pengetahuan Ushul Fiqh



BAB I
PENDAHULUAN
  1. LATAR BELAKANG
Manusia membutuhkan petunjuk dan pembimbing guna tercapainya kehidupan yang ideal. Hal ini merupakan fitrah manusia dalam menjalani kehidupan. Al-Quran diturunkan oleh Allah Swt. pada makhluk istimewa-Nya adalah satu-satunya petunjuk bagi manusia guna tercapainya kemaslahatan. Artinya, manusia harus mengikuti perintah-perintah Allah Swt. dan juga menjalankan hukum-hukum yang terkandung al-Quran. Dari al-Quran pula ditimba norma-norma hukum-hukum Islam bagi kemaslahtan umat manusia. Karena Al-qur’an merupakan sumber utama, dan sumber pokok bagi hukum islam. Disamping itu al-quran juga berfungsi sebagai dalil pokok dalam hukum islam. Dalam al-Quran juga terdapat hukum-hukum yang bisa menjadi petunjuk dan bimbingan dalam memutuskan problematika hidup dan kehidupan.
Sebagai hukum utama dan pertama, al-Quran harus dinomor satukan oleh umat Islam dalam menemukan dan menarik hukum. Ayat-ayat harus didahulukan dalam menjawab permasalahan yang muncul kepermukaan. Kaum Muslimin tidak diperkenankan mengambil hukum dan jawaban atas problematikanya dari luar al-Quran selama hukum dan jawaban tersebut dapat ditemukan dalam nash-nash al-Quran.
  1. RUMUSAN MASALAH
                  1.         Apa pengertian sumber hukum ?
                  2.         Apa pengertian Al-quran ?
                  3.         Apa saja hukum-hukum yang terkandung dalam al-Quran ?
                  4.         Apakah dalalah dari ayat al-Quran ?

BAB II
PEMBAHASAN
A.            Pengertian Sumber Hukum
Kata-kata sumber hukum islam merupakan terjemahan dari lafadz مَصَادِرُ الْأَحْكَامِ . kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fiqh dan ulama ushul fiqh klasik. Untuk menjelaskan arti sumber hukum Islam, mereka menggunakan istilah dalil-dalil syari’at. Penggunaan kata مَصَادِرُ الْأَحْكَامِ oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkannya adalah searti dengan istilah اَلْأَدِلَّةُ الشَّرْعِيَّة. 
Secara etimologis, kata اَلْمَصَادِر dan kata اَلْأَدِلَّة bila dihubungkan dengan kata الشرعية mempunyai arti yang berlainan. Sumber مصدر berarti wadah, yang dari padanya digali norma-norma hukum tertentu. Sedangkan kata الدليل memiliki arti sebagai petunjuk yang membawa kita menemukan hukum tertentu.
Kata sumber hanya berlaku pada al-Quran dan hadits, karena hanya dari keduanya digali norma-norma hukum. Sedangkan ijma’, qiyas, istihsan, istishhab, istidlal dan maslahah mursalah tidak termasuk dalam katagori sumber hukum. Kesemuanya itu termasuk dalil hukum. Dengan menggunakan istilah-istilah tersebut kita dapat menemukan hukum-hukum Islam. Istilah-istilah itu merupakan alat dalam menggali hukum-hukum dari al-Quran dan hadits[1].
Dalam hal ini imam Abdul Wahab Khallaf memberikan pengertian yang berbeda. Beliau menyebutkan bahwa adillah syariyyah (sumber hukum islam), bersinonim dengan istilah adillah al-ahkam, ushul al-ahkam, al-mashhodir al-ahkam[2].
B.            al-Quran Sebagai Sumber Hukum
Hukum syara’ adalah kehendak Allah, karena Dia-lah yang mengatur, membaurkan dan mensistematisasikan hukum tersebut bagi umat manusia. Hukum tuhan disampaikan kepada hambanya, Muhammad dalam bentuk wahyu, yang tertulis dalam sebuah buku petunjuk. Kitab hukum Allah itu disebut dengan al-Quran. Dengan demikian, al-Quran merupakan sumber utama dan sumber pokok bagi hukum Islam. Disamping itu juga al-Quran berfungsi sebagai dalil pokok hukum Islam. Dari ayat-ayat al-Quran ditimba norma-norma hukum bagi kemaslahatan umat manusia. Dengan al-Quran kita mendapatkan petunjuk dalam memutuskan problematika hidup dan kehidupan sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran:
y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ    
2. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”. (Q.S. al-Baqarah: 2.)
Mafhum diketahui bahwa al-Quran adalah firman Allah Swt yang diturunkan oleh-Nya melalui perantara malaikat Jibril As kedalam hati Rasulullah Muhammad bin Abdullah Saw. dengan dialek Arab dan makna yang pasti, sebagai bukti pembenaran dan mu’jizat bahwa beliau adalah utusan Allah Saw. setelah diturunkan, al-Quran segera dijadikan undang-undang pengatur kehidupan sekaligus petunjuk bagi manusia seantero dunia, serta sebagai sarana bagi pendekatan diri seorang hamba kepada Tuhannya, yang akan berubah pahala amal ibadah apabila al-Quran dibaca.
Kata “al-Quran” dalam bahasa Arab diambil dari kata qara’a, seperti halnya kata al-ghufron yang juga diambil dari kata ghafara seperti disebutkan dalam al-Quran :
¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ   #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ    
17. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.(QS. al-Qiyamat: 17-18)
Sedangkan pendefinisian al-Quran sebagai Kalam Allah Saw, secara teologis mengandung makna majas, karena Kalam Allah adalah Qadim yang tidak mengandung suara, huruf dan tidak bisa dikatakan sebagai makhluq, karena datang dari Dia Yang Maha Terdahulu dan Maha Menciptakan. Sementara, tentang kalam Allah yang tertulis di dalam mushhaf-mushaf  dalam hal ini merupakan representasi dari Kalam Allah yang Qadim[3].
Alasan bahwa al-Quran adalah sumber hukum bagi umat manusia dan hukum yang terkandung didalamnya adalah undang-undang yang harus ditaati mereka, dikarenakan al-Quran diturunkan langsung oleh Allah Swt dan diterima oleh manusia yang dipilih-Nya dengan cara yang pasti, sehingga tidak bisa diragukan lagi dari arah manapun akan kebenarannya. Artinya, haruslah menggunakan al-Quran sebagai dasar hukum utama jika memang sedang ditemukan permasalahan yang dihadapi didalamnya, alias tidak akan membutuhkan lagi dalil-dalil pendukung sebagai bukti tambahan maupun alasan lain[4].
C.           Macam-Macam Hukum Dalam Al-quran
Al-Quran merupakan cahaya yang diturunkan Allah untuk memberi petunjuk dengan penuh rahmat kepada kebahagiaan umat manusia. Bukan kesejahteraan yang persial di dunia atau di akhirat saja yang dikandung dalam hukum-hukum al-Quran, melainkan juga kebahagiaan dan keselamatan yang integral, komprehensif, dan universal. Hukum dalam al-Quran mencakup bidang jasmaniah dan rohaniah. Ia memuaskan hajat batin dan tidak melupakan hajat lahir manusia. Hukum dalam al-Quran memberikan tempat yang seimbang antara hubungan horisontal dengan sesame manusia dan hubungan vertikal dengan Tuhan, Pencipta Yang Maha Agung. Ia tidak hanya memikirkan kepentingan akhirat, tetapi juga memikirkan dan memperhatikan secara mendalam urusan dunia.
Secara garis besar hukum dalam al-Quran dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu[5]:
1)      Hukum i’tiqodiyyah (akidah). Hukum yang mengatur hubungan ruhaniah manusia dengan yang maha kuasa dalam masalah keimanan dan ketakwaan.
2)      Hukum khuluqiyyah (akhlaq). Hukum ini mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam hubungan beragama, bermasyarakat dan bernegara. Dalam hukum khuluqiyyah ini juga mencakup hubungan manusia dengan dirinya sendiri yang merupakan tonggak dalam rangka menuju akhlak yang baik.
3)      Hukum syar’iyyah (syari’at). Hukum ini mengatur hidup lahiriyah antara manusia dengan makhluq lain, dengan Tuhannya selain yang bersifat rohani, dan dengan alam sekitanya.
Secara prinsip hukum syari’at ini memiliki dua bagian. Yaitu[6]:
1)      Ibadah
Ibadah yang dimaksudkan disini adalah ibadah dalam arti khusus, artinya hubungan manusia dengan Tuhannya seperti shalat, puasa dan ibadah-ibadah pokok lain. Penggunaan arti khusus ini dikarenakan arti umum ibadah mencakup segala hubungan manusia dengan makhluq lain yang dilakukan dalam rangka mencari ridho Allah Swt.
2)     Mu’amalah
Hukum mu’amalah mengatur hubungan manusia dengan makhluq lain dan sesama manusia. Hukum mu’amalah ini terperinci pada :
a)      Hukum pribadi atau al-ahwal al-syakhsiyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan masalah keluarga yang dimulai dari awal pembentukannya. Hukum ini bertujuan untuk mengatur hubungan suami istri dan hubungan antar kerabat. Dalam al-Quran kurang lebih ada 70 ayat yang membahas tentang hukum ini.
b)      Hukum perdata atau ahkam al-madaniyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan aktifitas pribadi atau kelompok dalam melakukan berbagai transaksi finansial, seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai, tanggungan, bekerjasama, hutang-piutang dan pemenuhan kewajiban secara disiplin, hukum ini bertujuan mengatur hubungan pribadi dalam hal kekayaan dan menjaga hak setiap orang yang memiliki hak dan harus dan harus diberikan haknya. Dalam al-Quran ada sekitar 70 ayat yang menjelaskan masalah hukum ini.
c)      Hukum pidana atau ahkam al-jinayah, yakni hukum yang berhubungan dengan tindakan kriminal yang dilakukan oleh seseorang serta akibat hukum yang akan ditanggungnya karena telah berani melanggar ketetapan hukum. Hukum ini bertujuan memelihara kehidupan, kekayaan, harga diri, karunia akal, dan hak setiap manusia, serta membatasi hubungan antara korban kejahatan dengan sang pelaku tindak kejahatan. Dalam al-Quran terdapat sekitar 30 ayat yang menjelaskan masalah serumit ini[7].
d)     Hukum acara atau ahkam al-murafa’at wa al-ijara’at, yaitu hukum yang berhubungan dengan masalah pengadilan, kesaksian dan sumpah. Hukum ini bertujuan mengatur keberanian dalam menerapkan keadilan, menguak kenyataan kebenaran dan menyampaikan apa yang harus disampaikan diantara sesama manusia. Dalam al-Quran ada sekitar 13 ayat yang menjelaskan tentang hukum ini[8].
e)      Hukum tata negara atau ahkam al-dusturiyyah, yaitu hukum yang berkaitan dengan peraturan perundang-perundangan besertaan dengan dasar-dasarnya. Tujuannya untuk membatasi hubungan antara pembuat hukum dengan objek hukum, serta penetapan hak-hak pribadi dan kelompok. Dalam al-Quran ada sekitar 10 ayat yang menjelaskan tentang hukum ini.
f)          Hukum internasional atau ahkam al-dauliyyah, yaitu hukum yang berkaitan dengan masalah hubungan antar negara Islam dengan negara yang lain dan pergaulan antara sesama muslim dengan non muslim di negara Islam. Hukum ini bertujuan untuk membatasi hubungan negara Islam dengan negara-negara yang lain dalam situasi aman dan perang. Dalam al-Quran ada sekitar 25 ayat yang menjelaskan hal-hal ini.
g)      Hukum ekonomi dan keuangan atau ahkam al-iqthishidiyyah wa al-maliyyah, yakni hukum yang berhubungan dengan hak seorang peminta-minta, hak orang miskin yang tidak mendapat belaskasihan dari harta orang kaya, mengatur penyaluran keuangan dan perbankan. Hukum ini bertujuan untuk mengatur hubungan ekonomi antara si kaya dan si miskin, juga antar negara dan masyarakat. Dalam al-Quran ada sekitar 10 ayat yang menjelaskan masalah ini.
D.           Dalalah al-Quran
Telah kita ketahui bersama bahwa al-Quran berisikan ketetapan-ketetapan dan hukum Allah yang disampaikan kepada kita melalui perantara nabi Muhammad Saw. artinya kita harus meyakini bahwa nash yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya kemudian disampaikan pada para sahabat tanpa ada perubahan dan pergantian.
Seiring dengan berjalannya roda kehidupan banyak perubahan dalam pengumpulan al-Quran. Hal ini agar al-Quran bisa dibaca dan dipahami oleh para umat Islam, kemudian menerapkannya dalam kehidupan. Seperti usaha yang dikomandani oleh sahabat Abu Bakar Shiddiq dibantu oleh sahabat Zaid bin Tsabit dan para sahabat yang terkenal hafalan dan tulisannya. Pengumpulan al-Quran ini atas ide dan saran yang dipelopori oleh sahabat Umar bin Khattab. Disusunlah satu demi satu secara berurutan sebagaimana Rasul dan para sahabat membacanya di masa hidup beliau. Dalam hal ini Sahabat Abu Bakar akan terus mendapatkan pahala pengumpul al-Quran generasi setelahnya bahkan sepanjang masa.
Kemudian setelah sahabat Abu Bakar wafat, lembaran-lembaran yang berhasil di kumpulkan dalam satu al-Quran tersebut berpindah ke tangan sahabat Umar, lalu berpindah ke tangan Hafshah, putri sahabat Umar yang juga Istri Nabi Saw.
Ketika Sahabat Utsman bin Affan dinobatkan sebagai khalifah melalui musyawarah yang dilakukan oleh para sahabat. Beliau melanjutkan program pengumpulan al-Quran dengan banyak melakukan penyempurnaan-penyempurnaan, dibantu oleh sahabat Zaid bin Tsabit al-Anshori yang sejak masa Abu Bakar menjadi penulis al-Quran. Kemudian tokoh-tokoh Muhajir dan Anshar mencetak dan menyebarluaskan hasil karya sahabat Utsman ini ke seluruh kota umat Islam.  
Sedangkan petunjuk hukum nash-nash hukum yang terkandung dalam al-Quran dibagi menjadi dua:
        1.          Qath’iyyah al-Dilalah, yaitu ayat yang memiliki makna tertentu (tidak memiliki makna ganda), dalam memahami tidak memerlukan takwil dan tidak mungkin diarahkan pada makna yang lain.
Seperti contoh ayat al-Quran dibawah ini:
* öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurør& bÎ) óO©9 `ä3tƒ £`ßg©9 Ó$s!ur 4  
12. dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. (QS. an-Nisa’ : 12)
Ayat ini menunjukan sebuah hukum pasti bahwa si suami mendapatkan setengah dari harta warisan istri jika merekan berdua tidak memiliki anak.
Contoh lain yang terdapat dalam al-Quran adalah seperti ayat ini :
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ (  
2. perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera.  
Ayat ini juga memiliki hukum yang pasti bahwa setiap hukum para pezina adalah dicambuk sebanyak seratus kali, tidak kurang dan tidak lebih.
      2.       Zhanniyyah al-Dilalah yaitu nash atau ayat yang memiliki makna tetapi makna tersebut mungkin untuk di takwil dan juga mungkin pula untuk dipalingkan dari makna aslinya pada makna yang lain. Seperti firman Allah dibawah ini:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4
228. wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. (Q.S. al-Baqarah: 228)
Lafadz quru’ dalam bahasa arab memiliki dua makna, yaitu suci dan haidh. Sedangkan dalam ayat diatas diterangkan bahwa para wanita yang diceraikan hendaknya menunggu sampai tiga kali quru’. Hal ini menyebabkan pemahaman yang berbeda, mungkin saja yang dikehendaki adalah tiga kali haid atau bisa juga tiga kali suci. Hukum yang ditunjukan oleh ayat ini belum pasti dan bisa ditentukan pada satu makna yang ada. Oleh karena itu para ulama berbeda dalam memberikan keputusan hukum tentang lamanya masa penantian bagi wanita yang telah diceraikan. Sebagian berpendapat tiga kali suci dan sebagian yang lain berpendapat tiga kali haid.
Senada dengan nash diatas adalah firman Allah Swt. berikut ini:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur
3. diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah.
Lafadz al-Maitah (bangkai) dalam ayat ini adalah sesuatu yang bersifat umum. Nash diatas memungkinkan untuk diberi makna semua bangkai dan mungkin pula khusus untuk bangkai-bangkai tertentu seperti dalam kenyataannya syari’at mengecualikan bangkai dari binatang laut (air) yang telah dijelaskan pengecualiaanya dalam sebuah riwayat hadits.
Secara global nash-nash yang memiliki makna ganda, umum dan mutlak dalam petunjuk hukumnya digolongkan dalam nash yang mempunyai petunjuk dugaan, karena selain nash tersebut menunjukkan terhadap makna tertentu, mungkin juga menunjukkan makna-makna yang lain yang bisa dialihkan pada makna yang lain[9].







BAB III
KESIMPULAN
Al-Quran adalah sumber hukum atau dalil bagi umat Islam guna mendapatkan kemaslahatan dan menjawab dari problematika hidup dan kehidupan. Dalil dalm pandangan ulama ushul fiqh ialah sesuatu yang dapat dijadikan bukti dengan sudut pandang yang benar atas hukum syara’ mengenai perbuatan manusia secara pasti atau dugaan.
Seharusnya dan wajib bagi manusia untuk menjadikan al-Quran yang didalam terkandung hukum-hukum sebagai pedoman mereka dalam menjalani kehidupan. Dalam al-Quran terdapat hukum yang sangat mendatail, baik masalah akidah, akhlak, mu’amalah dan ibadah, baik berhubungan dengan Allah atau berkaitan dengan sesama umat Islam. Sehingga tidak ada alasan bagi umat Islam untuk berpaling dari al-Quran selama al-Quran masih bisa menjawab permasalahan kehidupan, karena hukum dalam al-Quran sifatnya adalah qath’i kecuali petunjuk hukum nash al-Quran yang bersifat qath’i dan zhanni.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islami. Beirut : Dar al-Fikr, 1989.
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Amani, 2003.
Shidiq, Sapiudin. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2011.
Sulaiman, Ade dkk. Trem Syari’at Dan Cita Kemaslahatan. Lirboyo Pres, 2012.



 


[1] H. Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h.82. 
[2] Abdul Wahab Khollaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Mesir: Maktabah Syamilah), h.20.
[3] Ade Sulaiman Dkk, Trem Syari’at dan Cita Kemaslahatan Sebuah Pengantar dalam Memahami Teori Kemaslahatan Hukum Islam, (Lirboyo Pres: Purna Siswa III Aliyah 2012), h. 17.
[4] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Haramain: 2004) h.24.
[5] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h.91.
[6] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h.92.
[7] Wahbah az-Zuhayli, Ushul Fiqh al-Islami, Vol: I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h.439.
[8] Ibid.
[9] Ade Sulaiman Dkk, Trem Syari’at dan Cita Kemaslahatan Sebuah Pengantar dalam Memahami Teori Kemaslahatan Hukum Islam, (Lirboyo Pres: Purna Siswa III Aliyah 2012), h. 48.

Komentar

Postingan Populer