PSIKOLOGI AGAMA


BAB I
PENDAHULAN
  1. Latar Belakang
Psikologi Agama  merupakan bidang ilmu membahas tentang ilmu jiwa kegamaan seseorang, pengaruh ajaran agama terhadap kehidupan keagamaan seseorang. Psikologi agama juga cabang dari ilmu psikologi dan menjadi bidang otonom sendiri melalui perjalanan sejarah yang sangat panjang.
Sikap keberagamaan pada orang dewasa memiliki perspektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu, sikap keberagamaan ini umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengartian dan perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya. Beragama, bagi orang dewasa sudah merupakan sikap hidup dan bukan sekedar ikut-ikutan. Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai perkembangan rasa kesadaran dan kematangan beragama pada orang dewasa dan usia lanjut.

  1. Rumusan Masalah
                              1.       Bagaimana perkembangan psikologi agama?
                              2.       Bagaimana kesadaran keagamaan orang dewasa dan usia lanjut?



BAB II
PEMBAHASAN
A.       Perkembangan Psikologi Agama
Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa psikologi agama merupakan cabang dari psikologi. Sebelum menjadi ilmu yang otonom, psikologi agama memiliki latar belakang sejarah perkembangan yang cukup lama. Karena itu, psikologi agama dinilai sebagai cabang psikologi yang relatif masih muda.
                  1.                         Sejarah perkembangannya
Untuk menetapkan secara pasti kapan psikologi agama dimulai dipelajari memang terasa agak sulit. Baik dalam kitab suci, maupun sejarah tentang agama-agama tidak terungkap secara jelas mengenai hal itu. Namun demikian, walaupun tidak secara lengkap, ternyata permasalahan yang menjadi ruang lingkup kajian psikologi agama banyak dijumpai baik melalui informasi kitab suci agama maupun sejarah agama.
Berdasarkan sumber Barat, para ahli psikologi agama menilai bahwa kajian mengenai psikologi agama mulai populer sekitar akhir abad ke-19. Sekitar masa itu psikologi yang semakin berkembang digunakan sebagai alat untuk kajian agama. Kajian semacam itu dapat membantu pemahaman terhadap cara bertingkah laku, berpikir, dan mengemukakan perasaan keagamaan.
Kajian-kajian tentang psikologi agama tampaknya tidak hanya terbatas pada masalah-masalah yang menyangkut kehidupan keagamaan secara umum, melainkan juga masalah-masalah khusus. J.B. Pratt misalnya, mengkaji mengenai kesadaran beragama melalui bukunya The Religious Consciousness (1920), Dame Julian yang mengkaji tentang wahyu dengan bukunya Revelations of Devine Love tahun 1901. Selanjutnya, kajian-kajian psikologi agama juga tidak terbatas pada agama-agama yang ada di Barat (Kristen) saja melainkan juga agama-agama yang ada di Timur. A.J Appasamy dan B.H Streeter menulis tentang masalah yang menyangkut kehidupan penganut agama Hindu dengan bukunya The Sadhu (1921).
Di tanah air sendiri tulisan mengenai psikologi agama ini baru di kenal sekitar tahun 1970-an, yaitu oleh Prof. Dr. Zakiah Daradjat. Ada sejumlah buku yang beliau tulis untuk kepentingan buku pegangan bagi mahasiswa di lingkungan IAIN. Di luar itu, kuliah mengenai psikologi agama juga sudah diberikan, khususnya di Fakultas Tarbiyah oleh Prof. Dr. A. Mukti Ali dan Prof. Dr. Zakiah Daradjat sendiri. Kedua orang ini dikenal sebagai pelopor pengembangan psikologi agama di IAIN di Indonesia.
Seperti pernyataan Robert H. Thouless, bahwa kehirauan terhadap permasalahan yang berkaitan dengan tingkah laku keagamaan sebagai permasalahan yang menyangkut kesadaran agama ternyata telah membuka jalan bagi pemanfaatan psikologi secara luas dalam tugas pemahaman terhadap permasalahan agama. Namun hingga kini kajian-kajian yang dihasilkan mengenai permasalahan tersebut di Indonesia sangat terbatas. Barangkali, permasalahan tersebut belum banyak menarik perhatian para ahli psikologi di tanah air kita.
Seperti dimaklumi, bahwa psikologi agama tergolong cabang psikologi yang berusia muda. Berdasarkan informasi dari berbagai literatur, dapat disimpulkan bahwa kelahiran psikologi agama sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri memiliki latar belakang sejarah yang cukup panjang. Selain itu, pada tahap-tahap awalnya psikologi agama di dukung oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu.
Sumber-sumber barat umumnya merujuk awal kelahiran psikologi agama adalah dari karya Edwin diller Starbuck dan William James. Buku The psychology of Religion An Empirical Study of Grouwth of Religion Counsciouness karya E. D Starbuck diterbitkan tahun 1899 di nilai sebagai buku yang memang khusus membahas masalah yang menyangkut psikologi agama setahun kemudian atau (1900), William James menerbitkan buku The Varieties of Religious Experiencies, buku yang berisi pengalaman keagamaan berbagai tokoh ini kemudian dianggap sebagai buku yang menjadi perintis awal dari kelahiran psikologi agama menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Psikologi agama diakui sebagi disiplin ilmu, cabang dari psikologi, sebagai cabang ilmu-ilmu psikologi lainnya.
Sebaliknya, didunia timur, khususnya diwilayah-wilayah kekuasaan Islam, tulisan-tulisan yang memuat kajian tentang hal serupa belum sempat dimasukkan. Padahal, tulisan Muhammad Ishaq bin Yassar di abad 7 Masehi berjudul Al-Siyar al-Maghazi memuat berbagai fragmen dari biografi Nabi Muhammad SAW. (Ensiklopedi Islam, 1992: 361), ataupun Risalah Hayy Ibn Yaqzan fi asrar al-Hikmat al-Masyriqiyat yang ditulis oleh Abu Bakr Muhammad ibn Abd. Al-Malin ibn Tufail (1106-1185 M)) juga memuat masalah yang erat kaitannya dengan materi psikologi agama.
Demikian karya besar abu Hamid Muhammad al-Ghazali (1059-1111 M) berjudul Ihya’ Ulumudin juga bukunya Al-Mumqidz min al-Dhalal (penyelamat dari kesesatan) sebenarnya, kaya akan muatan permasalah yang berkaitan dengan materi kajian psikologi agama. Diperkirakan masih banyak tulisan-tulisan ilmuwan Muslim yang berisi kajian mengenai permasalahan serupa, namun sayangnya karya-karya tersebut tidak sempat dikembangkan menjadi disiplin ilmu tersendiri, yaitu psikologi agama seperti halnya yang dilakukan oleh kalangan ilmuwan Barat.
Dari uraian diatas, tampak bahwa para ilmuan muslim masa silam sudah banyak menyinggung bahasan tentang psikologi agama, kesehatan mental dan tentunya tasuf. Setidaknya mereka telah berhasil meletakkan dasar-dasar psikologi agama dan kesehatan mental.
Tidak diperoleh keterangan yang jelas mengapa perkembangan peneletian psikologi agam di dunia timur tertinggal. Padahal dalam bidang-bidang lain, sejarah mencatat betapa pengaruh peradaban timur terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modren di barat.
Mungkin di antara faktor penyebab keterlambatan itu antara lain, sumber-sumber Islam klasik sulit diperoleh setelah setelah kejatuhan kekuasaan Islam. Sebagai wilayah koloni, hingga awal abad ke-20, para ilmuan Islam disibukkan oleh masalah-masalah yang meyangkut kepentingan politik dalam usaha untuk membebaskan diri dari penjajahan ketimbang menekuni pengetahuan seperti Psikologi Agama, yang pokok permasalahannya banyak tercantum dalam ajaran agama itu sendiri[1]
Di tanah air perkembangan psikologi agama dipelopori oleh tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang profesi sebagai ilmuwan, agamawan, dan bidang kedokteran. Di antara karya-karya awal yang berkaitan dengan psikologi agama adalah Agama dan kesehatan badan jiwa (1965), tulisan Prof. Dr. H. Aulia. Kemudian tahun 1975, K. H. S. S. Djam’an menulis buku Islam dan Psikosomatik. Dr. Nici Syukur Lister menulis buku Pengalaman dan Motivasi beragama : Pengantar Psikologi Agama.
Adapun pengenalan psikologi agama di lingkungan perguruan tinggi (IAIN) dilakukan oleh Prof. Dr. H. A Mukti Ali dan Prof. Dr. Zakiah Daradjat. Tetapi, buku-buku yang khusus mengenai psikologi agama banyak dihasilkan oleh Prof. Dr. Zakiah Daradjat, antara lain : Ilmu Jiwa Agama (1970), Peranan Agama dalam kesehatan Mental (1970), dan Kesehatan Mental. selain itu, tokoh ini pun banyak menghasilkan buku-buku yang mengacu kepada kajian psikologi agama.
Sejak menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri, perkembangan psikologi agama dinilai cukup pesat, dibandingkan usianya yang masih tergolong muda. Hal ini antara lain disebabkan, selain bidang kajian psikologi agama menyangkut kehidupan manusia secara pribadi, maupun kelompok, bidang kajiannya juga mencakup permasalahan yang menyangkut perkembangan usia manusia. Selain itu, sesuai dengan bidang cakupannya, ternyata psikologi agama termasuk ilmu terapan yang banyak manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari.
Tampaknya para ilmuwan dan agamawan yang semula berselisih pendapat mengenai psikologi agama, kini seakan menyatu dalam kesepakatan yang tak tertulis, bahwa dalam kehidupan modern ini, peran agama menjadi kian penting. Dan pendekatan psikologi agama dapat digunakan dalam memecahkan berbagai problema kehidupan yang dihadapi manusia sebagai makhluk yang memiliki nilai-nilai peradaban dan nilai moral.
  1. Kesadaran Beragama Pada Orang Dewasa
   Akhir masa remaja ditandai dengan masa adolesen, namun demikian ada juga yang memasukkan masa adolesen ini kepada masa dewasa. Pada masa adolesen, seseorang mulai menginjak dewasa dan memiliki sikap yang pada umumnya adalah sebagai berikut[2] :
1)        Menemukan sikap pribadinya.
2)        Menentukan cita-citanya.
3)        Menggariskan jalan hidupnya.
4)        Bertanggung jawab.
5)        Menghimpun norma-norma sendiri.
Sikap-sikap diatas merupakan sikap yang mengawali masa dewasa. Dalam perkembangan selanjutnya pada masa dewasa, seseorang telah menunjukan kematangan jasmani dan rohaninya, sudah memiliki keyakinan dan pendirian yang tetap, serta perasaan sosial sudah berkembang. Tanggung jawab individu, sosial dan susila sudah mulai tampak dan ia sudah mulai mampu berdiri sendiri.
Gambaran psikis pada masa dewasa seperti di atas akan nampak pada kestabilan seseorang di dalam menentukan pandangan hidup atau agama yang harus dianutnya berdasarkan kesadaran dan keyakinan yang di anggap benar dan diperlukan dalam hidupnya. Ini mengandung pengertian bahwa apa yang dilakukan seseorang dari paham keagamaan yang dianutnya akan dipegang teguh dan diwujudkan lewat tingkah laku keagamaanya dalam kehidupan sehari-hari dengan penuh tanggung jawab.
Tingkah laku keagamaan seseorang pada masa ini berdasarkan tanggung jawab keagamaan yang ia pegangi, ia yakini secara mendalam, dan ia pahami sebagai jalan hidup. Hal itu sebagai akibat dari adanya kestabilan dalam pandangan hidup keagamaan, yang dengan demikian akan di dapati pula adanya kestabilan dalam tingakah laku keagamaannya, dimana segala perbuatan dan tingkah laku keagamaannya senantiasa dipertimbangkan masak-masak yang dibina di atas tanggung jawab, bukan atas dasar meniru dan bukan pula sekedar ikut-ikutan.
Menurut Jalaluddin, gambaran dan cerminan dari tingkah laku keagamaan orang dewasa dapat pula dilihat dari sikap keagamaannya yang memiliki ciri-ciri antara lain[3].
1)        Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan saja.
2)        Bersifat cenderung rialis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam setiap tingkah laku.
3)        Bersikap positif terhadap ajaran, dan norma-norma agama dan berusaha mempelajari dan memahami agama.
4)        Tingkat ketaatan beragama, didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi diri dari sikap hidup.
5)        Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
6)        Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
7)        Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terikat adanya pengaruh kepribadia yang menerima, memahami, serta melakukan ajaran agama yang diyakininya.
8)        Terlibat hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.
Sikap keberagamaan yang di alami oleh orang dewasa dipengaruhi oleh berbagai perangkat yang mengitarinya, diantaranya adalah kebudayaan yang menjadi cetak biru bagi kehidupan atau pedoman bagi kehidupan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan warga masyarakat penganutnya. Dalam kebudayaan terdapat berbagai perangkat dan keyakinan-keyakinan yang dimiliki oleh pendukung kebudayaan tersebut. Perangkat-perangkat pengetahuan itu sendiri membentuk suatu sistem yang terdiri atas satuan-satuan yang berbeda-beda secara bertingkat-tingkat yang fungsional hubungannya satu sama lainnya secara keseluruhan[4].
  1. Sikap Keberagamaan Orang Usia Lanjut
Hasil penelitian Neugarten terhadap manusia usia lanjut antara 70-79 tahun menunjukkan 75 persen dari mereka yang dijadikan responden menyatakan puas dengan status mereka sesudah menginjak masa bebas tugas. Sebagian besar mereka menunjukkan aktivitas yang positif dan tidak merasa berada dalam keterasingan dan hanya sedikit yang sudah berada dalam kondisi uzur serta mengalami gangguan kesehatan mental. Namun, umumnya mereka dihadapkan pada konflik batin antara keutuhan dan keputus-asaan. Karena itu mereka cenderung mengingat sukses masa lalu, sehingga umumnya mereka yang berada pada tingkat usia lanjut ini senang membantu para remaja yang aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, termasuk sosial keagamaan. Kehidupan keagamaan pada usia lanjut ini menurut hasil penelitian psikologi agama ternyata meningkat.
            Pendapat bahwa usia tua merupakan kurun waktu maksimum bagi perkembangan sikap keagamaan dibenarkan oleh hasil kajian empirik baru-baru ini mengenai hubungan antara umur dan sikap positif terhadap agama. Argyle mengutip sejumlah penelitian kuantitatif mengenai masalah ini, termasuk penelitian yang dilakukan Cavan, yang mempelajari 1.200 orang sempel berumur antara 60 sampai 100 tahun. Penelitian secara jelas menunjukan secara jelas kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan yang semakin meningkat pada umur-umur ini, sedangakan pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat muncul sampai 100 persen setelah umur 90 tahun. Peningkatan keterlibatan dalam bidang keagamaan setelah berakhirnya masa kegiatan seksual digunakan sebagai argumen untuk menentang pendapat yang menyatakan bahwa frustasi dibidang seksual merupakan satu-satunya faktor untuk membentuk sikap keagamaan. Namun dalam hal ini terdapat pernyataan yang berlebihan, bahwa pada usia tua kehidupan seksual sudah berakhir. Meskipun dorongan untuk berhubungan seksual boleh jadi sudah tidak ada lagi, kebutuhan yang lebih umum untuk mencintai dan dicintai justru tidak hilang pada masa usia tua itu. Memang, memang alasan tersebut mungkin kurang memuaskan dan, karena itu, perlu ditambah dengan faktor-faktor psikologis lainnya yang menunjukan usia tua menjadi semakin efektif untuk membantu pembentukan sikap keagamaan[5].
            Kebutuhan manusia lainnya yang membantu terbentuknya sikap keagamaan adalah keharusan bagi setiap orang untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa, cepat atau lambat, hidupnya akan berakhir. Kenyataan tentang kematian tentu saja merupakan sesuatu yang universal bagi setiap organisme: karena itu cukup beralasan untuk diduga bahwa manusia secara sendirian bisa merumuskan harapan ini dalam benuk kata-kata dan mendapatkannya sebagai sesuatu yang diinginkan untuk mengambil sikap terhadapnya sehingga menjadikannya dapat diterima. Cara yang jelas untuk mencapai tujuan ini dalam kebudayaan kita sendiri adalah adanya keyakinan bahwa kehidupan manusia berkelanjutan melampui kuburnya. Barangkali hal ini benar adanya karena ada cukup alasan yang mengutuk keyakinan ini sebagai sebuah ilusi hanya hanya karena hal itu terjadi secara bersamaan dengan harapan-harapan manusia[6].
            Mengenai kehidupan keagamaan pada usia lanjut ini William James menyatakan, bahwa umur keagamaan yang sangat luar biasa tampaknya justru terdapat pada usia tua, ketika gejolak kehidupan seksual sudah berakhir. Agaknya pendapat William James masih banyak dijadikan rujukan dalam melihat kehidupan para tokoh-tokoh agamawan seperti biarawan dan biarawati ataupun para biksu, agaknya korelasi tersebut menampakkan hubungan yang positif. Tetapi, menurut Robert Thouless, dari hasil temuan Gofer, memang menunjukkan bahwa kegiatan orang yang belum berumah tangga sedikit lebih banyak dari mereka yang telah berumah tangga, sedangkan kegiatan keagamaan orang yang sudah bercerai, jauh lebih banyak dari keduanya. Temuan ini menurut Thouless menunjukkan bahwa kegiatan keagamaan berkorelasi terbalik dengan pemenuhan seksual sebagai sesuatu yang diharapkan bila penyimpangan seksual itu benar-benar merupakan salah satu faktor yang mendorong di balik perilaku keagamaan itu. Salah satu bagian yang paling mencolok mengenai hal itu adalah kecenderungan emosi keagamaan yang diekspresikan dalam bahasa cinta manusia. Hal ini sering terdapat di kalangan para penulis mistik.
  1. Ciri-ciri Keagamaan Pada Usia Lanjut
Berbagai latar belakang yang menjadi penyebab kecenderungan sikap keagamaan pada manusia usia lanjut, seperti dikemukakan di atas bagaimanapun turut memberi gambaran tentang ciri-ciri keberagamaan mereka. Secara garis besar ciri-ciri keberagamaan di usia lanjut adalah[7]:
1)                     Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
2)      Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan .
3)      Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara seungguh-sungguh.
4)      Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antara sesama manusia, serta sifat-sifat luhur.
5)      Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya
6)      Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan yang abadi (akhirat)
Situasi keagamaan pada lansia ialah adanya semangat mencari kebenaran, keimanan, rasa ketuhanan, dan cara-cara terbaik untuk berhubungan dengan manusia dan alam sekitar. Ia selalu menguji keimanannya melalui pengalaman-pengalaman sehingga menimbulkan keyakinan yang lebih tepat. Ibadahnya selalu dievaluasi dan ditingkatkan agar mendapatkan kenikmatan penghayatan terhadap tuhan walaupun dari segi pelaksanaan sudah mengalami rasa kesulitan karena keadaan fisik dan psikis sudah berkurang, hal ini dimiliki oleh para lansia yang proses pemikirannya belum mengalami kerusakan, berbeda dengan lansia yang lebih dahulu mengalami pengurangan proses berpikirnya.


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sikap keberagamaan pada orang dewasa memiliki perspektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu, sikap keberagamaan ini umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengartian dan perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya. Beragama, bagi orang dewasa sudah merupakan sikap hidup dan bukan sekedar ikut-ikutan. Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai perkembangan jiwa beragama pada masa dewasa.
Berbagai latar belakang yang menjadi penyebab kecenderungan sikap keagamaan pada manusia usia lanjut, seperti dikemukakan di atas bagaimanapun turut memberi gambaran tentang ciri-ciri keberagamaan mereka.
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan beragama. Jadi, kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.


BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
            Mappiare, Andi. Psikologi Orang Dewasa, Surabaya: Usaha Nasional, 1983.
            Syamsul Arifin, Bambang. Psikologi Agama, Bandung : Pustaka Setia, 2008.
                Jalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
            Ramayulis. Psikologi Agama, Jakarta : Kalam Mulia, 2004.
            Suprayetno, Psikologi Agama, Bandung: Cita Pustaka Media, 2009.


           



              



[1] Ramayulis, Psikologi agama, ( Jakarta: Kalam Mulia, 2004), hal 13.
[2] Ramayulis, Psikologi agama, ( Jakarta: Kalam Mulia, 2004), hal 63.
[3] Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007) 105.
[4] Bambang Syamsul Arifin, Ibid,114
[5] Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, (Bandung : Pustaka Setia, 2008), 109.
[6] Bambang Syamsul Arifin, Ibid,114.
[7] Andi Mappiare, Psikologi Orang Dewasa, (Surabaya: Usaha Nasional, 1983), hlm. 241

Komentar

Postingan Populer