FIRQAH SYI’AH DAN MU’TAZILAH

FIRQAH SYI’AH DAN MU’TAZILAH

Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Teologi Islam”

Dosen Pengampu:
Dr. Mohammad Arif, MA.
Description: Description: Description: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kediri (C)
 









Oleh:
M. USMADI HAMBALI                  (932110712)
                       





JURUSAN TARBIYAH
PRODRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
 (STAIN) KEDIRI
2013


BAB I
PENDAHULUAN
A.       LATAR BELAKANG
Persoalan serta kekacauan politik pasca wafatnya Rasulullah disinyalir merupakan faktor terjadi perpecahan-perpecahan ditubuh umat Islam sendiri. Perbedaan pandangan politik ini kemudian memunculkan firqah-firqah seperti syiah, Mu’tazilah, dan Khawarij.
Dalam sejarah, juga tidak pernah ditemukan keterangan yang jelas, apakah Rasulullah Saw. menunjuk siapa yang berhak menjadi khalifah atau pemimpin umat Islam setelah beliau wafat. Beliau juga tidak pernah menjelaskan bagaimana sistem atau cara memilih seorang khalifah sehingga pada saat itu umat Islam menghadapi masalah yang sangat besar. Umat Islam dituntut menyelesaikan perseolan ini dengan baik, karena hal ini sangat menentukan keberhasilan umat Islam dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, baik dibidang politik, agama dan yang lainnya.
B.       RUMUSAN MASALAH
                  1.            Siapa firqah syiah itu dan bagaimana sejarah kemunculannya ?
                  2.            Serta bagaimana perkembangannya ?
                  3.            Firqah Mu’tazilah serta sejarahnya ?
                  4.            Apa saja ajaran pokoknya ?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    FIRQOH SYI’AH
                1.       Sejarah Timbulnya
Syi’ah menurut bahasa bermakna pengikut, pendukung, partai atau kelompok. Dalam pengertian ilmu kalam, Syi’ah bermakna golongan Islam yang mempunyai keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah satu-satunya sahabat yang paling berhak menjadi khalifah[1] karena Nabi Muhammad Saw. Pernah berwasiat bahwa pengganti beliau setelah wafat adalah Ali bin Abi Thalib. Menurut Zainal Abidin al-Alawi al-Husaini, Syi’ah adalah golongan umat islam yang mengaku mencintai ahlu al-bait. Syi’ah yang mengakui sebagai golongan yang mencintai pada ahlu al-bait, menyatakan berlepas diri dari Abu Bakar, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, serta secara terang-terangan mencaci mereka.
Secara umum ada lima doktrin pokok yang dibicarakan oleh aliran ini, yaitu persoalan imamah, mahdiyah, raj’ah, bada’ dan taqiyyah, yang akan dijelaskan masing-masing sebagai berikut :
                           a.     Imamah
Imamah dalam pandangan syi’ah merupakan doktrin yang menjadi dasar paling asasi dari doktrin-doktrin yang lain. Doktrin ini pula yang menjadi pembeda antara syi’ah dan aliran selainnya. Setiap ajaran, akidah dan fatwa syiah sebenarnya untuk mendukung doktrin ini.
Syiah meyakini bahwa Imamah tidak dapat dilahirkan dari musyawarah seperti Khilafah dalam islam. Sebab, imamah merupakan penerus kenabian yang dasar-dasarnya bersumber dari nash Ilahy (teks-teks ketuhanan). Menurut mereka, dalil-dalil inilah yang menentukan keterangkatan para imam. Mereka meyakini bahwa Nabi Muhammad telah menunjuk Ali bin Abi Thalib secara langsung sebagai pemimpin umat Islam setelah beliau.
Diantara doktrin syiah yang terkait dengan imamah adalah ‘Ishmah Al-Imam’ (keterjagaan imam dari segala kesalahan, lupa dan dosa). Doktrin ini merupakan salah satu pondasi ajaran mereka, sekaligus penunjang doktrin imamah. Ishmah al-imam, berarti kepercayaan imam Syiah telah dijamin oleh Allah dari segala bentuk perbuatan salah dan dosa. Dalam hal ini para imam Syiah tidak berbeda dengan para Nabi, yang juga memiliki sifat Ishmah. Sebab, menurut mereka, jika ishmah tidak ada pada para imam, maka akan timbul keraguan dalam ajaran-ajaran yang mereka bawa[2].
                           b.     Mahdiyyah
Mahdiyyah (percaya akan keberadaan Imam Mahdi  dan kebangkitannya) juga menjadi salah satu doktrin yang menopang Imamah. Doktrin Imam Mahdi tidak hanya dimiliki Syiah, Ahlussunnah wa al-jama’ah juga mengakui bahwa kelak muncul sosok penegak keadilan yang berjuluk Imam Mahdi. Namun, doktrin al-Mahdi versi Syiah tidak sama dengan al-Mahdi dalam pandangan ahlussunnah wa al-Jama’ah, baik dalam kepribadian, misi atau hal-hal yang dilakukannya.
Berbeda dengan al-Mahdi versi Syiah, secara umum al-Mahdi versi Ahlussunnah wa al-Jama’ah, adalah seorang laki-laki yang shalih, bernama Muhammad bin Abdillah. Berasal dari bangsa Quraisy dan keturunan Hasan. Beliau muncul menjelang hari kiamat. Akan berlindung di Mekkah dan dibaiat didepan Ka’bah, antara rukun Yamani dan maqam Ibrahim. Al-mahdi akan menjadi pemimpin yang adil dan memberlakukan hukum islam hingga terciptalah kedamaian dimuka bumi[3].
                            c.     Inkarnasi
Dalam syiah raj’ah atau inkarnasi merupakan kelanjutan dari episode al-Mahdi. Menurut keyakinan mereka, semua imam-imam mereka dan orang-orang yang memusuhinya pasca kedatangan al-Mahdi akan dibangkitkan kembali dari kematian. Mereka akan berhadap-hadapan dalam pertempuran. Para imam akan membunuh Abu Bakar, Umar, Utsman, Mu’awiyah dan para sahabat yang lain yang dianggap telah merampas kepemimpinan dari tangan Ali bin Abi Thalib. Dikisahkan oleh Syiah, dalam pertempuran itu akan dipimpin langsung oleh Ali bin Abi Thalib.
Dengan demikian, Raj’ah dalam pandangan Syiah bukanlah kebangkitan dari kubur pada hari kiamat seperti keyakinan Ahlussunnah Wa al-Jama’ah. Raj’ah versi mereka adalah kebangkitan dari alam kubur kealam dunia, untuk melakukan prosesi balas dendam[4].
                           d.     Bada’
Bada’ dapat diartikan “timbulnya pemikiran baru”. Misalnya kita telah mengambil keputusan dengan berbagai pertimbangan yang matang. Hasil keputusan ini kemudian dipublikasikan agar menghasilkan karya yang nyata. Namun, tidak lama berselang, terlintas dalam benak pikiran kita bahwa keputusan yang kita ambil ternyata kurang tepat sehingga mengharuskan untuk menghapus keputusan tadi dan mengganti dengan gagasan baru.
Al-Syahrastani menyatakan doktrin ini pertama kali dikembangkan oleh Mukhtar bin Abi Ubaid al-Tsaqafi tatkala dirinya mengaku dapat mengetahui peristiwa yang akan terjadi pada masa yang akan datang, baik melalui wahyu atau melalui surat yang dikirimkan oleh imam kepadanya. Dalam kelanjutannya, jika peristiwa yang diinformasikan sesuai dengan realita, maka hal itu akan dijadikan sebagai buku kebenaran pengakunnya. Namun, jika sebaliknya ia akan mengatakan, “Allah telah menghendakki bada’”[5].
                            e.     Taqiyyah
Sebenarnya doktrin ini memiliki rujukan dalam islam. Pada masa Rasulullah, taqiyyah memang digunakan dalam keadaan terpaksa saat menghadapi orang kafir. Al-Quran juga membenarkan seseorang mengucapkan kata-kata kufur jika jiwa dan harta bendanya terancam :
`tB txÿŸ2 «!$$Î/ .`ÏB Ï÷èt/ ÿ¾ÏmÏZ»yJƒÎ) žwÎ) ô`tB on̍ò2é& ¼çmç6ù=s%ur BûÈõyJôÜãB Ç`»yJƒM}$$Î/ `Å3»s9ur `¨B yyuŽŸ° ̍øÿä3ø9$$Î/ #Yô|¹ óOÎgøŠn=yèsù Ò=ŸÒxî šÆÏiB «!$# óOßgs9ur ëU#xtã ÒOŠÏàtã ÇÊÉÏÈ      
106. Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (Q.S. al-Nahl: 106)
Namun, taqiyyah yang diterapkan Syiah ternyata tidak sejalan dengan maksud al-Quran. Taqiyyah justru digunakan ketika mereka berhadapan dengan islam mayoritas yakni Ahlussunnah wa al-Jama’ah. Hal ini karena menurut mereka Ahlussunnah wa Al-Jama’ah lebih jelek dari Yahudi dan Nashrani. Jika teliti, ada tiga keganjilan Taqiyyah yang mereka terapkan :
1.      Taqiyyah tidak diposisikan sebagai kemurahan tapi sebagai rukun agama.
2.      Taqiyyah tidak diterapkan untuk menjaga keimanan dari ancaman orang kafir, tapi untuk menyembunyikan keyakinan yang ganjil dari kelompok muslim mayoritas.
3.      Taqiyyah lebih dari sekedar kebutuhan temporal, tapi merupakan kewajiban yang harus dilakukan secara kontiyu tanpa terputus waktu[6].

B.     Pecahan-pecahan Syi’ah
             1.     Syi’ah Zaidiyah
Aliran ini merupakan pengikut Zaid bin Ali bin Al-Husein bin Ali bin Abi Thalib. Mereka meyakini bahwa Zaid bin Ali adalah imam mereka yang kelima. Mereka sangat berpegang pada ajaran-ajaran yang disebarluaskan oleh Zaid bin Ali. Dari sinilah mereka disebut Syiah Zaidiyah. Aliran ini merupakan salah satu golongan Syiah yang moderat dan paling dekat dengan Mazhab Ahlussunah Wal Jamaah. Hingga saat ini aliran Syiah Zaidiyah masih ada dan terdapat dinegara Yaman.
Zaid bin Ali sebagai imam kelima, menurut anggapan Zaidiyah, pernah belajar ilmu akidah pada Washil bin Atho’, seorang pendiri aliran Mu’tazilah. Hampir seluruh doktrin-doktrin yang dikembangkan oleh aliran ini mengkuti paham Mu’tazilah. Hal ini sangat Wajar karena Zaid bin Ali sangat tertarik dengan pemikiran-pemikiran Washil bin Atha’. Washil sendiri pernah menyatakan bahwa kakek Zaid bin Ali, yakni Ali bin Abi Thalib yang pada saat itu terlibat dalam perselisihan politik Islam, berada di posisi yang benar. Sedangkan, orang-orang yang menentang Ali bin Abi Thalib berada di pihak yang salah.
Dalam perkembangannya pada masa khalifah Malik bin Marwan, Zaid bin Ali terbunuh akibat pengangkuannya menjadi imam. Selanjutnya, Zaid bin Ali digantikan oleh putranya yang bernama Yahya bin Zaid. Dalam melanjutkan sepak terjang ayahnya, ia mengalami nasib yang sama, yaitu mati terbunuh pada tahun 125 H[7].
Doktrin-doktrin Imamah menurut Syiah Zaidiyah adalah :
a.  Dalam persoalan politik atau imamah,  Zaid bin Ali setuju dengan doktrin imamah al-Mafdhul. Artinya seseorang dapat dipilih sebagai pemimpin meskipun ia mafdhul (bukan yang terbaik) dan pada saat yang bersamaan ada orang yang afdhal atau terbaik. Doktrin ini dikembangkan Zaidiyah sebagai upaya untuk mempertahankan keyakinan mereka bahwa Ali bin Abi Thalib leih utama dari pada Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Realita yang ada, ternyata Ali bin Abi Thalib tidak dibaiat oleh umat Islam sebagai khalifah yang pertama. Kenyataan ini dijawab mereka dengan menggunakan doktrin imamah al-mafdhul. Dengan demikian mereka menganggap bahwa kepemimpinan Abu Bakar dan Umar bin Khattab adalah sah, meskipun derajat mereka berdua berada dibawah Ali bin Abi Thalib. Mereka menolak anggapan aliran-aliran syiah yang lain yang mengatakan bahwa seorang imam harus ditentukan dengan nash. Menurut mereka, setiap keturunan Fatimah yang mempunyai ilmu pengatahuan, zuhud, berjiwa pemberani, pemurah, mempunyai kemampuan untuk berperang sebagai upaya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan adalah mempunyai hak dan sah menjadi imam yang ditaati.
b. Mereka juga berpendapat bahwa seorang imam tidak hanya berfungsi sebagai pemimpin dalam urusan agama, tapi juga berfungsi sebagai pemimpin dibidang politik. Artinya, seorang imam tidak cukup hanya memiliki kekuatan rohani yang diperlukan oleh pemimpin keagamaan, namun ia harus bersedia melakukan perlawanan-perlawanan terhadap musuh demi mewujudkan cita-citanya[8].
c.  Orang-orang Zaidiyah berkeyakinan bahwa orang yang berdosa besar kekal dalam neraka, selama dia tidak bertobat dengan taubat yang sebenarnya[9].
             2.     Syiah Kaisaniyah
Syiah Kaisaniyah adalah pengikut Mukhtar bin Abi ‘Ubad Ats-Tsaqafi (67 H), seorang tokoh syiah yang sangat berambisi menuntut balas atas kematian Husein bin Ali di padang Karbala. Mukhtar bin Abi ‘Ubad sering disebut dengan kaisan sesuai dengan nama  aliran yang didirikannya. Sebagian menyatakan bahwa Mukhtar bin Abi ‘Ubad mengambil doktrin-doktrin agama dari seorang hamba sahaya Ali bin Abi Thalib yang bernama kaisan. Dari sinilah, muncul nama Syiah Kaisaniyah. Pada mulanya, ia adalah seorang pengikut Khawarij, kemudian keluar menjadi pengikut Syiah.
Pengikut Kaisaniyah beranggapan bahwa Imam pengganti Ali adalah Muhammad al-Hanfiyah. Sebab ketika ketika terjadi perang jamal, Sayyidina Ali menyerahkan bendera pasukan kepadanya.
Pokok-pokok ajaran syiah Kaisaniyah dapat diringkas sebagai berikut[10] :
         a.          Mereka tidak percaya adanya roh Tuhan yang menetes kedalam tubuh Sayyidina Ali, seperti kepercayaan orang-orang Sba’iyah.
        b.          Mereka mempercayai kembalinya Imam (raj’ah) setelah meninggalnya. Bahkan kebanyakan pengikut Kaisaniyah percaya bahwa Muhammad bin Hanafiyah itu tidak meninggal, tetapi masih hidup bertempat digunung Radhwa.
         c.          Mereka beranggapan bahwa Allah Swt. itu mengubah kehendak-Nya menurut perubahan ilmu-Nya. Allah Swt. memerintah sesuatu, kemudian memrintah pula sebaliknya.
        d.          Merek mempercayai adanya reinnkarnasi (tanasukh al-arwah). Reinnkarnasi adalah keluarnya roh dari suatu jasad, dan menitisnya kembali ke dalam jasad yang lain. Kepercayaan reinnkarnasi itu diambil dari filsafat Hindu. Mereka berkepercayaan seperti itu, sesungguhnya roh disiksa dengan berpindah ke tubuh binatang yang lebih rendah dari roh itu diberi pahala dengan berpindahnya ketingkat yang lebih tinggi.
         e.          Agama menurut mereka adalah ketaatan kepada imam. Mereka menganggap bahwa ajaran-ajaran agama seperti, shalat, puasa, dan zakat, tidak perlu dilaksanakan jika sudah patuh dan taat terhadap imam[11].
             3.     Syiah Imamiyah
Syaih Imamiyah merupakan salah satu aliran syiah yang mempunyai masa paling besar dan masih bertahan hingga kini di negara Iran. Dua pertiga warga negara Iran menganut aliran ini. Bahkan, Syiah Imamiyah menjadi akidah resmi negara Iran. Tidak hanya itu, berdasarkan fakta, hampir setengan warga Irak, ratusan ribu warga negara Lebanon, serta jutaan warga india menganut paham syiah Imamiyah.
Syiah Imamiyah meyakini bahwa pengangkatan imam adalah salah satu rukun Islam. Mereka sangat berpegang teguh terhadap keyakinan ini. Mereka mejadikan doktrin imamah sebagai prinsip dasar teologi mereka. Berikut beberapa ajaran mereka tentang Imam :
                a.   Imam menurut mereka adalah ma’shum (tidak melakukan kesalahan), suci dari dosa sebagaimana nabi. Mereka menyakatakan bahwa imam harus terjaga dari seluruh kesalahan, dosa dan kelalaian. Bahkan, sebagian mereka berpendapat, jika ternyata imam terbukti melakukan kesalahan atau dosa, maka perbuatannya bukan merupakan sebuah kesalahan.
               b.   Imam harus ditunjuk dan dipilih berdasarkan nash. Syiah Imamiyah meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib di angkat menjadi khalifah atau imam berdasarkan nash dari Rasulullah. Dalam hal ini, mereka sependapat dengan doktrin wishayah yang dikembangkan oleh Abdullah bin Saba’, tokoh syiah Ghullah.
                c.   Mereka juga meyakini bahwa sahnya seorang imam harus ditentukan oleh imam terdahulu atau sebelumnya.
             4.     Syiah Ghulat
Istilah Ghulat berasal dari kata ghala-yaghlu-ghuluw artinya bertambah dan naik. Syiah Ghulat adalah kelompok pendukung Ali yang memiliki sikap berlebihan atau ekstrim. Lebih jauh lagi, Abu Zahrah menjelaskan bahwa syiah Ghulat adalah kelompok yang menempatkan Ali pada derajat ketuhanan, dan ada yang mengangkat pada derajat kenabian, bahkan lebih tinggi dari nabi Muhammad.
Gelar ekstrim yang diberikan kepada kelompok ini berkaitan dengan pendapatnya yang janggal, yakni ada beberepa orang yang secara khusus dianggap Tuhan dan juga beberapa orang yang dianggap Rasul setelah Nabi Muhammad.
Menurut Syahrastani, ada empat doktrin yang membuat mereka ekstrim, yaitu tanasukh, bada’, raj’ah dan tasbih. Tanasukh  adalah keluarnya roh dari satu jasad dan mengambil tempat pada jasad yang lain. Faham ini diambil dari falsafah agama Hindu. Penganut agama Hindu berkeyakinan bahwa roh disiksa dengan cara berpindah ke tubuh hewan yang lebih rendan dan diberi pahala dengan cara berpindah dari satu  kehidupan kepada kehidupan yang lebih tinggi.
Bada’ adalah keyakinan bahwa Allah mengubah kehendak-Nya sejalan dengan perubahan ilmu-Nya, serta dapat memerintahkan suatu perbuatan kemudian memerintahkan sebaliknya. Syahrastani menerangkan lebih lanjut bahwa bada’ dalam pandangan syiah Ghulat, mempunyai beberapa arti. Bila berkaitan dengan ilmu, artinya menampakkan sesuatu yang bertentangan dengan yang diketahui Allah. Bila berkaitan dengan perintah, artinya memerintahkan hal lain yang bertentangan dengan perintah sebelumnya. Faham ini dipilih oleh al-Mukhtar ketika mendakwakan dirinya mengetahui hal-hal yang akan terjadi, baik melalui wahyu yang diturunkan kepadanya atau melalui surat dari Imam. Jika ia menjanjika kepada pengikutnya akan terjadi sesuatu, lalu hal itu benar-benar terjadi seperti yang diucapkannya. Namun, jika terjadi sebaliknya, ia mengatakan bahwa Tuhan menghendaki bada’.
Raj’ah ada hubungannya dengan mahdiyah. Syiah Ghulat mempercayai bahwa mempercayai bahwa imam mahdi al-Muntadzar akan datang kebumi. Faham raj’ah dan mahdiyah ini merupakan ajaran seluruh aliran Syiah. Namun, mereka berbeda pendapat tentang siapa yang akan kembali. Sebagian menyatakan bahwa yang akan kembali itu adalah Ali. Sedangkan sebagian yang lainnya menyatakan Ja’far Ash-Shadiq, Muhammad al-Hanafiyah, bahkan ada yang mengatakan Mukhtar Ast-Tsaqafi.
Tasbih artinya menyerupakan, mempersamakan. Syiah Ghulat menyerupakan salah seorang imam mereka dengan Tuhan atau menyerupakan Tuhan dengan Makhluk. Tasbih ini diambil dari faham hululiyah dan tanasukh dengan khalik.
Hulul artinya Tuhan berada pada setiap tempat, berbicara dengan semua bahasa, dan ada pada setiap individu manusia. Hulul bagi Syiah Ghulat berarti Tuhan menjelma dalam diri imam sehingga imam harus disembah[12].


C.    FIRQOH MU’TAZILAH
             1.     Sejarah Kemunculannya
Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang artinya berpisah atau memisahkan. Juga dapat pula diartikan “menjauh” atau “menjauhkan diri”. Mengikuti makna ini Mu’tazilah merupakan golongan islam yang menjauhkan atau memisahkan diri dari mayoritas umat Islam. Mu’tazilah dalam pengertian pertama, mengambil dari peristiwa Washil bin Atha’ yang wafat pada tahun 131 H. Pendiri aliran ini yang memisahkan dari gurunya seorang tokoh tabiin Hasan al-Bashri.
Sejarah kemunculan aliran Mu’tazilah menurut banyak kalangan diprakarsai oleh perdebatan antara Washil bin Atha’ dan Hasan al-Bashri dalam masalah status orang islam yang melakukan dosa besar.
Diceritakan, pada suatu seperti biasa Hasan al-Bashri dimasjid Bashrah dalam pengajiannya menjelaskan status orang islam yang  melakukan dosa besar. Hasan menjelaskan bahwa orang itu tetap beriman kepada Allah dan rasul-Nya meskipun tergolong mukmin yang durhaka. Sehingga bila ia tidak bertaubat sebelum datangnya ajal, maka dia akan dimasukan kedalam neraka untuk sementara, kemudian dimasukkan kedalam surga bersama para muslim dan mukmin yang lainnya. Washil menolak pendapat Hasan ini. Ia menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar bukanlah mukmin dan bukan kafir, tapi berada diantara dua posisi (manzilah baina Manzilatain), yaitu kafir dan mukmin. Setelah berkata demikian, Washil bersama temannya ‘Amar bin Ubaid membentuk perkumpulan sendiri, tapi masih dimajlis tersebut. Ketika Washil dan ‘Amar keluar, Hasan berkata, “i’tazala ‘anna” (Washil menjauhkan diri dari kita). Sejak itulah, Washil dan pengikutnya dinamakan Mu’tazilah[13].
             2.     Lima Ajaran Pokok Mu’tazilah
Dalam aliran Mu’tazilah, dikenal dengan konsep teologi yang mereka namakan al-Ushul al-Khamsah atau lima ajaran pokok. Keberadaan ajaran ini merupakan pijakan dasar kaum Mu’tazilah dalam berteologi. Konsep lima ajaran pokok ini pertama dikenalkan oleh Washil bin Atha’ yang terus mengalami perkembangan dalam segi penjelasan dan penguatan argumen-argumen pada masa-masa setelah Washil, terutama sejak penerjemahan karya-karya yunani pada Abasiyyah.
        a.          Tauhid
Sebenarnya ajaran ini juga menjadi ajaran aliran-aliran yang lain. Tauhid mempunyai bahwa Tuhan adalah maha esa. Tidak ada sekutu baginya. Bedanya, menurut kaum Mu’tazilah, tauhid tidak hanya diartika Tuhan adalah dzat yang maha esa dan tidak ada sekutu baginya, tapi Tuhan harus benar-benar disucikan dari hal-hal yang dapat mengurangi keesaannya. Tuhannlah satu-satunya yang esa. Artinya, Tuhan tidak memeliki sifat Ma’ani yang qadim seperti ‘ilmu (pengetahuan), qudrat (kekuasaan), sama’ (mendengar), bashar (melihat), dan sifat-sifat Allah yang lainnya yang disebutkan didalam al-Quran. Dia Maha melihat, mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya. Namun, mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya itu bukan sifat melaikan dzatnya. Menurut mereka sifat adalah sesuatu yang melekat[14]
Washil bin Atha’ menjelaskan, jika tuhan mempunyai sifat-sifat yang qadim seperti pengetahuan, kekuasaan, dan yang lainnya, maka akan muncul konsep ta’addu al-qudama (beberapa dzat yang qadim) atau akan ada sesuatu qadim lebih dari satu, meka ia telah menyekutukan Allah dan tidak percaya akan keesaan Tuhan. Hal ini tidak dapat diterima karena termasuk perbuatan yang syirik dan menodai keesaan Tuhan.
        b.          Keadilan
Ajaran ini juga dimiliki oleh aliran-aliran yang lain. Namun, konsep keadilan Tuhan dari Mu’tazilah berbeda dengan aliran-aliran yang lain, terutama Ahlussunnah. Mereka mengartikan keadilan sebagai Tuhan tidak pernah berbuat buruk atau jahat kepada hamba-Nya. Segala sesuatu yang dilakukan Tuhan adalah baik. Tuhan hanya memerintahkan sesuatu yang baik dan melarang hamba-Nya berbuat kejahatan. Jika tampak pada manusia sesuatu yang buruk atau jahat, maka hal itu disebabkan ketidakmampuan manusia itu sendiri mengetahui hikmah-hikmah ketuhanan. Dan konsep keadilan ini memunculkan teori  as-shalah wa al-ashlah atau Allah Wajib berbuat baik dan terbaik kepada hamba-Nya. Maksudnya, Tuhan wajib memasukkan hamba yang berbuat baik ke dalam surga dan hamba yang berbuat jahat ke dalam neraka. Inilah arti keadilan Tuhan menurut Mu’tazilah. Jika tuhan memasukkan hamba yang berbuat baik ke dalam neraka dan memasukkan hamba-Nya yang berbuat jahat ke dalam surga, berarti Tuhan Adalah penjahat dan zalim. Ini tentu saja mustahil bagi Tuhan.
         c.          Janji Dan Ancaman Tuhan
Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan wajib memenuhi dan tidak boleh melanggar janji-Nya. Menurut mereka hamba Tuhan yang berbuat baik pasti mendapatkan pahala dan masuk sebab Tuhan telah berjanji akan memberikan pahala kepada hamba yang berbuat baik. Tuhan tidak akan mengingkari janji-Nya. Tuhan juga harus menyiksa orang-orang yang tidak taat dan berbuat dosa sebab Tuhan telah mengancam mereka dengan neraka.
        d.          Posisi Diantara Dua Posisi
Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang yang beriman yang melakukan dosa besar. Seperti tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap orang tersebut kafir bahkan musyrik, sedangkan Murji’ah orang itu tetap muknin dan dosanya diserahkan kepada Tuhan. Boleh jadi tersebut diampuni oleh Tuhan[15].
Washil bin Atha’ menjelaskan arti ajaran ini bahwa orang islam yang berbuat dosa besar bukanlah kafir juga bukan mukmin, tapi ia menempati posisi di antara kafir dan mukmin. Dalam ajaran mereka disebut fasiq. Dan orang yang demikian ini, bila meninggal dunia sebelum bertaubat, maka ia akan dimasukkan kedalam neraka untuk selama-lamanya, tapi tidak sama dengan neraka yang ditempati oleh orang kafir. Sehingga siksaannya lebih ringan dari pada siksaan orang kafir. Inilah yang dimaksud dengan posisi di antara dua posisi, yaitu posisi di antara surga dan neraka.
         e.          Al-‘Amr bi al-Ma’ruf wa an-nahy ‘an al-Munkar
Ajaran ini sebenarnya juga dimiliki oleh aliran lain. Perbedaannya adalah pada metode dan tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, ajaran ini boleh dilakukan dengan menggunakan kekerasan jika diperlukan. Sehingga, ajaran ini sangat berpotensi menimbulkan kekerasan, kekacauan dan kezaliman. Sejarah telah mencatat bahwa kaum Mu’tazilah pernah menyiksa atau bahkan membunuh ribuan ulama besar dalam “peristiwa al-Quran Makhluk”. Imam Ahmad bin Hanbal pendiri mazhab Hanbali, pernah disiksa dalam penjara selama 15 tahun akibat peristiwa ini[16].


BAB III
KESIMPULAN
Syi’ah adalah golongan Islam yang mempunyai keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah satu-satunya sahabat yang paling berhak menjadi khalifah. Hal ini menimbulkan perdebatan sebab Rasulullah tidak pernah menjelaskan siapa yang akan menjadi khalifah setelah beliau wafat.
Syiah terpecah menjadi empat golongan. Yaitu Zaidiyah, Imamiyah, Kaisaniyah, dan Syiah Ghulat.
Mu’tazilah adalah golongan Islam yang menjauhkan atau memisahkan diri dari mayoritas umat Islam. Mu’tazilah dalam pengertian pertama, mengambil dari peristiwa Washil bin Atha’ yang wafat pada tahun 131 H.
Sejarah kemunculan aliran Mu’tazilah menurut banyak kalangan diprakarsai oleh perdebatan antara Washil bin Atha’ dan Hasan al-Bashri dalam masalah status orang islam yang melakukan dosa besar.
Mu’tazilah memiliki lima ajaran pokok yang mereka namakan al-Ushul al-Khamsah yaitu, tauhid, keadilan, janji dan ancaman, posisi di antara dua posisi, dan amar ma’ruf dan nahi munkar.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rozak dan Rosihun Anwar, Ilmu Kalam, Bandung, Pustaka Setia, 2011.
Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, Surabaya, Bina Ilmu, 2007.
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Jakarta, Raja Grafindo Perseda, 2012.
Tim Karya Ilmiah Lirboyo 2008, Aliran-aliran Teologi Islam, Kediri, Lirboyo Press, 2008.








[1] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta, Raja Grafindo Perseda, 2012), 72.
[2] Reza Pahlevi Dkk, Aliran-aliran Teologi Islam, (Kediri, Lirboyo Press, 2008), 114.
[3] Ibid,. 115

[4] Ibid., 117.
[5] Ibid., 118.
[6] Ibid., 119.
[7] Tim Karya Ilmiah Lirboyo 2008, Aliran-aliran Teologi Islam, (Kediri, Lirboyo Press, 2008), 120.
[8] Abdul Rozak dan Rosihun Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung, Pustaka Setia, 2011), 102-103.
[9] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta, Raja Grafindo Perseda, 2012), 114.
[10] Sahilun A. Nasir, ibid, 108-109.
[11] Tim Karya Ilmiah Lirboyo 2008, ibid, 123.
[12] Abdul Rozak dan Rosihun Anwar, Ibid, 106-107.
[13] Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, (Surabaya, Bina Ilmu, 2007), 37.
[14] Abdul Rozak dan Rosihun Anwar, Ibid, 80.
[15] Abdul Rozak dan Rosihun Anwar, Ibid, 85.
[16] Tim Karya Ilmiah Lirboyo 2008, ibid, 153.

Komentar

Postingan Populer