SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIQH

  1. SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIQH
Pertumbuhan ushul fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum islam sejak zaman Rasulullah SAW. sampai pada masa tersusunnya ushul fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2 Hijriyah. Di zaman Rasulullah SAW. Sumber hukum islam hanya ada dua, yaitu al-Quran dan Sunnah. Apabila muncul suatu kasus, Rasulullah SAW. menuggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka beliau menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadist atau sunah.
Dalam menetapkan hukum dari berbagai kasus di zaman Rasulullah SAW. yang tidak ada ketentuannya dalam al-Quran, para ulama ushul fiqh bahwa ada isyarat bahwa Rasulullah SAW. menetapkan melalui ijtihad. Hal ini dapat diketahui melalui Rasulullah SAW.
إنما أنا بشر إذا أمرتكم بشيء من دينكم فخذوا به وإذا أمرتكم بشيء من رأي فإنما أنا بشر.
(رواه مسلم عن رافع بن خديج)
Artinya :
”sesungguhnya aku adalah manusia (biasa), apabila aku di perintahkan kepadamu sesuatu yang menyangkut agamamu, maka ambillah. Dan apabila aku diperintahkan kepadamu sesuatu yang berasal dari pendapatku, maka sesungguhnya aku adalah manusia (biasa)”
(HR. Muslim dari Rafi’ ibn khudaij)
 Hasil ijtihad Rasulullah SAW ini secara otomatis menjadi sunah sebagai sumber hukum dan dalil bagi umat Islam.
Dalam beberapa kasus Rasulullah SAW juga menggaunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat. Misalnya, beliau menggunakan qiyas ketika menjawab dari pertanyaan umar ibn al-Khathtab tentang batal tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya Rasulullah SAW ketika itu bersabda :
أرأيت لو تمضمضت وأنت صائم ؟ قلت : لا بأس به, قال فصمه.
(رواه البخاري ومسلم وأبي داود)
Artinya :
Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal? Umar menjawab, ‘tidak apa-apa’ Rasulullah SAW kemudian bersabda “maka teruskan puasamu”
                                                            (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Abi Daud)
            Rasulullah SAW dalam hadist ini, menurut para ulama ushul fiqh, mengqiyaskan hukum mencium istri dalam keadaan berpuasa dengan hukum berkumur-kumur bagi orang yang berpuasa. Jika berkumur-kumur tidak membatalkan puasa, maka mencium istri pun tidak membatalkan puasa.
            Cara-cara Rasulullah SAW dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi bibit munculnya ilmu ushul fiqh. Karenanya, para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa keberadaan ushul fiqh bersamaan dengan hadirnya fiqih, yaitu sejak zaman Rasulullah SAW bibit ini semakin jelas di zaman para sahabat, karena wahyu dan Sunah Rasul tidak ada lagi sementara persoalaan yang mereka hadapi semakin berkembang. Para tokoh mujtahid termasyhur pada zaman sahabat, di antaranya Umar Al-Khathtab, Ali ibn Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud. Dalam berijtihad, Umar Al-Khathtab seringakali mempertimbangkan kemaslahatan umat, dibandingkan sekedar menerapkan nash secara zahir, sementara hukum tidak tercapai.
            Ali ibn Abi Thalib juga melakukan ijtihad dengan menggunakan qiyas yaitu mengqiyaskan hukum orang yang meminum khamar dengan hukuman orang yang melakukan qadzaf  (menuduh orang lain berbuat zina). Alasan Ali ibn Abi Thalib adalah bahwa seseorang yang mabuk karena meminum khamar akan mengigau. Apabila ia mengigau, maka ucapannya tidak bias dikontrol, dan akan menuduh orang lain berbuat zina. Hukuman bagi pelaku qadzaf adalah 80 kali dera. Oleh sebab itu, hukuman orang meminum khamar sama dengan hukuman menuduh orang lain berbuat zina. Perkembangan permasalahan di zaman sahabat ini memerlukan upaya ijtihad yang semakin luas.
            Di zaman tabiin, permasalahan hukum yang muncul pun semakin kompleks. Para tabiin melakukan ijtihad di berbagai daerah Islam. Di madinah, muncul berbagai fatwa berkaitan dengan berbagai persoalan baru, sebagaimana yang dikemukakan Sa’id ibn Abu Musayyab. Di Irak muncul Al-Qamah ibnWaqqas, Al-Laits, dan Ibrahim Al-Nakha’i. di Bashrah muncul pula mujtahid dikalangan tabiin, seperti Hasan Al-Bashri.
            Titik tolak para ulama tersebut dalam menerapkan hukum bisam berbeda; yang satu melihat dari sisi maslahat, sementara yang lain menetapkan hukumnya melalui qiyas. Ulama ushul fiqh lebih dikenal dengan penggunaan ra’yu. Dalam setiap kasus yang dihadapi mereka dihadapi berusaha mencari berbagai illat-nya; sehingga dengan ‘illat ini mereka dapat menyamakan hukum kasus yang dihadapi dengan hukum yang ada nashnya. Sikap ulama irak ini bukan berarti meninggalkan Sunnah Rasulullah Saw. tetapi sikap ini mereka ambil karena sangat sedikit Sunnah Rasulullah Saw. yang mereka temukan. Pada perkembangan selanjutnya, Madrasah al-Iraq dan Madrasah Kuffah lebih dikenal dengan Madrasah al-Ra’yu, sedangkan Madrasah al-Madinah dikenal dengan sebutan Madrasah al-Hadits.
            Setelah itu muncul para imam mujtahid, khususnya imam madzhab yang emapt, yaitu:
                        1.        Nu’man ibn al-Tsabit yang lebih dikenal dengan nama Imam Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M)
                        2.        Malik ibn Anas, yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Malik (93-179 H/712-795 M)
                        3.        Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, yang lebih populer dengan sebutan Imam Syafi’i (150-204 H/767-820 M)
                        4.        Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241 H/780-855 M)
Imam al-Syafi’i dengan metode-metode ijtihadnya dan sekaligus pembuat pertama sekali membukukan ilmu ushul fiqh yang dibarengi dengan dalil-dalilnya. Kitab ushul fiqh yang disusun Imam al-Syafi’i tersebut bernama al-Risalah. Kitab ini disusun berdasarkan khazanah fiqh yang ditinggal para sahabat, tabiin dan imam-imam Mujtahid sebelumnya. Imam al-Syafi’i berupaya mempelajari dengan seksama perdebatan yang terjadi diantara ahl al-hadits yang bermarkas di Madinah dengan ahl al-ra’yu di Irak. Dari kedua aliran ini Imam al-Syafi’i berusaha mengkompromikannya. Dalam kitabnya, al-Risalah, Imam al-Syafi’i berusaha memperlihatkan pendapat yang shahih dengan pendapat yang tidak shahih, setelah melakukan berbagai analisis dari pandangan kedua aliran, Irak dan Madinah. Berdasarkan analisisnya ini dia membuat teori ushul fiqh; yang diharapkan dapat dijadikan patokan umum dalam mengistinbatkan hukum, mulai dari generasinya sampai pada generasi selanjutnya.
  1. ALIRAN-ALIRAN USHUL FIQH
Dalam sejarah perkembangan ushul fiqh dikenal dua aliran ushul fiqh yang berbeda. Perbedaan ini muncul akibat perbendaan teori ushul fiqh masing-masing yang digunakan dalam menggali hukum islam. Aliran pertama disebut dengan aliran Syafi’iyyah dan Jumhur Mutakallimin, aliran ini membangun ushul fiqh mereka secara teoritis, tanpa terpengaruh oleh masalah-masalah furu’. Dalam membangun teori, aliran ini menerapkan kaidah-kaidah dengan alasan yang kuat, baik yang dari naqli maupun dari ‘aqli, tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah furu’ dari berbagai madzhab, sehingga teori tersebut adakalanya sesuai dengan furu’ dan adakalanya tidak. Setiap permasalahan yang diterima akal dan didukung oleh dalil naqli, dapat dijadikan kaidah, baik kaidah itu sejalan dengan furu’ madzhab atau tidak, sejalan dengan kaidah yang telah ditetapkan madzhab atau tidak. 
Penamaan aliran dengan “Mutakallimin” karena para eksponetnya mengapresiasi dan mengaplikasikan metodelogi ulama ahli kalam yang bercorak rasional-filosofis; mereka banyak meminjam konsep-konsep logika-filsafat untuk kepentingan analisis masalah hukum serta mengkajinya dengan pendekatan teoritik dan kebahasaan.
Sementara itu, aliran fuqaha’ (Hanafiyah) lebih berorientasi kepada penilitian fakta-fakta hukum furu’. Menurut mereka, ushul fiqh itu harus didekasikan untuk pengambangan furu’ dan penjamin validitas ijtihad terhadapnya. Mereka memformulasikan kaidah-kaidah hukum, dengan bersumber pada furu’, yang dikemukakan oleh para pemikir utama kelompok mereka.
Ditengah-tengah plarisasi aliran ushul fiqh tersebut, muncul pula masa belakangan, aliran moderat-kompromistis, yakni aliran yang berpaham perlunya menawarkan sintesis yang mampu mengakomodasi pokok-pokok aliran dua aliran pendahulunya. Dalam pandangan eksponen aliran ini, baik aliran mutakallimin maupun fuqaha’, sama-sama memiliki kelebihannya sekaligus kelemahannya masing-masing sehingga upaya yang terbaik adalah memadukan kelebihan-kelebihan yang ada dan menyingkarkan kelemahan-kelemahan, yang dapat mewujud dalam formula yang bernilai plus.
Perlu diketahui bahwa baik aliran Mutakallimin maupun Fuqaha’, sama-sama memiliki tokoh ulama yang melahirkan karya-karya yang spektakuler. Dari aliran Mutakallimin, muncullah nama-nama berikut karyanya, antara lain :
                                  1.            Abu Ishaq Ibrahim al-Syirazi (w. 476 H), dengan karyanya al-Lumma’.
                                  2.        Abu al-Ma’ali Abdul Malik al-Juwaini, populer dengan nama Imam al-Haramain, (w. 478 H), dengan karyanya al-Burhan.
                                  3.        Abu al-Husain Muhammad al-Bishri (w. 436 H), dengan karyanya al-Mu’tamad.
Sementara itu, dari aliran Fuqaha’, muncullah nama-nama ushuly berilut karyanya, antara lain :
                                  1.        Abu al-Hasan Ubaidillah al-Karakhi (w. 340 H), dengan karyanya  Risalat al-Karakhi fi al-Usul.
                                  2.        Abu Zayd Abdillah al-Dabusi (w. 430 H), dengan karyanya Taqwim al-Adillah.
                                  3.        Abu al-Hasan Ali al-Bazdawi (w. 482 H), dengan karyanya Kanz al-Wusul ila Ma’rifat al-Usul.
Sedangkan dari aliran moderat-kompromistis, muncul pula nama-nama usuly berikut karyanya antara lain:
                                  1.        Tajuddin al-Subki (w. 771 H), dengan karyanya Jam’ al-Jawami’.
                                  2.         Kamaluddin Muhammad al-Hanafi (w. 861 H), populer dengan panggilan al-Kamal bin al-Huminam, dengan karyanya al-Tahrir.
                                  3.         Muhibuddin al-Bihari al-Hnafi (w. 1119 H), dengan karyanya Musallam al-Tsubut.
Demikian sebagian tokoh pemikir ushul fiqh berikut karyanya, yang lahir mengiringi dinamika sejarah ushul fiqh, sebagai salah satu tonggak penting ilmu syari’ah.
  1. AL-QURAN DAN QIRAAT
Al-quran adalah firman Allah Swt yang diturunkan oleh-Nya melalui perantara malaikat Jibril As ke dalam hati Rasulullah Saw. Dengan dialek Arab dan makna yang pasti, sebagai bukti pembenaran dan mu’jizat bahwa beliau adalah utusan Allah Swt.
Al-Quran tersusun mulai dari surat Fatihah dan di akhiri dengan Surat An-Naas yang sampai kepada kita secara teratur dan berangsur-angsur, dengan pengertian bahwa perawi dan pembawa sanad atau garis periwayatannya tidak ada yang terputus secara tulisan maupun lisan, dari genarasi ke genarasi, terpelihara dari adanya pergantian, penambahan, pengurangan atau perubahan didalamnya dengan metode periwayatan secara Mutawatir, sebagai syarat yang diharuskan dalam periwayatan al-Quran sampai saat ini.
Dalam hal ini pun, merambah pada qira’ah yang tidak memenuhi syarat mutawatir dari periwayatannya, tidaklah dapat dikatakan sebagai al-Quran. Sementara tentang qira’ah sab’ah, diakui oleh para ulama ushul fiqh sebagai riwayat yang mutawatir. Kemudian secara terperinci Ibn al-Jazari memberikan kriteria dari qira’ah shahihah :
                       1.          Sesuai dengan kaidah bahasa arab, walau hanya dari satu sisi saja.
                       2.          Sesuai dengan satu teks mushaf Utsmani, walau hanya sekedar mendekati saja.
                       3.          Shahih dipandang dari sanad periwayatannya.
Bila suatu gaya bacaan memenuhi syarat-syarat di atas, maka tidaklah layak untuk ditolak dan diingkari kebenarannya.  Qira’ah tersebut adalah satu diantara tujuh huruf yang dengannya al-Quran diturunkan. Maka bagi kita pun wajib menerimanya.
Sementara itu, Imam Abu Muhammad Makki dalam kitabnya yang berjudul al-Kasyf, menuturkan bahwa dalam periwayatan al-Quran diklarifikasikan menjadi tiga bagian :
                       1.          Qira’ah yang dapat diterima dan dapat dibaca, yaitu qira’ah yang memenuhi tiga kriteria diatas
                       2.          Qira’ah yang dapat diterima, namun tidak boleh dibaca, yaitu qira’ah yang shahih periwayatannya, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, akan tetapi menyalahi teks mushaf Utsmani.
                       3.          Qira’ah yang tidak bisa diterima dan tidak boleh dibaca, yaitu setiap qira’ah yang dirawayatkan oleh orang yang tidak tsiqah, atau diriwayatkan oleh orang yang tsiqah tapi menyalahi aturan kaidah bahasa Arab. Qira’ah ini tidak bisa diterima walaupun sesuai dengan mushaf Utsmani.
Berdasarkan syarat-syarat yang dikemukan para ulama diatas, maka qira’ah al-syadzdzah yang penuturannya dilakukan secara ahad, sekalipun rangkaian penuturnya shahih, diperselisihkan para ulama ushul fiqh. Misalnya, bacaan ‘Abdullah ibn Mas’ud dalam ayat mengenai kaffarat sumpah:
`yJsù óO©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$­ƒr& 4 مُتَتَابِعَاتٍ
89. ... maka barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari (berturut-turut)… (Q.S. al-Maidah, 5: 89)
Kalimat mutatabi’at merupakan tambahan dari ibn Mas’ud, dan bacaan seperti ini tidak mutawatir. Oleh sebab itu, menurut jumhur ulama, kalimat itu tidak termasuk al-Quran.
Dari segi hukum apakah qira’ah al-syadzdzah seperti itu dapat dijadikan hujjah? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama. Ulama Hanafiyyah dan Hanabilah mengatakan bahwa qira’ah al-syadzdzah bisa dijadikan hujjah yang bersifat zhani, apabila diketahui bahwa bacaan itu pernah didengar dari Rasulullah Saw. karena hal tersebut termasuk Sunnah. Menurut Malikiyyah dan Syafi’iyyah qira’ah al-syadzdzah tidak dapat dijadikan hujjah, karena bacaan itu tidak termasuk al-Quran dan tidak mutawatir. Menurut mereka, qira’ah al-syadzdzah itu juga tidak bisa masukkan sebagai Sunnah, karena tidak ada satu riwayat pun yang menyatakan hal itu.
  1. HUKUM PENGAMALAN HADITS DHA’IF
            Hadits Dha’if adalah hadits yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadits maqbul.
            Syarat-syarat hadits maqbul itu ada enam, yaitu :
        1.            Rawinya adil
        2.            Rawinya Dhabit, meskipun tidak sempurna.
        3.            Sanadnya bersambung.
        4.            Tidak terdapat kerancuan.
        5.            Tidak terdapat ‘illat yang merusaknya.
        6.            Pada saat dibutuhkan, hadits yang bersangkutan menguntungkan.
Ketika suatu hadits dha’if dimungkinkan bahwa rawinya benar-benar hapal terhadapnya  dan menyampaikannya dengan cara yang benar, maka hal ini telah mengundang perselisihan yang serius di kalangan ulama sehubungan dengan pengamalannya. Perdebatan panjang pun terjadi. Berikut ini kami kemukakan kesimpulan pendapat para ulama dalam masalah ini.
Pendapat pertama, hadits dha’if dapat diamalkan secara mutlak, yakni baik yang berkenaan dengan masalah halal dan haram maupun yang berkenaan dengan masalah kewajiban, dengan syarat tidak ada  hadits lain yang menerangkannya. Pendapat ini disampaikan oleh beberapa imam yang agung, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, dan yang lainnya.
Berikut ini pendapat imam Ahmad; ia berkata ”sesungguhnya hadits dha’if lebih saya senangi dari pada pendapat ulama, karena kita tidak boleh berpaling kepada qiyas kecuali setelah tidak ada nash”.
Pendapat kedua, dipandang baik mengamalkan hadits dha’if dalam fadha’il al-a’mal, yang berkaitan dengan hal-hal yang dianjurkan maupun hal-hal yang dilarang. Demikian kebanyakan mazhab ulama dari kalangan muhadditsin, fuqaha’ dan yang lainny. Imam al-Nawawi Syekh Ali al-Qari, dan Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan bahwa itu telah disepakati oleh para ulama.
Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan syarat-syarat mengamalkan hadits dha’if itu ada tiga :
                                1.            Telah disepakati untuk diamalkan, yaitu hadits dha’if yang tidak terlalu dha’if sehinngga tidak bisa diamalkan hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang pendusta atau dituduh dusta atau orang yang banyak salah.
                                2.            Hadits dha’if yang bersangkutan berada dibawah satu dalil yang umum sehingga tidak dapat diamalkan hadits dha’if yang sama sekali tidak memiliki dalil pokok.
                                3.            Ketka hadits dha’if yang bersangkutan diamalkan tidak disertai keyakinan atas kepastian keberadaannya, untuk menghindari penyandaran kepada Nabi Saw. Sesuatu yang tidak beliau katakan.
            Imam Ibnu Hajar al-Haitami berbendapat bahwa para ulama sepakat mengamalkan hadits dha’if sehubungan dengan fadhail al-a’mal, karena seandainya hadits yang bersangkutan itu hakikatnya sahih maka sudah seharusnya ia diamalkan dan seandainya ia tidak sahih maka pengamalannya terhadapnya itu tidak mengakibatkan kerusakan berupa menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal dan menyia-yiakan hak orang lain.
            Pendapat ketiga hadits dha’if sama sekali tidak dapat diamalkan, baik yang berkaitan dengan fadhail al-a’mal maupun yang berkaitan dengan halal dan haram. Pendapat ini dinisbatkan kepada Qadhi Abu Bakar Ibn al-‘Arabi. Demikian pula pendapat al-Syihab al-Khafaji dan al-Jalal al-Dawami. Pendapat ini dipilih oleh sebagian penulis dewasa ini dengan alasan bahwa fadhail al-a’mal itu seperti fardhu dan haram, karena semuanya syara’ dan karena pada hadits-hadits sahih dan hadits-hadis hasan terdapat jalan lain selain hadits dha’if.

            

Komentar

babulilmi mengatakan…
artikelnya sangat membantu saya. pas banget dengan mata kuliah saya..ushul fiqih... semoga ilmunya berkah.. jadi tahu sejarahnya saya ..tanks ya
usmadi hambali mengatakan…
Oke sama2... sering2 yha mampir sekedar baca juga gpp.

Postingan Populer