya sehari-hari yang menyebabkan ia tidak langsung menikmati hak-haknya yang wajar dari segi hak sipil, agama, politik, sosial dan ekonomi”[95]

Namun, lanjut Hasan Langgulung, kemerdekaan yang diberikan Allah kepada manusia tidak mutlak. Bahkan fungsi khalifah pada manusia cukup menafikan  kebebasan manusia. Manusia yang memiliki kebebasan kemauan tidak dapat menentukan untuk dirinya sendiri kuasa-kuasa asal apapun yang dimilikinya. Setiap manusia memiliki ajal yang terbatas, ia tidak apat memanjangkan atau memendekkannya. Tetapi sebaliknya, karena ia sebagai khalifah Allah maka ia mengangkat dirinya dari segala macam penghambaan kecuali kepada Allah semata. [96]
Al-Abrasyi dengan konsep at-Tarbiyah al-Istiqlaliyah,  atau pendidikan pembebasan mengatakan :
“Bahwa azas terpenting at-Tarbiyah al-Istiqlaliyah adalah membiasakan peserta didik berpegang teguh pada kemampuan diri sendiri sebagai refleksi dasar dari sikap percaya diri, percaya dengan pikiran diri sendiri. Azas ini hanya bisa dicapai jika proses pendidikan  dilakukan dengan terbuka dan dialogis.”[97]



Menurut Warid Khan perlunya sikap demokratis dan kebebasan dalam proses pendidikan bertujuan untuk menciptakan  produk pendidikan yang memiliki kekuatan demi menggalang perubahan-perubaahan kearah yang lebih positif, disamping untuk memberikan ketajaman intelektual anak didik.[98]
Kebebasan yang bertanggung jawab ini memungkinkan manusia berbuat tanpa keterpaksaan pada bidang apappun, termasuk bidang pendidikan, khususnya metode pendidikan. Karena metode pendidikan berkaitan erat dngan kreativitas dan aktifitas guru. Dengan variasi aktivitas dan kreativitas guru dalam mengajar, memungkinkan bisa mencapai tujuan pendidikan secara maksimal.
Cara yang harus digunakan manusia dalam mencapai tujuan sebagai khalifah adalah dengan memberinya kebebasan. Sebab manusia, dengan bakat yang dimilikinya mungkin salah dalam mengenal iradah Allah, mungkin saja ia mendurhakai Allah. Apabila ia durhaka ia harus diperingatkan dengan wahyu dari Allah. Dan jika menusia mengerjakan perbuatan yang beradab yakni berdasar keimanan pada Allah dengan mentaati-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya,dan tidak membedakan antara seorang dengan yang lain, kalau ini berlaku maka perbuatan ini kreatif dan bertanggungjawab. Yaitu jika manusia mengerjakan perbuatan dengan kemauan sendiri dengan penuh tanggaungjawab pribadi, maka ia akan menerima balasannya di dunia ini dan di akhirat.[99]
Implikasi dari konsep kebebasan manusia sudah jelas pada pendidikan Islam. Bila murid percaya bahwa tingkah lakunya telah ditentukan lebih dahulu maka ia tentu akan memiliki sikap passif. Mungkin ia tiak mau bekerja keras. Kegagalan atau keberhasilan karena disebabkan oleh faktor-faktor dari luar yaitu oleh Tuhan. Akan tetapi, kalau kita berpendapat sebaliknya, bahwa bila seseorang percaya pada tanggung jawab pada sesuatu tentunya akan memberi makna yang lebih dalam kepada pendidikan. Pendidikan menumpukan perhatian untuk menolong murud-murid memilih berbagai pilihan dan memilih yang benar dan baik. Pendidikan tidak apat dipandang sebagai proses yang memaksakan  kehendak dimana guru menentukan setiap langkah yang harus diambil oleh setiap murid. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu memelihara kebebasan lebih bersifat bimbingan daripada sebagai paksaan kepada anak didik.[100]
Berkenaan dengan kebebasan kemauan, Ahmad Warid Khan berpendapat bahwa pendidikan pembebasan, menemukan dua konteks pemaknaan dalam proses pendidikan Islam. Pertama, pendidikan harus difahami dalam posisinya secara metodologis, dimana pelaksanaan pendidikan harus dilakukan secara demokratis, terbuka dan dialogis. Bahwa seluruh aktivitas kehidupan manusia didasarkan atas asumsi adanya kebebasan berkehendak.[101]
Praktek-praktek pendidikan yang didasarkan pada prinsip-prinsip kebebasan ini, menuntut pada prinsip-prinsip kebebasan ini, yaitu kebebasan berkehendak, kebebasan berfikir, kebebasan berpendapat secara ilmiah, semua itu berada dalam koridor keterbukaan dan intensitas dialog dalam proses belajar mengajar. Hal ini diperlukan karena dengan adanya penciptaan suasana dialogis, secara psikologis membuat anak didik merasakan dirinya turut terlibat, ikut menciptakan dan bahkan merasa memiliki. Kemungkinan besar akan berdampak positif terhadap berkembangnya potensi-potensi dasar anak, sehingga mudah menciptakan gagasan kreatif, mandiri dan mampu merekayasa prubahan-perubahan secara bertanggungjawab.[102]
Apabila proses pendidikan itu harus mengacu pada prinsip kebebasan, maka sasaran utama pendidikan adalah al-I’timad ‘ala an-nafs (berpegang teguh dan percaya dengan kemampuan diri sendiri). Seseorang dianggap berhasil mengerjakan sesuatu, kalau ia berpegang teguh dan percaya dengan kemampuannya sendiri.[103]
Adapun pengertian makna kedua, lanjut Warid Khan,  bahwa keberadaan pendidikan Islam sebagai proses  adalah sebagai proses pewarisan nilai-nilai keislaman atau transfer of islamic values.[104] Hasan Langgulung dalam hal ini menjelaskan bahwa “pendidikan Islam ialah bagaimana memindahkan (transmision) unsur-unsur pokok peradaban ini dari generasi kegenarasi supaya identitas umat terpelihara.”[105]
Lanjut Warid Khan bahwa nilai-nilai keislaman yang dimaksud adalah tauhid, dengan pengertian, bahwa tidak ada penghambaan kepada selain Allah Swt. yang berarti bebas dari belenggu kebendaan dan kerohanian. Dengan Tauhid melaui kalimat syahadat derajat semua manusia dihadapan Tuhan adalah sama, ia melepaskan dirinya dari belenggu subordinasi apapun. Dengan demikian Islam telah menghilangkan hegemoni atau privilese kepada individu atau kelompok manusia tertentu.[106]
Sebelum memasuki pembahasan tentang implikasinya terhadap pendidikan Islam, terlebih dahulu dibahas pengertian metode pendidikan (lebih khusus metode pendidikan Islam) serta falsafah yang menyertainya.
Dari segi bahasa metode berasal dari dua perkataan, yaitu meta dan hodosMeta berarti “jalan” atau “cara”. Dengan demikian metode dapat berarti cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan. Selain itu ada pula yang menyatakan bahwa metode adalah suatu sarana untuk menemukan, menguji dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan disiplin tersebut.[107]
Dalam proses pendidikan Islam, metode yang tepat berguna bila ia mengandung nilai-nilai yang instrinsik dan ekstrinsik sejalan dengan materi pelajaran dan secara fungsional dapat dipakai untuk merealisasikan nilai-nilai ideal yang terkandung dalam tujuan pendidikan Islam. Antara metode, kurikulum dan tujuan pendidikan Islam mengandung relevansi (keterkaitan) ideal dan operasional dalam proses kependidikan.
Sementara asy-Syaibani menyatakan bahwa metode mengajar bermakna segala kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkannya, ciri-ciri perkembangan murid-muridnya, dan suasana alam sekitarnya dan tujuan menolong murid-muridnya untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka. Selanjutnya menolong mereka memperoleh maklumat,  pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, sikap, minat dan nilai-nilai yang diinginkan.[108]
Adapun hubungan antara kebebasan kemauan dan kreativitas manusia. Menurut Hasan Langgulung, pertama kali dilihat adalah tujuan diciptakan manusia adalah untuk menjadi kahlifah. Khalifah mempunyai kandungan yaitu amanah, sedangkan kandungan amanah adalah akhlak, amal saleh atau ihsan.[109]
Adapun implikasi konsep kebebasan manusia terhadap metode pendidikan Islam, akan diuraikan dibawah ini.
Dalam hal metode pendidikan, Iqbal menyatakan bahwa individu bisa mengembangkan seluruh kekuatannya dalam kebebasannya yang diselaraskan dengan kondisi lingkungan, latihan dalam pemilahan dalam metode dan materi, dan pengajaran secara langsung oleh tangan pertama. Dalam proses kreatif terhadap pembentukan kepribadian, manusia harus berlaku aktif dan reaktif sepenuhnya untuk tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan kondisi lingkungannya.[110] Karena metode pendidikan yang berbasis keaktifan secara penuh, lebih kondusif untuk membangun kekayaan sikap intelek atas perkembangan kepribadian.[111]
Ada beberapa metode pendidikan yang diajarkan dalam Islam, sebagaimana dipaparkan oleh Muhammad  Qutb, yaitu : pendidikan melalui keteladanan, pendidikan melalui nasehat, pendidikan melalui hukuman, pendidikan melalui kebiasaan, menyalurkan kekuatan,  mengisi kekosongan,                                                                 serta pendidikan melalui peristiwa-peristiwa.[112]
Secara praktis, memang benar, siswa memiliki kehendak bebas yang memungkinkannya memilih alternatif yang dihadapinya. Namun juga harus diingat, seorang guru juga memiliki kehendak bebas yang harus dimanfaatkan untuk keuntungan murid. Seorang pendidik muslim yang berkepentingan mengarahkan siswa, secara khusus, berkepentingan membentuk kepribadian. Perannya tidak terbatas pada menyusun situasi belajar, dan kemudian membiarkan siswa menetukan pilihannya sendiri, tanpa memikirkan akibatnya. Bila ternyata salah, maka ia tidak boleh diam.[113]
Peran penting (prominen) yang diberikan kepada pendidik muslim, memungkinkan  menyalahi aturan para pemikir pendidikan yang beranggapan bahwa siswa harus diberi kebebasan lebih dalam menentukan apa yang hendak dipelajari. Mungkin akan dikatakan bahwa seorang guru yang secara emosional, terlibat pembentukan pribadi siswa biasanya cenderung memaksakan gagasan-gagasan pribadinya atas siswanya. Kemauan siswa diabaikan atau dengan kata yang lebih halus, dinomorduakan. Seorang pendidikan muslim yang penuh kasih sayang yang menyerahkan segenap upayanya untuk mengembangkan pribadinya yang sempurna, mungkin pula dipandang sebagai pribadi otoriter yang tidak memberikan perhatian kecuali sedikit terhadap motivasi dalam diri siswanya.[114]
Apa yang diaplikasikan  kepada orang yang telah terdidik pun harus diaplikasikan kepada mereka yang masih dalam proses pendidikan. Jika ternyata interes para pelajar bersifat antiedukasional, maka interes tersebut tidak dapat dijadikan sebagai titik tolak. Tugas gurulah untuk menjadikan siswanya tertarik pada aktivitas yang relevan bagi pemenuhan kebutuhan dasar mereka. Berusaha menjadikan siswa menjadi tertarik pada aktivitas yang berguna adalah masalah metode, dan merupakan akhir pendidikan. Kegagalan untuk membedakan yang demikian, menjadikan para pendidik, seperti para penganut mazhab progresivesme di Amerika Serikat, memberikan tekanan yang lebih besar terhadap kebutuhan segera dan sementara dari siswa.
Bagi umat Islam, konsep reward dan punishment bukanlah hal asing dan banyak ditemukan dalam kitab suci Al-Qur’an. Terjemahan kedua kata tersebut dalam bahasa Arab secara berurutan adalah ‘iqab atau ‘azab dan ajr atau isawab.[115]
Dewasa ini, praktek pendidikan di dunia Islam termasuk di Indonesia agaknya lebih menekankan Punishment daripada reward. Salah satu bukti adalah ajaran rasul tentang “Pukullah anak bila tidak maushalat dalam usia sepuluh tahun” lebih populer daripada ajaran Nabi yang berbunyi “Mengajarlah kalian dan jangan menyakiti siswa, karena seorang pengajar itu lebih mulia dari seseorang yang suka menyakiti.”[116]
Akhirnya yang didambakan adalah pendidikan Islamyang lebih menekankan sikap lembut, ucapan yang sejuk ditelinga siswa serta konsisten mengajak ke nilai-nilai yang benar. Kendatipun Tuhan telah Maha Mengetahui kekerasan hati Fir’aun yang tidak bisa diubah oleh ajakan kebenaran Nabi Musa A.s., Allah tetap memerintahkan Musa dan Harun untuk bersikap dan berkata lembut, qaulan layyina (Q.S. Thaha: 42).  Karena sikap yang terkahir ini selain secara psikologis akan mengingatkan dan menyadarkan seseorang, sungguh sikap ini adalah Islami dan paedagogis yang perlu ditegakkan secara konsisten.

d)     Potensi akal (‘aql ) dan implikasinya terhadap pendidikan Islam
Dalam pandangan Islam, akal merupakan potensi manusia yang paling penting. Itulah yang mendasari pentingnya akal dalam memahami rukun iman. Dalam Al-Qur’an kata ‘aqal dengan berbagai bentuknya banyak disebut, seperti kata ta’qilun/ya’qilun, terdapat sebanyak 46 ayat, kemudian 14 ayat yang menyebutkan kata tatafaqqarun, 13 ayat yang menyatakan yafqahum. Ayat-ayat ini menganjurkan untuk berfikir atau peringatan bagi orang yang berfikir.[117]
Kata  ‘Aql tidak pernah muncul dalam Al-Qur’an sebagai kata benda abstrak (masdar). tetapi sebagi kata-kata kerja, dengan kerbagai bentuknya. Semuanya menunjukkan aspek pemikiran pada manusia, seperti surat diatas (ta’qilun).[118]
Keberadaan akal sangat dihargai oleh Allah, sebagai mana firman Allah dalam Al-Qur’an :




“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang Allah turunkan bagi manusia,dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan bumi, sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (Q.S. Al-Baqarah : 164)

Salah satu ciri-ciri akal adalah keahlian mengamati sesuatu yang bermakna, memahami dan menggambarkan sebab-sebab dan akibat sesuatu. Diantara  fungsi akal adalah mencipta yang berpangkal pada berfikir, tetapi lebih tinggi dari itu adalah dengan melalui pengamatan dengan melibatkan unsur  yang disebut daya kreativitas (creativity).
      Berakal menurut Hasan Langgulung, bukan sekedar kecerdasan tetapi kesanggupan membedakan yang baik dari yang buruk dengan memikirkan kejadian langit dan bumi. Sedangkan fungsi akal adalah mencegah manusia supaya jangan menghancurkan diri sendiri. Hal inilah yang belum dikembangkan  oleh pendidikan modern.[119]
      Tantangan yang dihadapi oleh pendidikan modern ialah mengembangkan aspek akal dengan maksud untuk mencegah kecenderungan manusia untuk merusak. Bagaimana pendidikan Islam memberikan solusi cara mendidik dan mengembangkan hati nurani ini ?
      Islam menurut Hasan Langgulung memberikan jawaban yaitu dengan ihsan, Rasulullah saw. Menjelaskan arti Ihsan ialah “bahwa engkau menyembah Allah seperti engkau melihat Dia, sebab kalau engkau tidak melihat Dia niscaya Dia melihat engkau”. Itulah cara mengembangkan hati nurani (super-ego). Yaitu bahwa segala tingkah laku (behavior) kita berada dibawah pengawasan Allah Swt.[120] 
      Menurut Hasan Langgulung, walaupun pendidikan akal telah dikelola oleh institusi pendidikan, namun di dalam keluarga, pendidikan akal mendapat perhatian yang besar. Peranan keluarga tidak dapat dibebaskan dari tanggung jawab ini. Bahkan menjadi tanggung jawab yang besar sebelum anak-anak harus disekolahkan. Keluarga bertugas untuk menolong anak-anaknya menemukan, membuka dan menumbuhkan kesediaan, bakat dan minat serta kemampuan-kemampuan akalnya dan membiasakan sikap intelektual yang sehat dan melatih indera kemampuan-kemampuan akal tersebut.[121]
      Drs. Muhaimin berpendapat, bahwa berbagai potensi dasar atau fitrah manusia tersebut harus ditumbuhkembangkan secara optimal dan terpadu melalui proses pendidikan sepanjang hayatnya. Manusia diberi kebebasan/kemerdekaan berfikir untuk berikhtiar mengembangkan potensi-potensi dasar atau fitrah manusia tersebut. Namun demikian, dalam pertumbuhan dan perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari adanya batas-batas tertentu, yaitu adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap menguasai alam, yaitu taqdir (“Keharusan Universal”atau kepastian umum” sebagai batas akhir dari ikhtiar manusia dalam kehidupan di dunia).
      Disamping itu, pertumbuhan dan perkembangan potensi manusia juga dipengaruhi oleh faktor-faktor hereditas, lingkungan alam dan geografis, lingkungan sosio-kultural, sejarah dan faktor-faktor temporal. [122]
Dalam ilmu pendidikan, faktor yang menentukan keberhasilan pendidikan itu ada lima yang saling berkaitan dan berpengaruh  satu sama lain, yaitu faktor tujuan, pendidik, peserta didik,alat pendidikan, dan  milieu/lingkungan.

B.     Penciptaan manusia dan Tujuan Hidupnya serta Pengaruhnya terhadap
Pendidikan Islam.
1.      Penciptaan Manusia dan implikasinya terhadap pendidikan Islam
Apabila dilihat dari proses kejadian manusia secara khusus, maka nuthfah merupakan titik awal yang terus berproses menjadi manusia sempurna (kejadiannya) secara fisik/materi. M. Quraish Shihab sewaktu menyitir ayat Al-Mu’minun ayat 12-14, beliau menyimpulkan bahwa proses kejadian manusia secara fisik/ materi ada lima tahap, yaitu (1) nuthfah; (2) ‘alaqah ; (3) mudlghah atau pembentuk organ-organ penting ; (4)  ‘idham (tulang); dan (5) lahm (daging).[123]
Menurut Drs. Muhaimin,  proses kejadian manusia dapat ditemukan nilai-nilai pendidikan yang perlu dikembangkan dalam proses pendidikan Islam,[124] yaitu :
(1)   Salah satu cara yang ditempu oleh Al-Qur’an dalam menghantarkan manusia untuk menghayati petunjuk-petunjuk Allah ialah dengan cara memperkenalkan jati diri manusia itu sendiri, bagaimana asal kejadiannya, darimana datangnya dan bagaimana ia hidup. Hal ini sangat perlu untuk diingatkan kepada manusia melalui proses pendidikan, sebab gelombang hidup dan kehidupan seringkali menyebabkan manusia lupa diri.
(2)   Ayat-ayat yang berkaitan dengan penciptaan secara implisit mengungkapkan pula kehebatan, kebesaran dan keagungan Allah Swt. dalam menciptakan manusia. Pendidikan dalam Islam antara lain diarahkan  kepada peningkatan iman, pengembangan wawasan atau pemahaman serta penghayatan secara menalam terhadap tanda-tanda keagungan dan kebearan Allah sebagai  Sang Khaliq.
(3)   Proses kejadian manusia dalam Al-Qur’an melalui dua proses dengan enam tahap, yaitu proses fisik/materi/jasadi (dengan lima tahap),dan proses non fisik/immateri dengan satu tahap tersendiri yaitu tahap penghembusan/peniupan roh pada diri manusia oleh Tuhan. Pada saat itu manusia memiliki berbagai potensi, fitrah, hikmah yang hebat dan unik, baik lahir dan batin. Untuk itu pendidikan dalam Islam, antara lain diarahkan kepada pengembangan jasmani dan rohani secara harmonis, serta pengembangan fitrah manusia secara terpadu dan holistik.
(4)   Proses kejadian manusia yang tertuang dalam Al-Qur’an ternyata semakin diperkuat oleh penemuan-penemuan ilmiah, sehingga memperkuat keyakinan manusia akan kebenaran Al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah Swt, bukan buatan atau ciptaan Nabi Muhammad Saw. Maka dengan hal ini pendidikan dalam Islam antara lain diarahkan kepada pengembangan semangat ilmiah untuk mencari dan menemukan kebenaran ayat-ayat-Nya.
           
2.      Tujuan Hidup Manusia dan hubungannya dengan Tujuan pendidikan Islam
Hasan Langgulung dalam hal penciptaan manusia dan tujuan hidup, berpijak pada firman Allah dalam Al-Qur’an :


“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku” (Q.S. ad-Dzariat : 56)

Tujuan hidup manusia menurut Hasan Langgulung adalah untuk menyembah kepada Allah. Menyembah disini dimaknai dengan arti luas yaitu meliputi segala gerak-gerik manusia, sebagaimana ayat yang selalu kita baca ”sesungguhnya sembahyangku, ibadah hajiku, hidupku, dan matiku adalah untuk Allah, Tuhan seru sekalian Alam”[125]
Menurut Muslim Ibrahim, bahwa tujuan diciptakanya manusia adalah sebagai Abdullah, Khalifatullah dan sebagai warosatul Anbiya.[126]
Perbedaan tujuan pendidikan Islam dengan tujuan-tujuan pendidikan modern seperti pada mazhab kemanusiaan yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencapau perwujudan diri (self-actualization) sebagai tujuan tertinggi pendidikan,  sedang menurut Islam pengembangan fitrah secara sempurna adalah salah satu asfek utama tujuan pendidikan Islam. Perkembangan  spiritual (ruh), kebebasan kemauan dan akal (‘Aql) adalah asfek-asfek lain yang perlu dikembangkan disamping perkembangan jasmani dan ruhani. [127]
Apabila  dikaitkan pada tujuan pendidikan Islam, Al-Abrasyi membagi tujuan pendidikan dalam Islam kepada dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus,[128] yaitu :
a.       Tujuan umum pendidikan Islam
1.      untuk  mengadakan pembentukan akhlak  yang mulia
2.      untuk mempersiapkan untuk kehidupan dunia dan akhirat
3.      untuk mempersiapkan dalam mencari penghidupan yang baik, yaitu dalam
segi profesional
4.      untuk menumbuhkan semangat ilmiah  pada pelajar dan memuaskan
 keingintahuan dan memungkinkan ia mengkaji ilmu itu sendiri.
b.      Tujuan khusus pendidikan Islam
Yang dimaksud dengan tujuan khusus adalah perubahan-perubahan yang diinginkan. Dengan kata lain , gabungan pengetahuan, keterampilan, pola-pola tingkah laku, sikap nilai-nilai dan kebiasaan yang terkandung dalam tujuan akhir atau tujuan umum.
Di antara tujuan-tujuan khusus yang mungkin dapat diambil adalah menanamkan iman yang kuat kepad Allah pada diri peserta didik, perasaan dan semangat keagamaan dan akhlak pada diri dan menyuburkan hati mereka dengan rasa cinta, zikir, takwa, dan takut kepada Allah.
Menurut Muhaimin, implikasinya terhadap fungsi pendidikan Islam, antara lain untuk membimbing dan mengarahkan manusia agar mampu mengemban amanah dari Allah, yaitu menjalankan tugas-tugas hidupnya di muka bumi, baik sebagai ‘abdullah (hamba yang harus selalu tunduk dan taat terhadap segala peraturan dan kehendak-Nya serta mengabdi hanya kepada-Nya), maupun sebagai ,khalifatullah , yang menyangkut pelaksanaan tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri, dalam keluarga, dalam masyarakat, dan tugas kekhalifahan terhadap alam.[129]

C.     Sifat-sifat Asal Manusia dan hubungannya terhadap Pendidikan Islam
Menurut Hasan Langgulung, manusia diciptakan adalah untuk mengembangkan sifat-sifat Tuhan yang terangkum pada Al-Qur’an dengan nama-nama-Nya yang indah (Al-Asmaul Al-Husna) yang berjumlah 99. [130]
 Sebagai contoh menyembah  dalam pengertiannya yang umum bermakna mengembangkan sifat-sifat ini pada manusia menurut perintah dan petunjuk Tuhan. Misalnya Tuhan memerintah manusia menjalankan upacara sembahyang kepadanya. Dengan berbuat demikian, manusia menjadi lebih suci, jadi ia meniru sifat Tuhan dalam kesucian, yaitu Al-Quddus. Juga Tuhan adalah Maha Pengasih (Al-Rahman) tetapi Ia memerintah manusia supaya bersifat pengasih terhadapnya. Tuhan Maha Mengetahui (Al-Alim) tetapi Dia memerintah manusia selalu mencari dan menambah pengetahuan dan berdoa agar Tuhan menolongnya :”Wahai Tuhanku, tambahkan ilmuku”. Allah juga memiliki segala kekuasaan (Malikul Mulk), tetapi diberi-Nya kekuasaan politik kepada manusia di bumi. [131]
      Namun sifat-sifat Tuhan itu hanya dapat diberikan  kepada manusia dalam bentuk  dan cara yang terbatas, sebab kalau demikian manusia akan mengaku diri sebagai Tuhan. Sifat-sifat yang akan diberikan  kepada manusia itu harus dianggap sebagai amanah, yaitu tanggung jawab yang besar. [132]
      Sifat-sifat dasar manusia yang juga merupakan kelemahan manusia adalah sifat pelupa. Adam a.s jatuh dari syurga adalah juga akibat dari  sifat ini, yaitu melupakan sifat-sifat Tuhan, sehingga ia dengan mudah dapat digoda oleh setan.[133]
Dengan mengetahui sifat-sifat asal manusia yang berasal dari sifat-sifat Tuhan tersebut, maka pendidikan Islam harus dapat senantiasa membina dan menumbuhkembangkan sifat-sifat yang baik pada anak didik, dengan memperhatikan potensi kemampuan bakat asal  mereka. Kemudian sifat-sifat yang tidak baik yang mencerminkan kelamahan manusia, maka akan menyadarkan diri manusia untuk lebih memperhatikan eksistensi dirinya yang serba terbatas jika dibandingkan dengan Sang Maha Pencipta yang serba tak terbatas. Karena itu, pendidikan dalam Islam antara lain bertugas untuk membimbing dan mengarahkan manusia agar menyadari akan eksistensi dirinya sebagai manusia yang serba terbatas, serta menumbuhkembangkan sikap iman dan takwa kepada Allah yang seba Maha Tak Terbatas. Di samping itu, pendidikan juga bertugas  untuk membimbing dan mengarahkan manusia agar mampu mengendalikan diri dan menghilangkan sifat-sifat negatif yang melekat pada dirinya agar tidak sampai mendominasi dalam kehidupannya, sebaliknya sifat-sifat positif yang terangkum dalam asmaul Husna selalu menjadi pedoman dirinya dalam kehidupan sehari-harinya.

D.          Konsep Amanah dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam
Manusia pada awal penciptaannya, diberikan amanah  oleh Allah kepad manusia untuk memikul tanggung jawab, yaitu mengurus dan mengemban misi Tuhan di atas bumi sebagai khalifah. Padahal mahkhluk Tuhan yang lain seperti langit, bumi, dan gunung-gunung tidak mampu  mengemban amanah yang berat. Konsekuensi dari amanah adalah manusia harus siap menjadi hamba yang selalu menyembah dan mengabdi kepada Tuhan.
Menurut  Hasan Langgulung makna amanah sedikitnya ada dua macam yaitu :
1.Kesanggupan manusia mengambangkan sifat-sifat Tuhan pada dirinya.
Maksudnya adalah manusia harus mampu mengembangkan sifat-sifat Tuhan yang diberikan pada dirinya berupa potensi-potensi seperti akal, emosi dan spiritual.
2.Berkenaan dengan cara pengurusan sumber-sumber yang ada di bumi.[134]
Maksudnya adalah  manusia sebagai khalifah bertanggungjawab memelihara segala sumber-sumber alam yang semua itu diberikan Allah untuk untuk dan patuh kepada manusia. Namun manusia dengan segala sifat kelemahannya terkadang menyalahgunakan amanah ini dengan merusak alam dan menghancurkan sumber daya alam yang seharusnya dipergunakan untuk kesejahteraan umat manusia.
Implikasi konsep amanah dalam pendidikan Islam adalah antara lain manusia diarahkan untuk dapat mempergunakan potensi dirinya secara optimal dalam rangka lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. Potensi manusia berupa akal dan rasa keberagamaan adalah merupakan karunia Tuhan yang harus dimanfaatkan demi kesejahteraan umat manusia. Dalam hal hubungannya dengan alam semesta , pendidikan dalam Islam mengarahkan manusia untuk menjaga alam ini agar senantiasa lestari, dan memanfatkankan demi kebaikan umat manusia bukan sebaliknya menghancurkan dengan cara mengeksploitasi alam ini dengan tanpa memperhitungkan kerugian yang akan didapatkan dari pengrusakan alam itu sendiri.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada hakekatnya pendidikan Islam itu tidak lain adalah keseluruhan dari proses dan fungsi rububiyah Allah terhadap manusia, sejak dari proses penciptaan serta pertumbuhan dan perkembangannya secara bertahap dan berangsur-angsur sampai sempurna, sampai dengan pengarahan serta bimbingannya dalam pelaksanaan tugas kekhalifahan yang telah diamanatkan kepada manusia. Manusia sendiri bertanggung jawab untuk merealisasikan proses pendidikan Islam tersebut sepanjang kehidupan nyata di muka bumi ini. Dalam hal ini, setiap orang tua atau generasi mudanya dan membimbing serta mengarahkannya agar mereka mampu mewarisi dan mengembangkan tugas kekhalifahan tersebut secara berkesinambungan.

E.     Perjanjian antara Tuhan dan Manusia serta Implikasinya terhadap Pendidikan Islam.
Menurut Hasan Langgulung, kisah Adam jatuh ke dalam godaan sebab ia lupa sesuatu yang telah diajarkan kepadanya atau ia telah ketahui sebelum itu. Kedua-duanya, menurut pandangan Islam adalah sama. Yang pertama berkenaan dengan melupakan sifat-sifat Tuhan yang telah disebutkan sebelum ini. [135]
Menurut Al-Qur’an, Tuhan sebelum Adam a.s jatuh dalam godaan, telah mengajarkan kepada Adam akan nama-nama ....(Q.2:32). Nama-nama itu adalah sifat-sifat Tuhan, yang berjumlah 99, telah dilupakan oleh Adam a.s sewaktu  berada dalam godaan. Yang kedua berkenaan dengan perjanjian (mithaq) antara Tuhan dan umat manusia yang digambarkan dalam ayat Al-Qur’an berikut :




“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman).”Bukanlah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab:”Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”(Q.S. Al-A’raf”172)

Dari segi pandangan falsafah lanjut Langgulung, ayat ini menyatakan bahwa adalah wajar pada manusia atau sekurang-kurangnya sebahagian dari pada wataknya (nature) adalah menerima Tuhan sebagai Tuhan dan Penguasa. Malah ahli-ahli fikir Islam melangkah lebih jauh lagi dan menyatakan bahwa ayat ini bermakna, kelemahan manusia, dan posisi Tuhan sebagai penguasa yang telah diakui memberi kepada manusia itu wahyu sebagai petunjuk jalan hidupnya. Selanjutnya Dia berjanji membela orang-orang yang percaya kepada-Nya, firman Allah dalam Al-Qur’an :


“...Dan Kami telah berkewajiban menolong orang-orang yang beriman”(Q.S. Ar Rum:47)

Agar manusia mendapat petunjuk dalam mengurus Amanah, melaksanakan tugas dan kewajiban, dan terutama mengingatkan manusia kepada perjanjiannya dengan Tuhan, maka Tuhan mengutus wahyunya kepada manusia. Jadi wahyu itu merupakan peringatan untuk mengimbangi kelemahan manusia, yaitu sikap pelupa. [136] Manusia mudah lupa dan banyak salah, karena itu manusia disebut sebagai insan (bahasa Arab) serumpun dengan kata nisyan berarti lupa atau lalai.
Berkenaan dengan perjanjian Tuhan dengan manusia, bahwa manusia sejak diciptakan telah berjanji dengan menjadi saksi bahwa Tuhan yang sepatutnya disembah adalah Allah, konsekuensi dari hal ini manusia harus bertauhid kepada Allah, bahwa segala bentuk penyembahan dan penghambaan hanya untuk Allah. Dalam hal pendidikan dalam Islam diarahkan antara lain adalah menanamkan keimanan kepada setiap peserta didik. Bahwa segala apa yang dilakukan adalah semata-mata merupakan bentuk rasa keimanan kita kepada Allah, beriman kepada hal-hal yang gaib seperti adanya hisab, hari pembalasan , surga, neraka dan lain-lain[137]
 Allah juga berjanji kepada manusia bahwa Dia akan menolong kepada para hamba-Nya yang beriman, ini merupakan bukti bahwa Tuhan selalu berada didekat hambanya yang beriman apabila mendapat kesulitan dalam hidup. Hal ini memiliki implikasi  pada pendidikan Islam antara lain menumbuhkan sikap percaya diri dan rasa optimis dalam menjalankan syariat Allah dan sebagai pengemban amanah Allah yaitu sebagai khalifah Allah sekaligus sebagai hamba Allah yang selalu mengabdikan dirinya semata-mata hanya menginginkan keridlaan Allah Swt.
Dalam  pendidikan Islam pembentukan iman seharusnya dimulai sejak anak dalam kandungan, dan dilanjutkan dalam masa pertumbuhan.kemudian pembinaan pendidikan ibadah kepada anak-anak didik harus dilakukan dengan cara persuasi, mengajak dan membimbing anak untuk melaksanakan ibadah. Dalam hal ini peranan orang tua harus senantiasa mengawasi anak didik dalam masa perkembangan untuk selalu dibimbing dalam suasana keluarga yang mengesankan anak didik tentang pentingnya beribadah kepada Allah.[138]
           
           

BAB V
PENUTUP

Kesimpulan

1.      Konsep manusia menurut  kajian Hasan Langgulung terdiri dari berbagai konsep-konsep dasar meliputi konsep khalifah Allah di muka bumi yang mengandung potensi seperti fitrah manusia, Roh disamping pemenuhan kebutuhan jasmani, kebebasan kemauan manusia dan potensi akal pikiran. Konsep lainnya adalah tentang kejadian atau penciptaan manusia serta tujuan hidupnya, sifat-sifat asal manusia, konsep amanah manusia, dan terakhir perjanjian antara Tuhan dan manusia (mithaq).
2.      Mengenai implikasi konsep manusia menurut Hasan Langgulung adalah pada intinya, Pendidikan Islam dalam pada tujuan akhir (ultimate aim) adalah pembentukan pribadi khalifah bagi anak didik yang ciri-cirinya terkandung dalam konsep ‘ibadah dan amanah yaitu memiliki fitrah, roh disamping badan, kemauan yang bebas, dan akal. Dengan kata lain tugas pendidikan adalah mengembangkan keempat aspek ini pada manusia agar ia dapat menempati kedudukan sebagai khalifah.
Kelemahan daripada kajian Hasan Langgulung mengenai manusia antara lain dalam hal tulisan, Hasan Langgulung tidak menulis kajian tentang manusia secara utuh, tulisan yang ada tersebar dari berbagai tulisan dan buku. Dalam hal teknis pemaparan, Hasan Langgulung dalam mengungkapkan  tentang konsep manusia terjadi tumpang tindih dan tidak sistematik, mungkin dikarenakan luasnya wilayah kajian ini.  Bebrapa hal yang masih menjadi perdebatan adalah tentang konsep kebebasan kemauan manusia, Hasan Langgulung tidak dengan secara tegas menyatakan bahwa kebebasan yang Allah berikan kepada manusia. . Bahwa konsep khalifah Allah sudah cukup untuk menafikan wujud kebebasan itu sendiri. Dalam hal ini kebebasan yang diberikan Allah kepada manusia sifatnya terbatas, Hasan Langgulung lebih cenderung pada pemikiran Asy’ary yang mencoba mengsintesakan antara kehendak Tuhan dan kehendak manusia. Pemikiran ini menimbulkan ambivalensi, bahwa disatu sisi manusia diberikan kebebasan dalam berpikir dan berkehendak dan disini lain, peranan Tuhan sangat dominan dalam hal pembentukan perbuatan manusia, dengan memakai konsep iradat-Nya, sehingga dalam praktik pendidikan Islam, Langgulung terkesan ragu dan pessimistik. Hasan Langgulung juga mengakui bahwa konsep yang ia paparkan adalah sangat mendasar, maka ia menyatakan bahwa tulisan tidak dapat dijadikan sebagai bimbingan dan acuan yang jelas terhadap pendidikan Islam secara praktis. Untuk itu sangat diperlukan buku atau kajian yang lebih komprehensif lagi dalam mendukung kajian tersebut, sehingga didapatkan sebuah konsep pendidikan Islam yang benar-benar dapat dijalankan dan diterapkan di masyakarat.

 




[1] Peter Salim dan Yenni Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Modern English Press: Jakarta), 1991, hlm. 764.
[2] Kamus Filsafat, Tim Penulis Rosda, (Bandung: Rosda Karya, 1995) hlm.    56
[3] Peter Salim, Op.cit , hlm. 562
[4] Kamus Filsafat, Op.cit, hlm. 155
[5]  Amir Daien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1973) hlm. 27
[6] PNoeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta : Rake Sarasin, 2000) hlm. 7
[7] Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok  Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996) , hlm.
[8]  Abu Tauhied, Beberapa Asfek Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Fak Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1990), hlm. 14.
[9] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 92
[10] Zalaluddin, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, (Jakarta : Raja Grafindo, 1994), hlm. 13
[11] Syed Hussen, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam,(Crisis Muslim Education), terj. Rahman A,(Bandung: Gema Risalah, 1994) hlm. 58
[12] Jalaluddin , Filsafat Pendidikan, Op.Cit. halm.       14
[13] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Suatu Tinjauan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1997), hlm.12
[14]  Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), hlm. 10
[15] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, pengantar kepada metafisika buku ke tiga, (Jakarta :Bulan Bintang, 1996) hlm. 150.
[16] AT-Toumi As-Syaibani, Op.Cit, hlm. 11
[17] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidian, Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: AL Husna Zikra, 1986) hlm.5
[18] Chabib Thoha, dkk,Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Semarang: Pustaka Pelajar, 1996),hlm. 286
[19] Hasan Langgulung, Asas-Asas pendidikan Islam, (Jakarta : Al-Husna Zikra, 2000), hlm. 1
[20] Abdul Khaliq, dkk, Pemikiran pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) hlm.
[21] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang pendidikan Islam,  (Bandung :Pustaka AL-Ma’arif, 1995), hlm. 93
[22] Hasan Langgulung, Manusia dan pendidikan ,Op.cit.hlm.3
[23]  Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, ( Jakarta: Sri Gunting 1999), hlm.217.
[24] Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Quran, (Yogyakarta:Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992) hlm.  151.
[25] Muhammd Syamsuddin, Manusia dalam pandangan KH.A. Azhar Basyir, (Yogyakarta:Titian Ilahi Press,  1997, hlm. 95
[26] M.Junaedi, Pemikiran Pendidikan Islam Kontemporer (Studi  Atas Pemikiran Hasan Langgulung), tesis (Yogyakarta: Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga,1997), hlm.2
[27] Subaidi, Konsep pendidikan Islam Menurut Hasan Langgulung (Tinjauan Filosofis), Skripsi (Yogyakarta : Universitas Coktoaminoto Yogyakarta, 2000) hlm. 28-29
[28] Achmad Sudja’ie dalam tulisan Pemikiran Hasan Langgulung tentang pendidikan Islam, Pemikiran pendidikan Islam Tokoh Klasik dan Kontemporer, edit. Ruswan  Thoyib, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan IAIN Walisonong Semarang, 1999), hlm 33
[29] Muhammad Yasir Nasutionop.cit  hlm. 1
[30]  Musa Asy’ari, op.cit, hlm. 55
[31] Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab (Mesir: Dar al-Misriyah li at-Ta’lif wa at-Tarjamah, 1968),
jilid 1,p.889
[32] Jalaluddin, Teologi Pendidikan,(Jakarta: Rajawali Press, 2000) hlm. 18
[33] Muhaimin, dan  Abdul Mudjib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan Kerangka dasar Operasionalnya.( Bandung : Tri Genta, 1993) hlm 10
[34] Ibid, hlm. 11
[35] Jalaluddin,Op.Cit. hlm. 21
[36] Ibid, hlm.22
[37] Ibid, hlm. 26
[38] Musa Asy’ari, op.cit. hlm. 43
[39] ibid, hlm 44
[40] Abu Tauhid, op.cit. hlm 28
[41] Abdurrahman An Nahlawy, Pendidikan Islam di Rumah dan Masyarakat, (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hlm. 62
[42]  H. Musa Asyari,op.cit, hlm. 49
[43]  Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam , ( Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hlm. 201
[44] Muzayyin Arifin, pendidikan Islam dan Arus Dinamika Masyarakat,,(Jakarta:Golden Trayon Press, tt) hlm……
[45] Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta:  Andi Offset, 1987),hlm. 67
[46] Ibid, hlm. 81
[47] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan : Sistem dan Metode, (Yogyakarta: Andi Offset, 1997),
hlm. 89.

[48] Noeng Muhadjir, Metologi Penelitian Kuantitatif, edisi III (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998),
 hlm. 88
[49] ibid, hlm. 6
[50] Aisyah Abdurrahman (Bintus-Syathi’), Manusia sensitivitas Hermenutika Al-Qur’an, terj. M.Adib al-Arief, Yogyakarta : LKPSM, cet. 1997
[51] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta :Al-Husna Zikra)Hlm. 74-75
[52] ibid, Hlm. 57-58
[53] Ibid, hlm. 76-77
[54] Muzayyin Arifin, Pendidikan Islam dan Arus Dinamika Masyarakat, Jakarta: Golden Trayon Press, 1994, hlm 50
[55] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Op.cit,  Hlm. 78
[56] Musa Ay’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-Qur’an, Yogyakarta, Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992, hlm. 70-71
[57]Hasan Langgulung, manusia dan Pendidikan, Op.cit, hlm. 79
[58] Omar El-Toumy El-Syaibani, dalam tulisan Hasan Langgulung, Beberapa Aspek Tentang Pemikiran Pendidikan Islam,( PT. Al-Maarif, Bandung, 1995), hlm. 45
[59] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Op.cit.hlm.80
[60] Bintu Syathi, Op. Cit, hal. 77
[61] Ibid, hlm. 145
[62] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang pendidikan Islam, Op.cit. hlm.55
[63] Ibid, hlm. 61
[64] Abdurrahman An-Nahlawi,  Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta, Gema Insani Press, 1995, hlm.125
[65] Hasan Langgulung, Asas-Asas pendidikan Islam, Jakarta,Pustaka Al-Husna, 2000, hlm. 304
[66] Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, Jakarta, Pustaka Al Husna, 1990. hlm. 225
[67] Ibid, hlm. 227
[68] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Op. cit.  hlm. 4

[69] Hadari Nawawi, Hakikat Manusia Menurut Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), hlm. 80
[70] Syahminan Zaini, Mengenal Manusia Lewat Al-Qur’an, Surabaya. PT Bina Ilmu, 1984,
hlm. 9-10
[71] Wan Moh. Nor Wan Daud, Konsep Pengetahuan dalam Islam,  Jakarta, Pustaka, 1997, hlm. 17
[72] Muslim Ibrahim, Pendidikan Agama Islam untuk Mahasiswa, , Yogyakarta :Erlangga, 1990, hlm. 60.
[73] Muhaimin, Paradigma pendidikan Islam,  Bandung, Rosda Karya, 2002,. hlm. 59-65.
[74] Ibid, hlm. 61-62
[75] ibid, , hlm. 63-66.
[76] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Op. cit, hlm. 263
[77] Ibid, Hlm. 5
[78] Ibid, hlm. 6-7
[79] Ibid, hlm 7
[80] Ibid, hlm.8
[81]  Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta :Al-Husna Zikra)Hlm. 74-75

[82]  Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, Jakarta, Pustaka Al- Husna, 1985, hlm.214-215
[83]  Hasan Langgulung,Manusia …, Op.cit. hlm. 59
[84]  Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta, Rajawali Press,  2001
[85] Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam…..Op.Cit. hlm. 215
[86] Hasan Langgulung,  Pendidikan dan Peradaban Islam, Op.cit, hlm. 218
[87]  Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (kajian filosofik dan Kerangka Operasionalnya) Bandung, Trigenda, 1993. hlm. 29
[88] Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Op.Cit, hlm.36-43
[89] Hasan Langgulung, Manusia….., Hlm. 78
[90] Ibid, hlm. 364.
[91] Drs. Muhaimin, Pemikiran …, Op.cit. hlm. 53
[92]  Hasan Langgulung, Kreativitas dan pendidikan Islam, Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1991, hlm.268
[93] Ibid, hlm. 79
[94] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang pendidikan Islam, Bandung, Al-Ma’arif, 1995, hlm. 7
[95] Ibid, hlm. 45
[96] Ibid,  hlm. 44
[97] Ibid,hlm. 285
[98] Ahmad Warid Khan, Op. Cit. hlm. 202
[99] Ibid,  hlm. 282
[100]Abdurrahman Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan AL-Qur’an, Terj. H.M. Arifin dan Zainuddin, Jakarta, PT Rineka Cipta, 1994. hlm.84
[101] Ahmad, Warid Khan, , Membebaskan Pendidikan Islam, Yogyakarta, Wacana, 2002, hlm. 199
[102] Ibid, hlm. 200
[103] Muhammad Athiyah Al –Abrasyi, Ruh al-Islam, Mesir, Mathba’ah Lajnah al-Bayan al-Arabi, 1964, hlm 287
[104] Ahmad Warid, Khan, Op.cit, hlm. 2001- 205
[105] Prof. Dr. Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Mengahadapi Abad ke-21, Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1988, hlm. 63
[106] Ahmad Warid Khan, Membebaskan..,Op.cit,hlm. 205
[107] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos, 1997), hlm. 91
[108] Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, alih bahasa Hasan Langgulung, (Jakarta:Bulan Bintang, 1979), hlm. 533
[109] Hasan Langgulung, Kreativitas dan Pendidikan Islam, Op.Cit, hlm. 281
[110] Mian Muhammad Tufail, Iqbal’s Philosophy and Education, Lahore: The Bazm Iqbal, 1966, hlm. 119
[111] Ibid, hlm.121
[112] Muhammad Qutb, Manhaj al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Kairo: Dar asy-Syuruq, 1993), hlm. 180-207.
[113] Abdurrahman Shalih Abdullah, Teori-teori pendidikan dalam Al-Qur’an, Op.cit, hlm. 90
[114] Ibid, hlm. 91
[115] Abdurrahman Ma’ud, Reward and Punishment in Islamic Education, dalam International Journal Ihya ‘Ulum al-Din, Vol. 2.No. 1, februari 2000, (Semarang:IAIN Walisongo), hlm. 93
[116] Ibid,
[117] Abdurrahman An-Nahlawi,  Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta, Gema Insani Press, 1995, hlm.125
[118] Hasan Langgulung, Asas-Asas pendidikan Islam, Jakarta,Pustaka Al-Husna, 2000, hlm. 304
[119] Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, Op.cit. hlm. 225
[120] Ibid, hlm. 227
[121] Hasan Langgulung, Manusia …,Op.cit, hlm 366
[122]Muhaimin, Paradigman Pendidikan Islam, Bandung, Rosda Karya,  2002, hlm. 19
[123] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Jakarta, Mizan, 1995, hlm.
[124]  Muhaimin, Op.cit, , hlm. 11
[125] ibid, hlm. 4
[126] Muslim Ibrahim, Pendidikan Agama Islam untuk Mahasiswa, , Yogyakarta :Erlangga, 1990, hlm. 60.
[127] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan . Op.cithlm. 58-59
[128] Athiyah Al-Abrasyi, Al-Tarbiyah Al-Islamiyah wa Falasifatuha, Kahisan : Issa al-Babi al-Halabi, 1969, hlm. 70
[129] Drs. Muhaimin, Paradigma..., Op.cit, hlm. 24
[130] Hasan Langgulung, Manusia....,Op.cit, hlm.263
[131] Hasan Langgulung, Manusia, Ibid, hlm. 263
[132] Ibid, hlm. 5
[133] Ibid, hlm. 8
[134] Ibid, hlm. 6
[135] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan,  Op.cit, hlm. 8
[136] Ibid, hlm.8
[137] M. Ja’far, Beberapa Asfek Pendidikan Islam, Surabaya,  Al-Ikhlas, 1981, hlm. 104
[138]  Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Bandung, CV Ruhama, 1994, hlm. 60

Komentar

Postingan Populer